(IslamToday.id) — Setelah kerajaan Islam Demak berdiri secara resmi dan independen pada taun 1482 M, maka dimulailah proses perubahan tata kelola administrasi kenegaraan secara lebih besar. Dalam proses perubahan ini, Sultan Fattah sebagai penguasa tertinggi tentu membutuhkan beberapa perangkat perundang-undangan untuk menjalankan sebuah roda pemerintahan yang baru. Dibantu oleh para Wali sebagai penasihat spiritual sekaligus sebagai penasihat ahli, maka Demak kemudian tumbuh sebagai sebuah Kesultanan baru yang secara resmi berpijak pada hukum Islam. Adapun sebagai negara yang berdasarkan hukum Islam telah disusun dua kitab undang-unadang yang disebut Salokantoro dan Angger-Angger Surya Alam.
Serat Salokantoro adalah semacam peraturan pemerintah yang di dalamnya diatur tentang struktur organisasi pemerintahan di Kesultanan Demak. Kitab ini mengatur tentang bagaimana kewajiban dan hak para pejabat hingga para pegawai yang berada dalam lingkup kerajaan. Sebagai contoh, disini diatur tentang posisi Wali yang menempati sebuah jabatan berbeda beda, diantaranya sebagai pujangga, ngiras kinarya pepunden, jaksa kang mengku perdata atau bisa diartikan sebagai karyawan terhormat atau dewan pertimbangan dan pengawas, serta sebagai jaksa penjaga undang-undang.
Para Wali selalu mengawasi raja-raja Islam dalam memegang mandat menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam kedudukan ini sekali waktu lingkaran Wali itu mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung, lain waktu mirip jaksa agung atau juga Majelis Permusyawaratan Rakyat. Khusus Sunan Giri, beliau dipanggil dengan sebutan panatagama sekaligus memangku jabatan sebagai penghulu. Ia menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman-pedoman tatacara di keraton. Dalam hal ini Sunan Giri dibantu oleh Sunan Kudus yang juga ahli dalam soal perundang-undangan peradilan, pengadilan dan mahkamah termasuk hukum-hukum acara formal. Mereka merumuskan masalah siyasah jinayah yang meliputi: had, qisas, ta’zir termasuk perkara zina dan aniaya, ’aqdiyah (perikatan, kontrak sosial) syahadah (persaksian, termasuk perwalian), masalah imamah (kepemimpinan), dan lain sebagainya.
Sementara itu, Angger-Angger Suryangalam adalah merupakan undang-undang resmi kerajaan Demak yang berisi mengenai ketentuan perdata, pidana, dan hukum acara yang bersumber pada tata hukum Islam. Bagi para pemerhati sejarah, kitab undang-undang ini memberi arti penting bagi studi historis hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, dewasa ini banya kalangan yang dinilai sangat anti terhadap segalA yang berbau syariat Islam hingga menimbulkan kesan seolah negara ini tak pernah diterapKan hukum Islam dan akan menimbulkan sebuah kekacauan. Padahal jika mau sedikIt menengok kebelakang ternyata pemberlakuan hukum Islam sudah pernah diterapkan.
Seiring berjalannya waktu, agar lebih mudah dipelajarai Naskah Angger-Angger Surya Alam ini oleh Brandes telah diaksarakan latin pada tahun 1934 dan masih berbahasa Jawa sesuai dengan aslinya. Dalam pembukaan undang-undang ini disebutkan bahwa Sultan Suryangalam di Keraton Aripullah, negeri Adilullah, menceritakan Prabu Titi Jagad dari Ngatasangin membentuk Badan Yudikatif dengan menerapkan hukum Allah yang berlandaskan keadilan, kejujuran dan kebenaran. Sultan kemudian melimpahkan kepada jaksa untuk menangani dan memutuskan perkara hukum berdasarkan hukum Islam sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dalam naskah kitab undang-undang Angger-Angger Suryangalam di dalamnya dijelaskan bahwa hukum yang berlaku di Kesultanan Demak berdasarkan hukum Islam dengan berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini ditegaskan dalam pembukaan undang- undang dan sering juga ditegaskan kembali pada bagian yang lain dengan redaksi “sang ratu puniko dene anrapaken ukumullah” “dosane tan anglakokan sak pakeme aksarane, angowahi sapangandikaning Allah tangala, kang tinimbalaken dawuhing kangjeng Nabi kito Mukammad salalu ngalaihi wasalam”. Yang artinya kurang lebih “Sang Raja itu memiliki kewajiban menjalankan hukum Allah, Berdosa besar jika perilaku dan tutur bahasanya menyelisihi sabda Allah SWT dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.”
Pada bagian berikutnya undang-undang ini mengatur mengenai lembaga peradilan dengan menyebutkan aturan berperkara di pengadilan, tugas, syarat, wewenang dan larangan-larangan bagi jaksa (hakim), prosedur peradilan dan perlindungan bagi tersangka atau terdakwa. Syarat-syarat saksi (waria tidak boleh menjadi saksi, bukan saudara dan saksi yang ragu-ragu dan lain-lain) bahkan dalam undang-undang ini juga disebutkan bahwa saksi dan pendakwa yang berdusta dikenai sanksi, tidak hanya itu pihak-pihak yang terkait dengan perkara (penggugat, tergugat, terdakwa dan saksi) apabila tidak hadir di pengadilan tanpa alasan yang jelas (membangkang) dikenai sanksi denda sejumlah besaran yang ditentukan.
Disebutkan dalam undang-undang ini bahwa suatu perkara dapat diproses di pengadilan apabila sudah memenuhi 30 ketentuan, di antaranya adalah adanya saksi yang memenuhi syarat, adanya bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, adanya unsur merugikan orang lain misalnya merusak/mengambil barang orang lain membunuh dan melukai orang lain, perkara sengketa jual beli yang memiliki bukti tertulis serta saksi dan lain-lain. Selanjutnya undang-undang ini juga mengatur mengenai perkara pencurian dengan ketentuan yang sangat rinci, melukai dan membunuh orang lain, merampok, menghina orang lain di depan umum juga dikenai sanksi. Sanksi ini dibedakan sesuai dengan kedudukan pelakunya. Jika yang menghina itu rakyat biasanya dikenai sanksi 2000, jika orang terpandang dikenai sanksi 8000. Orang yang mengancam dengan senjata juga dikenai sanksi denda sesuai dengan kedudukan pelakunya.
Rachmad AbdullaH dalam bukunya Sultan Fattah, Raja Islam Pertama Penakluk Tanah Jawa, secara lebih sederhana menyebutkan bahwa kitab Angger-Angger Surya Alam ini secara umum terbagi menjadi 19 pasal yaitu:
- Peraturan umum tentang bebasnya anak dibawah umur 10 tahun (belum baligh) dari hukum dan ketentuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan denda.
- Astodusto, hukuman yang menyangkut delapan jenis tindakan melukai dan membunuh orang. Hukuman bagi orang yang melukai orang laian adalah denda dan jika korbannya sampai mati maka pelakunya akan dihukum denda yang lebih besar bahkan hingga dihukum mati (qishosh).
- Kawulo, hukum tentang aturan hamba sahaya (budak) yang menyangkut asal-usul dan perlakukannya.
- Astocorah, hukum yang menyangkut delapan jenis pencurian dengan hukuman mulai denda, potong tangan, potong kaki, sampai huuman mati (hudud).
- Sahaso, hukum yang menyangkut penistaan dengan sanksi berupa denda, hukuman badan,penjara, hingga hukuman mati.
- Adol Tinuku, hukum yang menyangkut jual beli beserta kensekuensi huumnya.
- Sando, hukum yang menyangkut masalah pegadaian.
- Ahutang-phiutang, hukum masalah hutang piutang.
- Titipan, hukum yang menyangkut masalah barang titipan baik berupa perkakas, harta benda maupun hewan peliharaan.
- Tukon, hukum yang mengatur tentang peraturan mas kawin yang dinilai dari jumlah, pengembalian oleh pihak wanita apabila terjadi pembatalan.
- Kawarangan, hukum yang mengatur masalah perkawinan.
- Parodoro, hukum yang mengatur perbuatan mesum, pelecehan seksual, pemerkosaan dengan sanksi yang paling rendah berupa huuman fisik hingga hukuman mati.
- Dwere kaliliran, hukum masalah pembagian harta waris.
- Wakporusyo, hukum yang mengatur masalah caci maki dan penghinaan sesama penduduk.
- Dandoparusyo, hukum menyangkut tindak kekerasan terhadap manusia dan hewan.
- Kagelalehan, hukum yang menyangkut tentang kelalaian yang mengakibatkan orang lain celaka.
- Atukaran hukum yang menyangkut tentang perselisihan dan perkelahian secara terbuka.
- Bhumi, hukum menyangkut peraturan mengenai kepemilikan dan penggarapan sawah, perebunan perikanan nelayan, dan sewa menyewa.
- Duwilatek, hukum yang menyangkut fitnah menfitnah.
Demikianlah Kesultanan Demak telah menunjukkan kepada ita tentang bagaimana mula-mula hukum Islam diterapan secara dalam sebuah sistem pemerintahan di Tanah Jawa dan kelak, sistem ini akan terus dipertahankan sebagai salah satu sumber hukum kerajaan–kerajaan berikutnya seperti Pajang dan Mataram.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza