(IslamToday.id) — Dalam perjalanan proses Islamisasi di Tanah Jawa, maka tak akan pernah lepas dari jasa para juru dakwah yang datang dari negeri-negeri Islam yang diperkirakan telah datang sejak abad 8 Masehi. Namun demikian, akselerasi terbesar masuknya orang-orang Jawa ke dalam agama Islam baru benar-benar terjadi pada kurun waktu seperempat akhir abad ke 15 M hingga paruh kedua abad ke 16 M. Secara sederhana, kurun waktu ini disebut dengan masa dakwah Walisongo, dimana para juru dakwah ini telah mampu menempatkan Islam tak hanya menjadi keyakinan mayoritas masyarakat Jawa, namun lebih dari pada itu Islam telah menjadi ruh dari setiap lini kehidupan dari pemerintahan, hukum, hingga adat istiadat.
Oleh karena kesuksesan dakwah yang begitu besar tersebut, bagi masyarakat Jawa para juru dakwah ini telah ditempatkan sebagai sosok yang begitu istimewa dan agung, bahkan mereka mendapatkan sebutan Sunan yang setingkat dengan seorang penguasa tertinggi atau seorang raja. Secara bahasa, Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo gelar tersebut merupakan kependekan dari kata Susuhunan yang dipungut dari dari ata suhun – kasuhun – sinuhun, yang dalam Bahasa Jawa Kuno bisa berarti menjunjung, menghormati, meletakkan kaki seorang diatas kepala, lazimnya digunakan untuk menyebut guru suci bagi agama Hindu. Disisi lain, gelar sunan juga bermakna “Paduka Yang Mulia”. Selanjutnya sebutan sunan aka susuhunan digunakan oleh raja-raja Mataram Islam hingga sekarang.
Dalam dakwahnya Para Wali yang jumlah sebenarnya lebih dari sembilan orang, atau bahkan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan, selalu menggunakan model pendekatan yang terstruktur dan transformatif. Dalam berdakwah, para wali setidaknya memberlakukan dua prinsip dakwah, yaitu fiqihul ahkam dimana prinsip dan ajaran Islam benar-benar diterapkan secara ketat dan mendalam. Hal ini ditujukan untuk mereka kalangan santri yang sudah menerima Islam dengan penuh. Pengajaran Islam yang benar, menyeluruh dan mendalam ditujukan sebagai langkah, guna membentuk generasi dakwah yang siap menerima misi dakwah kedepan. Selanjutnya adalah fiqih dakwah, ajaran agama diterapan secara fleksibel dan lentur sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkatan pendidikan mereka. Para Wali lebih mengedepanan misi pemahaman utama tentang Islam yaitu masalah tahuid, dimana yang terpenting masyarakat bisa memahami konsep tersebut mengakui ke-Esaan Allah SWT dan menerima Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah.
Adapun secara strategis, para wali sebagai juru dakwah, memang dikenal dengan kepiawaiannya menciptakan metode dakwah yang jitu dan efisien, sehingga hal ini mampu membawa dampak perubahan yang cukup signifikan dalam kurun waktu lebih dari 100 tahun. Beberapa strategi dakwah Walisongo yang bisa diidentifikasi antara lain adalah dengan, pembagian wilayah dakwah. Para Walisongo dalam melakukan aktivitas dakwahnya sangat memperhitungkan wilayah strategis, oleh karena itu, basis kekuatan Islam muncul dari daerah-daerah pesisir yang kala itu merupakan daerah pusat-pusat jalur perdagangan yang berarti pula sebagai pusat perkembangan peradaban dunia.
Strategi berikutnya adalah asimilasi budaya. Bagi seorang juru dakwah, mengubah sebuah tatanan masyarakat yang sangat kompleks dan telah mengakar dalam sebuah tatanan laku hidup sehari-hari memang tidaklah semudah berdebat secara ilmiah dan logika. Oleh karena itu, dalam dakwahnya kepada masyaraat Jawa, tidak jarang para Wali menerapkan beberapa model dakwah dengan memasuki unsur-unsur kebudayaan yang ada di masyarakat. Para Wali berani memasuki wilayah ini tentu dengan sebuah prinsip yang tidak dapat ditawar, yaitu senantiasa membolehkan adat dan norma yang sesuai dengan ajaran Islam dan membuang serta mengganti adat yang berbau kesyirikan dengan memasukkan unsur Islam kedalam adat tersebut. Beberapa contoh hasil dakwah dengan metode asimilasi ini antara lain, tembang dolanan tombo ati yang disusun oleh Sunan Bonang, istilah sholat yang diganti dengan sembahyang; mushola yang diganti dengan langgar oleh Sunan Ampel agar masyarakat Jawa lebih merasa dekat dengan Islam. Adapula prinsip hidup Moh Lima, yang berarti menolak lima perilaku keji sperti mencuri, membunuh, main perempuan, judi dan menghisap candu yang sampai sekarang masih menjadi standar moral kehidupan masyarakat Jawa.
Strategi dakwah yang ketiga, adalah pendidikan dan pencetakan kader dakwah. Setiap wali yang berperan dan memiliki sebuah wilayah dakwah, hal pertama yang diperbuat adalah membangun sarana pendidikan berupa pesantren. Dari sinilah, mereka menemukan atau kedatangan murid-murid dari kalangan warga sekitar dan berbagai penjuru daerah.
Adapun strategi dakwah berikutnya adalah dakwah di bidang politik. Seperti diketahui, cita-cita utama dari perjuangan dakwah adalah bagaimana menjadikan hukum Allah tegak di muka bumi. Oleh karena itu, para Wali selain berusaha untuk mengajak masyarakat agar masuk kepada agama Islam juga berupaya mengubah tata laku mereka dari jaman jahiliyah kepada tata cara Islamiyah. Oleh karena itu, anggota Walisongo telah menjadikan berdirinya Kesultanan Demak sebagai puncak dari perjuangan dakwah itu. Hal ini dikarenakan, dengan berdirinya sebuah negara yang berbasis Islam, maka penerapan hukum Allah akan semakin mudah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Salah satu warisan besar yang ditinggalkan melalui strategi dakwah ini adalah tersusunnya undang-undang hukum Kesultanan Demak yang disebut dengan Angger-Angger Surya Alam/Angger-Angger Suryangalam. Angger-Angger Suryangalam adalah merupakan undang-undang resmi kerajaan Demak yang berisi mengenai ketentuan perdata, pidana, dan hukum acara yang bersumber pada tata hukum Islam.
Dalam naskah kitab undang-undang Angger- Angger Suryangalam di dalamnya dijelaskan bahwa hukum yang berlaku di kerajaan Demak berdasarkan hukum Islam dengan berpegang pada al-Qur’an dan Hadis. Hal ini ditegaskan dalam pembukaan undang-undang dan sering juga ditegaskan kembali pada bagian yang lain dengan redaksi “sang ratu puniko dene anrapaken ukumullah” “dosane tan anglakokan sak pakeme aksarane, angowahi sapangandikaning Allah tangala, kang tinimbalaken dawuhing kangjeng Nabi kito Mukammad salalu ngalaihi wasalam”. Yang artinya kurang lebih “Sang Raja itu memiliki kewajiban menjalankan hukum Allah, Berdosa besar jika perilaku dan tutur bahasanya menyelisihi sabda Allah SWT dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.”
Rachmad Abdullah dalam bukunya Sultan Fattah, Raja Islam Pertama Penakluk Tanah Jawa, secara lebih sederhana menyebutkan bahwa kitab Angger-Angger Surya Alam ini secara umum terbagi menjadi 19 pasal yaitu:
- Peraturan umum tentang bebasnya anak dibawah umur 10 tahun (belum baligh) dari hukum dan ketentuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan denda.
- Astodusto, hukuman yang menyangkut delapan jenis tindakan melukai dan membunuh orang. Hukuman bagi orang yang melukai orang laian adalah denda dan jika korbannya sampai mati maka pelakunya akan dihukum denda yang lebih besar bahkan hingga dihukum mati (qishosh).
- Kawulo, hukum tentang aturan hamba sahaya (budak) yang menyangkut asal-usul dan perlakukannya.
- Astocorah, hukum yang menyangkut delapan jenis pencurian dengan hukuman mulai denda, potong tangan, potong kaki, sampai huuman mati (hudud).
- Sahaso, hukum yang menyangkut penistaan dengan sanksi berupa denda, hukuman badan,penjara, hingga hukuman mati.
- Adol Tinuku, hukum yang menyangkut jual beli beserta kensekuensi huumnya.
- Sando, hukum yang menyangkut masalah pegadaian.
- Ahutang-phiutang, hukum masalah hutang piutang.
- Titipan, hukum yang menyangkut masalah barang titipan baik berupa perkakas, harta benda maupun hewan peliharaan.
- Tukon, hukum yang mengatur tentang peraturan mas kawin yang dinilai dari jumlah, pengembalian oleh pihak wanita apabila terjadi pembatalan.
- Kawarangan, hukum yang mengatur masalah perkawinan.
- Parodoro, hukum yang mengatur perbuatan mesum, pelecehan seksual, pemerkosaan dengan sanksi yang paling rendah berupa huuman fisik hingga hukuman mati.
- Dwere kaliliran, hukum masalah pembagian harta waris.
- Wakporusyo, hukum yang mengatur masalah caci maki dan penghinaan sesama penduduk.
- Dandoparusyo, hukum menyangkut tindak kekerasan terhadap manusia dan hewan.
- Kagelalehan, hukum yang menyangkut tentang kelalaian yang mengakibatkan orang lain celaka.
- Atukaran hukum yang menyangkut tentang perselisihan dan perkelahian secara terbuka.
- Bhumi, hukum menyangkut peraturan mengenai kepemilikan dan penggarapan sawah, perebunan perikanan nelayan, dan sewa menyewa.
- Duwilatek, hukum yang menyangkut fitnah menfitnah.
Itulah beberapa beberapa bentuk warisan dakwah yang telah ditinggalkan para Wali sebagai mubaligh utama kepada kita. Oleh karena itu, tanah Jawa bisa dikatakan sebagai tanah yang mewarisi semangat keIslaman yang telah disemai dengan lengkap. Tinggal sekarang bagaimana kita sebagai generasi penerus bisa mempertahankan semangat dakwah itu dan tetap menjaga Islam agar terus tumbuh dan menjadi sumber segala prinsip kehidupan.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Dian Noiyanti. 2019. Walisongo The Wisdom, Syiar 9 Wali Selama 1 Abad. Jakarta: Gramedia Pustaka
Hatmansyah, Strategi dan Metode Dakwah WalisongoJurnal “Al-Hiwar” Vol. 03, No. 05-Januari-Juni-2015
Rachmad Abdullah. 2015. Walisongo, Gelora dakwah dan Jihad Di Tanah Jawa (1404 – 1482M). Sukoharjo: Al Wafi
Zainal Abidin bin Syamsuddin. 2018. Fakta Baru Waligongo. Jakarta: Pustaka Imam Bonjol