(IslamToday.id) — Walaupun pada periode abad 13 M relasi antara Aceh dan Jawa cenderung memanas karena ekspansi kerajaan Hindu Majapahit, tetapi perbaikan hubungan antara Kesultanan Aceh dan Jawa, sudah terjalin bahkan sebelum berdirinya Kesultanan Islam Demak sebagai Kesultanan Islam pertama. Hubungan tersebut dijalin umumnya melalui perdagangan dan utamanya adalah melalui hubungan dakwah maupun keilmuan yang dilakukan oleh Walisongo selaku ulama penyebar agama Islam. Aceh yang mengambil peran sebagai pusat ilmu dan kebudayaan Islam di belahan bumi Asia Tenggara, menjadikan relasi individu maupun kelompok dakwah dan jihad tak akan pernah benar-benar putus.
Munculnya Kesultanan Demak sebagai kekuatan Islam baru yang menguasai hampir seluruh tanah Jawa, secara otomatis juga menandai hubungan diplomatik maupun militer diantara kedua kerajaan. Sebagai sebuah kerajaan baru, Demak secara konsisten terus melakukan upaya pelebaran kekuasaan demi mengembangkan pengaruh Islam. Secara otomatis penggerakan ekspedisi militer menjadi sebuah keniscayaan. Dari sinilah maka dalam periode perkembangannya, relasi militer antara Jawa dan Aceh terus mewarnai lembaran sejarah perjuangan dakwah Islam baik secara langsung maupun tidak langsung.
Relasi militer antara Aceh dan Demak tercatat paling awal adalah pada masa kepemimpinan Raden Fattah saat penyerangan sisa kekuatan Majapahit dibawah kepemimpinan Prabu Girindra Wardhana. Pada tahun 1481 M, disiapkan sejumlah pasukan yang besar untuk diberangkatkan dalam ekspedisi penyerangan ke jantung ibukota Majapahit. Untuk ekspedisi kali ini dipimpin oleh Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) sebagai Senapati Manggolo Yudho. Beliau memiliki dua keris yang diberi nama Ciptaka dan Cintaka serta diiringi dua panji berwarna hijau. Selain Sunan Kudus, turut juga menyertai peperangan ini diantaranya Sunan Giri, Sunan Mejagung dan Sunan Gunung Jati. Adapun jumlah pasukan Demak adalah 9.100 orang. Pasukan itu terdiri atas 40 Prajurit dari Campa ,7 prajurit Mejagung, 40 santri Cirebon, 7 prajurit dari Gunung Srandil, Sunan Maulana Maghribi membantu dengan 7 prajurit khusus dari Andalusia, santri Sunan Kalijaga sebanyak 40 orang, 7 prajurit dari Malaka, 40 prajurit dari Aceh, 7 prajurit dari Sukadana dan sisanya prajurit dari Demak. Adapun persenjataan yang dibawa diantaranya keris, golok, pedang, tombak dan panah. Khusus untuk pasukan pemanah api, mereka memiliki kesatuan khusus yang diberi nama pasukan sorogenen. Pasukan-pasukan yang berjumlah tak lebih dari 200 orang ini, bukanlah merupakan prajurit biasa. Namun keberadaan mereka adalah sebagai prajurit dengan kualitas khusus yang berperan sebagai komandan batalion, ahli strategi maupun ahli senjata.
Relasi militer selanjutnya adalah ketika mundurnya Kesultanan Samudra Pasai hingga berkuasanya Portugis di Malaka pada tahun 1511 M. Keadaan Aceh yang sedang jatuh dalam politik pergantian kekuasaan, membuat Portugis dengan mudahnya mengobrak-abrik tatanan jalur perdagangan yang telah lama dikuasai oleh Kesultanan Islam sebagai jalur dakwah. Kehadiran Portugis ini juga dianggap sebagai musuh bersama. Hal ini tentu dikarenakan motif Portugis menguasai Malaka tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ekonomi, melainkan lebih besar dari pada itu adalah melaksanakan misi pengahancuran dakwah Islam akibat dendam perang salib dan misi kristen yang diberikan oleh Paus mereka di Vatikan.
Pertukaran informasi dari jaringan ulama telah terbentuk sedemikan rupa melalui jalur perdagangan yang telah ada sejak ratusan tahun silam. Dengan adanya konflik kepentingan tersebut, intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara kemudian meningkat sangat cepat. Sebagai langkah awal untuk membatasi pengaruh portugis, maka Demak segera mengambil langkah untuk mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon untuk memberikan jalur perdagangan alternatif apabila para pedagang muslim enggan melewati jalur Malaka. Rute alternatif tersebut bisa ditempuh lewat Pasai, kemudian kearah barat dan menyisir melalui pantai barat Sumatera dan masuk melalui selat sunda yang dikuasai oleh Kesultanan Banten, selanjutnya menyisir laut Jawa dan terus kearah Gowa hingga ke Maluku.
Namun tampaknya keberadaan Portugis semakin mengganas, hingga ekspedisi militer mutlak perlu dilakukan oleh Demak bersama aliansi Kerajaan Banten dan Cirebon. Dibawah kepemimpinan Adipati Unus atau Pati Unus, ditambah dengan pasukan dari Palembang dan pecahan-pecahan kecil dari bekas wilayah kesultanan Samudra Pasai, pasukan Gabungan tersebut melakukan dua kali serangan besar pada tahun 1513 dan 1521 M. Dalam ekspedisi kedua melawan Portugis, pasukan Demak dibawah Pati Unus juga terdapat nama Fatahillah, seorang ulama dan jendral militer besar asal Aceh yang pernah menggagalkan upaya Portugis menguasai Sunda Kelapa. Dua ekspedisi militer ini belum menemukan jalan kemenangan.
Seiring berjalannya waktu, keadaan politik di kerajaan Aceh maupun Jawa juga mengalami perubahan. Di ujung pulau Sumatra, Kesultanan Aceh Darussalam kemudian tampil sebagai kerajaan besar yang mampu berdaulat. Sedangkan di Jawa, tsunami politik menerpa suksesi kepemimpinan di kesultanan Demak. Dari kekacauan itu, Demak berangsur-angsur mundur, kemudian kegemilangannya digantiKan oleh keberadaan Ratu Kalinyamat. Sebagai catatan, sosok Ratu Kalinyamat adalah seorang Ratu yang berkedudukan di wilayah Kadipaten Kalinyamat yang wilayahnya berada di Jepara. Ia adalah putri Sultan Trenggono dan istri dari Pangeran Thoyib atau Sunan Hadiri yang berasal dari Aceh, seorang putra Sultan yang bernama Ibrahim dengan gelar Ali Mughayat Syah. Ratu Kalinyamat naik tahta menggantikan suaminya Sunan Hadiri yang meninggal dunia lantaran konflik pergantian kekuasaan di Kesultanan Demak. Dibawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat, Jepara tumbuh menjadi basis perdagangan yang besar. Hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara juga cukup kuat, bahkan beberapa sejarawan sering menyebut istimewanya hubungan antara Aceh, Banten, Jepara, Gowa dan Hitu (Ambon).
Semangat keIslaman yang mendasari munculnya dua kerajaan tersebut, ternyata mampu memunculkan kesamaan isi, yaitu: robohnya kekuatan Portugis di Malaka. Pada tahun 1550, Raja Johor mengirim surat kepada Ratu Kalinyamat dan mengajak untuk melakukan perang melawan Portugis yang saat itu kebetulan sedang karena Portugis mendapatan hantaman yang cukup besar dari usaha penyerangan Kesultanan Aceh Darussalam. Dengan berbagai pertimbangan yang ada, Ratu Kalinyamat menyetujui anjuran itu, sehingga dengan mantab pada tahun 1551 Ratu Kalinyamat mengirimkan ekspedisi laut pertamanya ke Malaka. Dari 200 buah kapal armada persekutuan Muslim, 40 buah di antaranya berasal dari Jepara. Armada itu membawa empat sampai lima ribu prajurit, dipimpin oleh seorang yang bergelar Sang Adipati. Prajurit dari Jawa ini menyerang dari arah utara. Mereka bertempur dengan gagah berani dan berhasil merebut kawasan orang pribumi di Malaka.
Serangan Portugis ternyata begitu hebat, sehingga pasukan Melayu terpaksa mengundurkan diri. Sementara itu, pasukan Jawa tetap bertahan. Mereka baru mundur setelah panglimanya gugur. Dalam pertempuran yang berlanjut di darat dan di laut itu, tercatat sebanyak 2000 prajurit Jawa gugur. Hampir seluruh perbekalan dan persenjataan berupa arteleri dan mesiu juga berhasil dihadang dan disita patroli Portugis. Walau pun telah melakukan taktik pengepungan selama tiga bulan, ekspedisi ini akhirnya mengalami kegagalan dan terpaksa membawa mereka kembali ke Jawa.
Setelah cukup lama berselang, nampaknya usaha melawan keduduan Portugis yang menguasqi Malaka tak pernah surut dari semua kalangan Kesultanan Islam yang berada di Sumatera. Seperti diketahui, pada tahun 1573 Sultan Aceh Ali Riayat Syah telah berkirim surat kepada Ratu Kalinyamat untuk bergabung dalam usaha penyerangan ke Malaka. Namun kali ini, usaha penyerangan gabungan itu sedikit mengalami kendala komunikasi. Alhasil pasukan Kesultanan Aceh terlanjur melakukan serangan ke Malaka, namun pasukan dari Jawa tak kunjung hadir sehingga pasukan Aceh segera mampu dipukul mundur armada Portugis.
Armada Jepara baru muncul di Malaka pada bulan Oktober 1574. Dibanding dengan ekspedisi pertama, armada Jepara kali ini jauh lebih besar. Armada ini terdiri dari 300 buah kapal layar dan 80 buah di antaranya berukuran besar. Awak kapalnya terdiri dari 15.000 prajurit pilihan, yang dilengkapi dengan banyak sekali perbekalan, meriam, dan mesiu. Salah satu pemimpin ekspedisi militer ke Malaka pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat ini adalah Kyai Demang Laksamana yang oleh sumber Portugis disebut dengan nama Quilidamao.
Armada Jepara itu memulai serangan dengan tembakan meriam yang diarahkan ke benteng Portugis dan pusat kota Malaka. Setelah membombardir kota Malaka, keesokan harinya pasukan Jawa didaratkan dan mereka menggali parit- parit pertahanan. Rupa-rupanya peruntungan nasib belum jatuh di pihak Jawa. Pada waktu armada mereka menyerang, 30 buah kapal besarnya malahan terbakar. Pasukan Jawa kemudian terpaksa membatasi gerakan dengan mengadakan blokade laut. Portugis baru berhasil menembus rintangan itu setelah melakukan serangan berkali-kali. Usaha Portugis untuk berunding mengalami kegagalan karena pihak Jawa menolak tuntutan Portugis.
Sementara itu dalam pertempuran laut pihak Portugis berhasil merebut enam buah kapal Jawa yang penuh bahan makanan kiriman dari Jepara. Akibat dari kejadian ini, pasukan Jawa yang selama tiga bulan dengan tegar melakukan blokade laut, kekuatannya berangsur-angsur surut karena kekurangan bahan makanan. Mereka akhirnya terpaksa bergerak mundur dan menderita banyak korban.
Demikianlah rekam sejarah relasi militer yang pernah terjalin antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam di Jawa. Pasang surut keadaan politik masing-masing daerah nyatanya tak menghalangi usaha mereka untuk bersatu demi sebuah tujuan yang lebih besar, yaitu jatuhnya hegemoni penguasa Katolik Portugis di Malaka.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
Rachmad Abdullah, 2015. Sultan Fattah. Raja Islam Pertama Penakluk Tanah Jawa (1482-1518M..Sukoarjo: Al-Wafi
Sartono Kartodirdjo. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. 1977. Jakarta: Balai Pustaka.
Chusnul Hayati. Ratu Kalinyamat : Ratu Jepara Yang Pemberani.Universitas Diponegoro, Semarang