(IslamToday.id) — Bagi warga Kota Jepara, nama Ratu Kalinyamat tentu sudah begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari. Jasanya atas perkembangan kota pelabuhan tersebut tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Melalui berbagai ekspedisi militer, membuat nama dan daerah asalnya begitu dikenal dan dihormati bagi mereka yang terlibat dalam dinamika jalur perdagangan Nusantara.
Ratu Kalinyamat sendiri dikenal dengan nama kecil Retna Kencana sebagai anak dari Sultan Trenggana. Karena oleh ayahnya Ratna Kencana dilihat memiliki perilaku yang baik, dekat dengan ulama serta memiliki kecakapan dalam urusan tata negara, sehingga ketika masih remaja beliau sudah diserahi amanah untuk mengelola wilayah yang berada di timur Demak yaitu Jepara. Setelah menikah, kepemimpinan Kadipaten Jepara diberikan kepada suaminya yang bernama Sunan atau Pangeran Hadiri yang berkedudukan di wilayah Kalinyamat. Menurut sumber sejarah, asal usul suami Ratu Kalinyamat memiliki banyak versi, diantaranya:
Sumber pertama, mengatakan bahwa Sunan Hadiri berasal dari Aceh. Ia dipercaya sebagai salah satu anak dari Sultan Aceh yang bernama Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah. Adapun nama asli dari Sunan Hadiri adalah Raden Thoyib. Setelah datang ke tanah Jawa dan menikah dengan Ratu Kalinyamat mendapat gelar Sunan Hadiri karena beliau datang dari tempat lain. Sebelumnya Sunan Hadiri juga dipercaya sempat menjadi sultan di wilayah Aceh, namun karena daerahnya telah dikuasai Portugis, maka beliau akhirnya meninggalkan Aceh dan diutus oleh ayahnya untuk datang mendalami ilmu di Kesultanan Demak sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di wilayah seberang.
Sumber kedua, adalah berdasarkan laporan dari komisi di Hindia Belanda untuk kepentingan kepurbakalaan di Jawa dan Madura tahun 1910. J.Knebel memberi keterangan bahwa Sunan Hadiri adalah putra Cirebon, nama aslinya Raden Mu’min. Dia berkelana dan tiba di Demak dan dia ingin mengabdi pada Raja Demak III (Sultan Trenggono). Permohonannya diterima oleh Sultan Trenggono dan taklama kemudian Sunan Hadiri menjadi menantu Sultan Trenggono dan diangkat menjadi raja di Kalinyamat.
Sumber berikutnya diambil dari Serat Kandaning Ringgit Purwa, naskah KBG. NR 7 menyebutkan bahwa Sunan Hadiri adalah pedagang Tionghoa yang nama aslinya adalah Wintang. Dia beserta kapalnya tenggelam dan terdampar di Juang Mara (Jepara). Karena sudah tidak punya apa-apa akhirnya dia bertirakat dan mendapat ilham untuk pergi ke Sunan Kudus, Sunan Hadiri akhirnya masuk Islam berkat bimbingan Sunan Kudus, kemudian di tempatkan di sebuah tempat tepi sungai Kalinyamat dan akhirnya tempat itu menjadi ramai kemudian menjadi sebuah desa yang sangat ramai dan akhirnya Sunan Kudus memberi nama desa itu dengan nama Kalinyamat dengan penguasa juragan Wintang atau Sunan Hadiri.
Dari beberapa sumber tersebut, para sejarawan maupun masyarakat baik umum maupun para pengelola makam Kerajaan Kalinyamat lebih memilih sumber yang pertama. Disisi lain kisah Sunan Hadiri juga diyakini ditengah masyarakat memiliki kaitan dengan keahlian seni ukir yang kini banyak dikuasai oleh orang-orang Jepara. Dikisahkan bahwasannya pada masa mudanya Pangeran Toyib pernah mengembara ke negeri Cina. Di sana ia bertemu dengan Tjie Hwie Gwan, seorang Tionghoa muslim yang kemudian menjadi ayah angkatnya. Konon, ayah angkatnya tersebut selalu menyertainya hingga ke Jepara. Setelah menikah dengan Ratu kalinyamat dan menjadi adipati di Jepara, Tjie Hrie Gwan diangkat menjadi patih dan namanya berganti menjadi Pangeran Sungging Badar Duwung (sungging ‘memahat’, badar ‘batu atau akik’, duwung ‘tajam’). Nama sungging diberikan karena Badar Duwung adalah seorang ahli pahat dan seni ukir. Diceritakan bahwa dialah yang membuat hiasan ukiran di dinding Masjid Mantingan. Ialah yang mengajarkan keahlian seni ukir kepada penduduk di Jepara. Di tengah kesibukannya sebagi Mangkubumi Kadipaten Jepara, Badar Duwung masih sering mengukir di atas batu yang khusus didatangkan dari negeri Cina. Karena batu-batu dari Cina kurang mencukupi kebutuhan, maka penduduk Jepara memahat ukiran pada batu putih ataupun kayu yang berkualitas tinggi.
Walaupun kesan yang timbul dari nama Ratu Kalinyamat sebagai perempuan yang keras dan tegas, namun ada sedikit kisah romantis diantara hubungannya dengan suami. Dikisahkan, bahwa pertemuan dengan Ratu Kalinyamat terjadi karena pada waktu itu Pangeran Toyib diutus oleh Sultan Aceh untuk menimba ilmu pemerintahan dan agama Islam di Kesultanan Demak. Lelaki berdarah Persia ini sangat tampan, arif bijaksana, berwawasan Islam luas, dan ketaatan iman, serta berani menentang penjajah Portugis. Setelah mengetahui asal-usul Raden Toyib, hati Ratu Kalinyamat menjadi berdebar-debar. Ia teringat akan ramalan ayahnya bahwa pria yang akan menjadi pendampingnya kelak bukan berasal dari kalangan orang Jawa, melainkan berasal dari negeri seberang. Kemudian Ratu Kalinyamat bersedia diperistri oleh Raden Toyib.
Namun takdir ternyata berkata lain, usia pernikahan Retna Kencana dan Sunan Hadiri terbilang tidak cukup panjang. Karena beberapa tahun setelah menikah, Sultan Trenggana wafat, dan terjadi kekacauan dalam perebutan tahta pewaris Kesultanan Demak. Begitu sengit dan peliknya konflik suksesi kepemimpinan tersebut hingga akhirnya juga harus merenggut nyawa dari Sunan Hadiri dan Sunan Prawata (saudara kandung ratu Kalinyamat) di tangan Arya Penangsang. Ratna Kencanapun merasa sangat berduka, selain karena harus kehilangan suami tercintanya, merekapun belum sempat dikaruniai momongan dari pernikahan itu.
Didorong oleh naluri kewanitaanya yang masih begitu sakit dengan peristiwa kematian suami dan saudaranya, maka Retna Kencana bertekad untuk membalas perbuatan Arya Penangsang. Kebulatan tekat itu bisa nampak dari langah-langkah yang diambil yaitu Beliau segera mengasingkan diri di wilayah pedalaman hutan Danaraja dan bertapa telanjang disana. Dalam Babad Tanah Jawi dituturkan bahwa Ratu Kalinyamat mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore (bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai). Ditengah pertapaannya tersebut Retna Kencana juga bersumpah bahwa dirinya tak akan pernah mengakhiri pertapaannya sebelum kematian Arya Penangsang.
Dari redaksi yang disebutkan dalam Babad Tanah Jawi itu, membuat sebagian besar masyarakat mempercayai bahwa Ratu kalinyamat atau Retna Kencana benar-benar bertapa dengan telanjang bulat. Namun dewasa ini banyak ahli yang mulai melakukan penafsiran lain, karena berdasarkan kajian kesusatraan redaksi yang digunakan dalam sumber tradisional Jawa adalah merupakan suatu kiasan yang memerlukan interpretasi secara kritis. Historiografi tradisional memuat hal-hal yang digambarkan dengan simbol-simbol dan kiasan-kiasan. Dalam bahasa Jawa kata wuda (telanjang) tidak hanya berarti tanpa busana sama sekali, tetapi juga memiliki arti kiasan yaitu tidak memakai barang-barang perhiasan dan pakaian yang bagus dan mewah. Disisi yang berbeda, bahwa kita mengenal bahwa Retna Kencana adalah seorang dari keluarga Kesultanan Demak yang dibesarkan dan didik dengan nilai-nilai agama Islam, oleh karena itu tentu tidaklah mungkin seorang muslimah yang taat melakukan hal-hal bertentangan dengan syariat. Jadi intrepetasi yang tepat adalah bahwa Retna Kencana setelah kepergian suaminya memilih untuk mengasingkan diri dan sudah tidak menghiraukan lagi untuk mengenakan perhiasan serta pakaian indah seperti layaknya seorang Ratu. Pikirannya ketika itu hanya dicurahkan untuk membinasakan Arya Penangsang.
Konflik suksesi kepemimpinan di Kesultanan Demak tersebut ahirnya dapat selesai dengan terbunuhnya Arya Penangsang di tangan Sutawijaya atas perintah Hadiwijaya. Selanjutnya Kesultanan Demak mengalami perombakan struktur kekuasaan yang cukup besar, dimana wilayah Demak akhirnya disatukan dengan wilayah Kalinyamat dan berdiri secara independen dibawah kepemimpinan ratu Kalinyamat. Adapun berikutnya Pangeran Hadiwijaya mendirikan kerajaan baru dengan nama Kesultanan Pajang.
Setelah dilantik menjadi penguasa tertinggi, Ratu Kalinyamat kemudian segera mengawali langakahnya dengan memperbaiki tata kelola administrasi pemerintahan dan tatakelola perdagangan yang sempat terganggu karena konflik. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya pelabuhan Jepara segera dapat kembali memainkan perannya sebagai bandar perdagangan yang cukup ramai. Seperti diketahui, dibawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat, Jepara mampu menjalin hubungan dengan hampir seluruh wilayah penting di Nusantara seperti Aceh, Johor, Banten, dan Maluku. Kemakmuran dari Jepara juga bisa dilihat dari kesanggupan Ratu Kalinyamat dengan tanpa kesulitan mampu mengirim berbagai ekspedisi militer dua kali ke Malaka dan satu kali ke wilayah Ambon. Padahal dari ekspedisi-ekspedisi itu pastilah membutuhkan biaya yang sangat besar.
Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan disamping pusara suaminya Sunan Hadiri di kawasan Mantingan. Hingga akhir hanyatnya, Ratu Kalinyamat memutuskan untuk tidak menikah lagi. Beliau lebih memilih untuk mengabdikan hidupnya dalam rangka membangun kerajaan yang tangguh dan mampu menjaga maruah bangsa dari penjajahan Portugis yang menjadi ancaman dalam perdagangan maupun dakwah kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara. Selain itu beliau juga dipercaya untuk mengasuh dan mendidik beberapa anak keturunan penguasa raja-raja Jawa seperti adiknya Pangeran Timur yang juga anak dari Sultan Trenggana kelak menjadi Bupati Madiun. Berikutnya adalah putera Sunan Prawata yang bernama Pangeran Pangiri yang kemudian menjadi Bupati Demak serta Pangeran Arya putera dari Raja Banten Sultan Hasanudin yang kelak akan menggantikan kedudukannya dan lebih dikenal sebagai Pangeran Jepara.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Chusnul Hayati. Ratu Kalinyamat : Ratu Jepara Yang Pemberani.Universitas Diponegoro, Semarang
Graaf, H.J.. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. 1986.Terjemahan Grafitipers dan KITLV. Jakarta: Grafitipers.
Sartono Kartodirdjo. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. 1977. Jakarta: Balai Pustaka.