(IslamToday ID) — Sunan Ampel adalah salah satu anggota Walisongo yang bisa dibilang paling senior. Perannya sangat besar bagi dakwah Islam di Jawa bahkan di Nusantara. Melalui dakwah yang berbasis pesantren Sunan Ampel juga mampu melahirkan para juru dakwah yang tak kalah hebat dalam usahanya mengIslamkan masyarakat Jawa, bahkan beliau sering disebut sebagai Guru Para Wali.
Asal-usul Sunan Ampel, bisa diketahui melalui kisah kedatangannya ke tanah Jawa. Namun demikian seperti biasa masih banyak versi berkaitan dengan silsilah keluarganya. Tetapi yang paling masuk akal dan bisa saling terkonfirmasi dengan fakta maupun periodesasi sejarah adalah bahwa beliau merupakan putra dari Syaikh Ibrahim Asmaraqandi. Dikisahkan, Syaikh Ibrahim Asamaraqandi adalah seorang pendakwah yang datang bersama istri (Dewi Candra Wulan/Retna Dyah Siti Asmara/Retna Sujinah) dan anak-anaknya dari Champa ke Pulau Jawa pada tahun 1440 Masehi. Adapun anak-anak Syaikh Ibrahim Asmaraqandi yang dimaksud adalah Ali Musada (Ali Murtadho), Raden Rahmat (Ali Ramatullah) dan sepupunya Raden Burereh (Abu Hurairah).
Setelah melakukan perjalanan yang panjang akhirnya mereka tiba di kawasan Tuban. Adapun tujuan kedatangan rombongan tersebut adalah untuk menghadap dan mendakwahi Raja Majapahit yang menikahi adik isterinya bernama Dewi Dwarawati. Sebelum sampai ke wilayah Tuban, mereka sempat singgah di Palembang dan berhasil mengIslamkan Arya Damar sang Adipati Palembang.
Sesampainya di Tuban, Syekh Ibrahim Asmoroqondi sempat melakukan dakwah beberapa waktu dan berhasil mengembangkan Islam dikawasan tersebut. Namun takdir tak dapat ditolak, tak lama setelah menetap di Tuban beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Desa Gesikharjo, Palang Tuban. Setelah kepergian ayahnya maka Ali Murtadha, Ali Ramatullah dan Abu Hurairah melanjutkan misi dakwahnya ke kota praja Majapahit.
Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi pada awal dasawarsa keempat abad ke-15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang. Menurut keterangan Hikayat Hassanuddin, menjelaskan bahwa pada waktu Kerajaan Champa ditaklukan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim di Jawa. Jadi bisa disimpulkan bahwa kedatangan Sunan Ampel ke Jawa pastilah sebelum tahun 1446 M. Adapun menurut De Graaf dan Piegaud yang merujuk pada laporan Tome Pires menyebutkan kedatagan Sunan Ampel ke Jawa dan diteruskan ke majapahit adalah pada tahun 1443 M.
Usia Ali Rahmatullah saat kedatangannya ke Jawa diperkirakan kurang lebih 20 tahun. Jadi tahun kelahiran beliau diperkirakan tahun 1423 M. Dalam perjalanannya ke Majapahit, rombongan dari Champa tersebut tercatat sempat singgah di kawasan Gresik dan menyempatkan diri mengunjungi Syaikh Jumadil Kubro. Setelah rombongan Ali Rahmatullah sampai di Majapahit,mereka diperlauan dengan baik oleh Prabu Brawijaya, bahan Ali Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, seorang putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban. Sejak saat itulah Ali Rahmatullah mendapat gelar Raden, dan orang-orang Jawa memanggilnya dengan nama Raden Rahmat.
Perlakuan istimewa lain yang didapat oleh Ali Rahmatullah selain dinikahkan dengan pembesar keluarga Majapahit, beliau juga mendapatkan anugrah sebidang tanah di wilayah Ampeldenta yang terletak di daerah pesisir Surabaya. Bersamaan dengan pemberian tanah tersebut, juga diberikan pula sejumlah 300 keluarga untuk membantu pendirian dan pengembangan kawasan Ampel. Dalam serat Walisana, Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat/Ali Ramatullah sebagai pemimpin Ampeldenta atau Surabaya, melainkan menyerahkannya terlebih dahulu kepada Adipati Surabaya yang bernama Arya Lembusura, yang diketahui juga telah beragama Islam. Arya Lembusura emudian menempatkan Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya, berkediaman di Ampeldenta dengan gelar Sunan Ampeldenta dengan nama Pangeran Katib. Setelah wafatnya Arya Lembusura, maka Sunan Ampel menggantikannya sebagai penguasa Surabaya karena istrinya Nyai Ageng Manila ternyata adalah cucu dari Arya Lembusura.
Dari daerah Ada cerita menarik, berkaitan perjalanan Sunan Ampel dari Majapahit ke daerah Ampeldenta. Alkisah, rombongan Sunan Ampel yang sangat banyak, berwajah bersih dan berpakaian rapi, membuat masyaraat terkagum-kagum. Karena Sunan Ampel adalah orang yang sederhana dan merakyat, maka beliau tak ragu-ragu untuk mengampiri dan mengajak mereka berinteraksi sambil mendakwahan islam. Dari interaksi yang ada, banyak diantara mereka yang mau memeluk agama Islam. Sebagai hadiah beberapa mualaf tadi diberikan sebuah kipas, dimana saat itu memiliki nilai yang sangat besar baik secara ekonomi maupun prestise.
Kisah lain yang mengiringi perjalanan Sunan Ampel adalah bahwa ketika Raden Ramat melewati daerah Pari, Kriyan, Wonokromo, dan daerah Kembang Kuning yang masih berupa hutan, beliau bertemu dengan penguasa tempat tersebut yang bernama Ki Bang Kuning atau Ki Wirajaya dan dipersilahkan menetap sementara di rumahnya sambil mempersiapkan bekal perjalanan menuju Ampel. Saat menetap disana, Ki Bang Kuning mendapatkan dakwah dari Raden Rahmat dan akhirnya sekeluarga mau memeluk agama Islam. Di ketahui juga, setelah seluruh keluarga Ki Bang Kuning menerima Islam, Raden Rahmat lalu dinikahkan dengan putrinya yang bernama Mas Karimah. Dari pernikahan itu lahir dua orang putri: mas Murtosiyah dan mas Murtosimah.
Selama tinggal di daerah Bang Kuning, Raden Rahmat juga dikisahkan berhasil membangun sebuah masjid. Dibantu dengan nama besar mertuanya Ki Bang Kuning, masjid tersebut dengan cepat dapat diselesaikan dan selanjutnya menjadi poros dakwah baru di kawasan itu. Setelah Raden Rahmat melanjutkan perjalanan ke Ampeldenta, selanjutnya dakwah Islam dilanjutkan oleh Ki Bang Kuning sebagai pemuka atau sesepuh.
Selain anugrah yang diberikan oleh Prabu Brawijaya kepada Ali Rahmatullah, anugrah juga diberikan kepada anggota rombongan yang lain. Raden Ali Santri atau Ali Murtadha mendapatkan hadiah tanah dakwah di Gresik yang kemudian mendapatan gelar Raja Pandhita Gung, Ali Murtala. Sedangan Abu Hurairah memperoleh hadiah tanah di wilayah Mojoagung dan selanjutnya beliau lebih dikenal dengan nama Sunan Mojoagung.
Kiprah Dakwah Sunan Ampel
Mengikuti cara dakwah Maulana Malik Ibrahim, setelah tiba di daerah Ampeldenta (Surabaya), Raden Rahmat memprioritaskan pembangunan masjid dan pesantren. Dari sinilah beliau mulai dakwahnya kepada masyarakat dengan metode asimilasi. Metode ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman masyarakat Jawa terhadap ajaran Islam. Beberapa contoh asimilasi tersebut antara lain mengganti beberapa istilah Islam kedalam istilah yang lebih dekat dengan masyarakat setempat seperti kata Sholat diganti dengan sembahyang, kata mushalla diganti dengan istilah langgar yang dekat dengan istilah sanggar yang waktu itu adalah sebutan untuk tempat ibadah orang Hindu bersemedi kepada para dewa. Istilah lainnya adalah murid-murid yang belajar ditempat beliau diebut dengan santri, berasal dari kata shastri, yaitu orang-orang yang tahu buku suci agama Hindu.
Dengan pengajaran yang baik dan menyeluruh, serta mudah dimengerti dan dilaksanakan, maka semakin banyaklah masyarakat yang tertarik dengan keilmuan yang diajaran oleh Sunan Ampel. Para santri tak hanya datang dari kawasan sekitar Surabaya, namun datang dari seluruh penjuru wilayah. Dari pesantren ini pula lahir generasi dakwah yang sangat tangguh, mampu meneruskan estafet syiar Islam ke seluruh penjuru Tanah Jawa dan memiliki nama besar di wilayah masing-masing dinataranya adalah Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Raden Patah dan Sunan Kalijaga.
Selain melalui pesantren, dakwah Sunan Ampel juga dilakukan dengan mengirim utusan kepada penguasa-penguasa di daerah lain untuk mau memeluk Islam. Disisi lain sebagai pribadi, Sunan Ampel dikenal sebagai pribadi yang taat dalam ibadah, merakyat dan penyabar. Hal ini tercermin dalam usahanya dalam menghadapi cobaan saat berdakwah. Sebagai contoh, Sunan Ampel sering ditertawakan saat melaksanakan sholat, karena bagi masyarakat Ampel gerakan sholat masih dianggap sebagai gerakan yang aneh. Adapula kisah lain saat beliau banyak dicemooh dan dinilai suka pilih-pilih makanan, karena Sunan Ampel dan murid-muridnya tidak mau makan daging babi dan justru malah memilih daging kambing yang aromanya dinaggap apak oleh mayoritas masyarakat saat itu. Namun Sunan Ampel selalu menanggapinya dengan senyuman dan menjelaskannya dengan sabar sehingga membuat masyarakat semakin tertarik dengan dakwah yang beliau sampaikan.
Adapun salah satu ajaran Sunan Ampel yang sangat dikenal, bahkan telah merasuk hingga menjadi standar moral bagi masyarakat Jawa adalah ajaran beliau yang sering dikenal dengan Moh Lima. Secara bahasa, arti falsafah Moh Lima adalah tidak mau melakukan lima hal atau pantang terhadap lima hal, yaitu: Moh Main; tidak mau berjudi, Moh Ngombe, tidak mau minum arak/ khamr; Moh Maling,tidak mau mencuri; Moh Madat, tidak mau mengisap candu; dan Moh Madon, tida mau berzina atau main perempuan.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Sjamsudduha. 2004. Sejarah Sunan Ampel, Guru Para Wali di Jawa dan Perintis Pembangunan Kota Surabaya. Surabaya: Jawa Pos Press.
Zainal Abidin bin Syamsuddin. 2018. Fakta Baru Waligongo. Jakarta: Pustaka Imam Bonjol