(IslamToday ID) — Sunan Giri adalah salah seorang Wali Songo yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas, Gresik, Jawa Timur. Beliau lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun 1433 M atau 1355 Saka berdasarkan Candra Sengkala “Jalmo Orek Werdaning Ratu” yang tertulis dalam berbagai sumber rujukan yang dikutip oleh Rafless.
Sunan Giri merupakan anak dari buah pernikahan antara Maulana Ishaq, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit.
Dalam berbagai naskah seperti Babad Tanah Jawi maupun Babad Ing Gresik, Umar Hasyim dalam bukunya Sunan Giri, menceritakan bahwa Syekh Maulana Ishaq merupakan seorang ulama besar yang berasal dari Pasai. Beliau datang ke Jawa karena tertarik dengan beberapa kisah yang sering didengar bahwa penduduk Jawa berjumlah sangat banyak, namun masih sedikit yang memeluk Islam, oleh karena itu beliau segera membulatkan tekad dan seterusnya memutuskan untuk pergi meninggalkan Pasai.
Kepergian Syekh Maulana Ishaq ke Jawa tidak dilakukan secara serampangan, namun beliau sudah memiliki rencana untuk menemui salah seorang kerabatnya yang telah dikenal sebagai salah satu pejabat yang berpengaruh di wilayah Majapahit.
Setelah tiba di pelabuhan Gresik Syekh Maulana Ishaq langsung menuju pedukuhan Ampel Denta, pada saat itu keponakannya yang bernama Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel telah mempunyai pesantren. Setelah lama berada di Ampel bersama keponakannya tersebut Syekh Maulana Ishaq melanjutkan perjalanannya untuk menyebarkan Islam ke Blambangan. Setelah sampai di Blambangan Syekh Maulana Ishaq melakukan ‘uzlah’ tepatnya di Gunung Slangu, beliau beruzlah melaksanakan shalat dan puasa guna mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pada saat beruzlah di Gunung Slangu kerajaan Blambangan sedang terjadi bencana wabah penyakit yang menyerang warganya, berbulan-bulan penyakit tersebut telah banyak menyebabkan orang meninggal dunia, hampir setiap hari ada orang yang meninggal, penyakit tersebut dikenal sebagi penyakit yang ganas, sampai-sampai jika seseorang terkena penyakit ini pada pagi hari, maka malam akan meninggal, begitu sebaliknya.
Pada saat itu wabah penyakit juga melanda istana, bahkan puteri raja sendiri yang bernama Dewi Sekardadu sakit parah. Melihat puteri kesayangannya sakit raja menjadi cemas, sehingga memanggil seluruh dukun, tabib, dan sebagainya untuk mengobati sang puteri, namun usaha itu masih belum dapat menyembuhkan sang puteri, melihat berbagai usaha yang dilakukan oleh raja sia-sia, raja akhirnya mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa menyembuhkan puteri Dewi Sekardadu jika laki-laki maka akan dikawinkan dengan Dewi Sekardadu dan akan diberikan separoh dari Kerajaan Blambangan dengan menjadi Raja Anom.
Mendengar sayembara tersebut sang patih kemudian lapor kepada raja, bahwa ada seorang pendeta yang tinggal di Gunung Slanggu, namnya Syekh Wali Lanang yang perilakunya berbeda dengan perilaku orang lain pada umumnya, pakaian yang dipakainya juga berbeda, dia memakai jubah putih dan memakai sorban, dan tidak menyembah dewa. Mendengar laporan dari patihnya, raja kemudian mengutus patihnya itu untuk memanggil pendeta tersebut dengan maksud untuk meminta bantuan menyembuhkan puterinya yang sakit, setelah sampai di Gunung Slanggu ternyata pendeta tersebut adalah Syekh Maulana Ishaq. Setelah itu patih tersebut kemudian mengutarakan niat kedatangannya untuk meminta bantuan sang pendeta agar menyembuhkan sakit puteri raja yang bernama Dewi Sekardadu tersebut. Syekh Maulana Ishaq bersedia mengobatinya namun dengan satu persyaratan, yaitu Prabu Menak Sembuyu harus memperbolehkan dakwah Islam di Blambangan, akhirnya patih tersebut memberi tahu raja tentang persyaratan itu, dan raja menyetujuinya, sehingga Syekh Maulana Ishaq bersedia mengobati Dewi Sekardadu tersebut, dan akhirnya Dewi Sekardadu sembuh seperti sedia kala.
Setelah melihat puterinya sembuh, raja kemudian menepati janji dalam sayembaranya tersebut, yaitu menikahkan puterinya dengan Syekh Maulana Ishaq dan memberi separoh dari Kerajaan Blambangan kepada Syekh Maulana Ishaq. Akhirnya Syekh Maulana Ishaq menikah dengan puteri raja Kerajaan Blambangan yang bernama Dewi Sekardadu (Nyai Dewi Sekardadu), dan menjadi raja di kerajaan Blambangan dengan gelar Prabu Anom. Syekh Maulana Ishaq berada di Blambangan dengan menjadi raja selama 7 bulan. Pada saat itu, Dewi Sekardadu sudah mengandung bayi yang kelak lahir dengan nama Raden Paku.
Selama 7 bulan tersebut banyak sekali masalah yang dialami oleh Syekh Maulana Ishaq dengan Prabu Menak Sembuyu yang disebabkan oleh hasutan Patih Bajulsengoro. Raja merasa bahwa keberadaan Syekh Maulana Ishaq di Blambangan lama-lama akan mengeser agama Hindu yang selama ini telah menjadi agama resmi kerajaan. Hal ini terlihat arena semakin banyaknya orang-orang Blambangan yang setiap hari mengunjungi Syekh Wali Lanang. Masyarakat begitu tertarik dengan keberadaan beliau karena akhlaknya yang mulia, badannya yang selalu bersih dan harum, dekat dengan masyarakat bawah dan tidak membeda-bedakan status sosial, serta masyarakat yang datang berobat tidak pernah dimintai upah, bahkan malah terlihat sering diberikan bekal untuk perjalanan pulang.
Oleh karena mendapatkan hasutan dari patihnya yang bernama patih Bajulsengoro, kemudian raja marah dengan Syekh Maulana Ishaq dan tidak menginginkan Islam ada di Kerajaan Blambangan. Mendengar kemarahan raja Menak Sembuyu, maka Syekh Maulana Ishaq mengalah dengan memutuskan untuk pergi dari Kerajaan Blambangan, sebab jika masih berada di Blambangan maka akan ada pertumpahan darah yang seharusnya tidak terjadi, dan hal ini tidak disukai oleh Syekh Maulana Ishaq. Pada saat itulah Syekh Maulana Ishaq mulai pergi dari kerajaan dan berpesan kepada istrinya serta kepada para pengikutnya bahwa dia akan pergi ke Pasai, namun sebelum ke Pasai Syekh Maualana Ishaq singgah terlebih dahulu di pesisir Pulau Jawa (pantai segoro lor atau pantai Sepaku/Sepakis) yang sekarang termasuk Desa Kemantren.
Setelah kepergian Syekh Maulana Ishaq, Kerajaan Blambangan kembali diserang wabah penyakit. Patih Bajulsegoro kemudian melaporkan kepada raja, bahwa yang menyebabkan wabah penyakit tersebut diakibatkan oleh bayi yang dikandung oleh Dewi Sekardadu. Mendengar hal itu raja dan patih Bajulsegoro memiliki rencana jahat untuk membunuh anak yang akan dilahirkan Dewi Sekardadu, Prabu Menak Sembuyu dan Patih Bajulsegoro beranggapan bahwa jika anak yang dikandung oleh Dewi Sekardadu lahir dan dibiarkan hidup maka akan mengakibatkan marabahaya, sehingga bayi tersebut harus dibunuh.
Untuk mewujudkan rencana itu, Prabu Menak Sembuyu kemudian membuatkan peti terbuat untuk tempat bayi dan memerintahkan kepada para pengawal kerajaan untuk menghanyutkan ke laut. Berita itu pun tak lama terdengar oleh Dewi Sekardaru. Dewi Sekardadu berlari mengejar bayi yang baru saja dilahirkannya. Siang dan malam menyusuri pantai dengan tidak memikirkan lagi akan nasib dirinya. Dewi Sekardadu pun meninggal dalam pencariannya.
Peti besi berisi bayi itu terombang-ambing ombak laut terbawa hingga ke tengah laut. peti itu kemudian tersangkut pada sebuah kapal yang hendak berdagang ke pulau Bali. Awak kapal itu kemudian menghampiri, mengambil dan membuka peti tersebut. Awak kapal terkejut setelah tahu bahwa isi dari peti itu adalah bayi laki-laki yang molek dan sehat. Awak kapal pun memutar haluan kembali pulang ke Gresik untuk memberikan temuannya itu kepada Nyai Gede Pinatih seorang saudagar perempuan di Gresik sebagai pemilik kapal. Melihat sosok bayi yang nampak bersih dan sehat, dirinya merasa sangat menyukai bayi itu dan kemudian mengangkatnya sebagai anak dengan memberikan nama Joko Samudra.
Menurut buku Sedjarah Banten yang dikutip oleh Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo, Nyai Gede Pinatih adalah seorang janda kaya raya dari Gresik, bersuami Khoja Makhdum Syahbandar, seorang asing yang berdarah Timur Tengah di Majapahit. Adapun nama Pinatih sendiri sejatinya berkaitan dengan nama keluarga dari Ksatria Manggis di Bali, yang merupakan keturunan penguasa Lumajang, Menak Koncar salah seorang keluarga Maharaja Majapahit yang awal sekali memeluk Islam.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Umar Hasyim. 1978. Sunan Giri. Kudus : Menara Kudus
Zainal Abidin bin Syamsuddin. 2018. Fakta Baru Waligongo. Jakarta: Pustaka Imam Bonjol