(IslamToday ID) — Sunan Giri yang masa kecilnya bernama Jaka Samudra, sejak bayi diasuh oleh ibu angkatnya yaitu Nyai Gede Pinatih, seorang janda kaya raya yang tinggal di wilayah Gresik. Masa kecil Joko Samudra dibesarkan dalam lingkungan perdagangan dan tradisi keIslaman oleh keluarga ibunya. Sejak kecil, dirinya sudah begitu memperlihatkan kecerdasannya baik dalam ilmu umum maupun dalam praktik peribadatan.
Mengenai kisah perjalanan keilmuan yang dilakukan oleh Sunan Giri, beberapa penulis sejarah tentang Walisongo seperti Solichin Salam, Umar Hasyim dan Hansamu Simon memberikan gambaran yang sama. Bahwa setelah beranjak dewasa, atau pada usia 12 tahun, Nyai Gede Pinatih kemudian mengirim Jaka Samudra ke Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel. Di pesantren Ampeldenta, Joko Samudra pandai bergaul, salah satu teman dekatnya adalah Raden Makdum Ibrahim putra Sunan Ampel yang kelak diberi gelar kehormatan Sunan Bonang. Mengingat rumah Joko Samudra cuup jauh dan setiap hari harus mondar-mandir Gresik-Surabaya, maka Sunan Ampel merasa kasihan, oleh karena itu dirinya diminta untuk tinggal di pesantren Ampeldenta.
Setelah tinggal beberapa lama di Pesantren Ampeldenta, nama Jaka Samudra diubah oleh gurunya Sunan Ampel menjadi Raden Paku. Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo, pergantian julukan dari Jaka Samudra yang diberikan oleh ibu angkatnya Nyai Gede Pinatih, menunjukkan pada terjadinya perubahan status dari kedudukan masyarakat kebanyakan menjadi keluarga penguasa Curabhaya bergelar Raden, yang merupakan bagian dari keluarga Maharaja Majapahit. Hal ini didasarkan pada posisi Nyai Gede Pinatih, selain sebagai seorang saudagar yang kaya raya, tetapi dirinya juga dianggap sebagai pejabat atau masih memiliki keturunan bangsawan Majapahit. Nama Pinatih sejatinya merupakan sebuah nama keluarga dari golongan satria di Bali yang masih memiliki jalur keturunan dari penguasa Lumajang, Arya Menak Koncar, salah seorang keluarga Maharaja Majapahit yang telah memeluk Islam.
Itu sebabnya, pada saat kekuasaan Majapahit terpecah-pecah menjadi kadipaten kecil yang saling berperang satu dengan lain, Raden Paku mempertahankan kemerdekaan wilayahnya dengan mengangkat diri sebagai penguasa wilayah dengan gelar Sunan Giri. Selain itu julukan Paku di-ibaratkan suatu saat Jaka Samudra seakan menjadi Pakunya di Jawa yang bermakna pasaknya syiar Islam. Sementara itu, dalam sumber lain seperti yang ditulis oleh Hansamu Simon dalam buku Misteri Syekh Siti Jenar, penamaan Raden Paku oleh Sunan Ampel, karena sang Guru lambat laun mengetahui bahwa Jaka Samudra bukan anak kandung Nyai Gede Pinatih, melainkan anak pamannya Maulana Ishaq, dan Sunan Ampel mendapatkan amanah jika kelak bertemu dengan anaknya agar diberi nama Paku.
Seiring berjalannya waktu, Raden Paku menunjukkan perkembangan yang baik. Ia mampu menyelesaikan seluruh pelajaran yang diberikan dari Sunan Ampel dalam watu yang telah ditentukan. Dari sinilah, maka setelah Sunan Ampel merasa cukup memberikan ilmu kepadanya memutuskan untuk mengirim Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim menuju Pasai untuk berguru pada ulama-ulama termahsyur di tanah serambi Mekah tersebut. Adapun secara khusus bagi Raden Paku sengaja dikirim ke Pasai untuk bertemu dengan ayah kandungnya Syekh maulana Ishaq.
Perjalanan keilmuan Raden Paku di Pasai, secara garis besar disampaikan oleh Umar Hasyim dalam bukunya Sunan Giri dan Pemerintahan Giri Kedhaton sebagai berikut: ketika meraka sampai Pasai, keduanya langsung bertemu dengan Syekh Maulana Ishaq dan memutuskan untuk menimba ilmu di pesantren yang didirkian oleh Syekh Maulana Ishaq. Sekira tiga tahun Raden Paku dan Makdum Ibrahim belajar berbagai macam ilmu agama Islam dengan mahir. Kiranya ilmu yang dimiliki itu telah cukup bila untuk diamalkan bagi dirinya sendiri maupun untuk disiarkan kepada masyarakat. Artinya, bila untuk bekal sebagai Mubaligh, ilmu yang didapatkan itu telah memadai terutama ilmu Tauhid dan Tashawuf. Kebetulan di Pasai sendiri memang banyak banyak para ulama dari tanah Persia dan Baghdad serta dari dari tanah India yang membuka pengajaran di situ. Para ahli Tashawuf itu pun benar-benar menjiwai di amal perbuatannya sehari-hari, sehingga sangat terkesan di hati Raden Paku.
Khusus keilmuan Sunan Giri yang berkaitan dengan ilmu Tasawuf, Agus Sunyoto berpendapat, bahwa aliran tasawuf yang dipelajari Raden Paku di Pasai adalah Aliran Tarekat Syatariyah. Pendapat ini didasari oleh adanya catatan silsilah Bupati Gresik yang pertama bernama Kyai Tumenggung Pusponegoro, terdapat silsilah Tarekat Syatariyah yang juga menyebut nama Syekh Maulana Ishaq dan Raden Paku terhadap urutan gurunya.
Dari sisi sebailiknya, Guru-gurunya melihat Raden Paku sebagai murid yang memiliki kelebihan. Beliau dinilai sebagai santri yang sangat cerdas dan tekun didalam belajar, juga selalu mengamalkan apa yang diperoleh dari pengajaran dalam praktik kehidupan sehari-hari. Maka sewaktu masih muda saja, sosok Raden Paku telah tampak sebagai orang alim yang khusyu’, berpribadi dan berwibawa. Matanya selalu bersinar, sesuai dengan ilmunya yang dalam, dan terutama ketika menghadapi suatu masalah, tampak pada wajahnya sebagai seorang yang memiliki sifat kepemimpinan. Atas semua yang dimiliki Raden Paku itu, yakni baik ilmu agama atau kepribadiannya, maka salah seorang guru memberi julukan Raden Paku dengan sebutan yang biasanya hanya diberikan kepada orang yang telah tua, yakni “Maulana Ainul Yaqin”.
Setelah tiga tahun berguru di Pasai, akhirnya Raden Paku dan Makdum Ibrahim dinilai telah layak untuk melanjutkan dakawah secara mandiri. Keduanya lalu diperintahkan oleh Syekh Maulana Ishaq untuk kembali ke daerah asal dan segera memulai langkah mengembangkan ajaran Islam di tanah Jawa. Secara khusus, sebelum berangkat pulang, Raden Paku dipanggil oleh Syekh Maulana Ishaq dan diberikan segumpal tanah. Dirinya diberi pesan, agar kelak setelah sampai di Jawa, Raden Paku segera mendirikan sebuah pesantren di tempat yang memiliki jenis tanah seperti pemberiannya. Raden Paku menerimanya dengan takzim, kemudian melanjutkan perjalanan pulang menuju tanah Jawa.
Penulis: Muh Sidiq
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Umar Hasyim. 1978. Sunan Giri dan Pemerintahan Giri Kedh