(IslamToday ID) — Raden Sahid merupakan nama kecil dari Sunan Kalijaga putra seorang bupati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta, yang memiliki istri bernama Dewi Nawangrum. Dalam Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwasanya Tumenggung Wilatikta adalah nama ayah dari Raden Sahid, yang dikatakan dalam Babad Tuban sebagai anak dari seseorang yang bukan asli pribumi jawa yakni Arya Teja. Nama aslinya adalah Abdurrahman merupakan orang keturunan Arab sekaligus Ulama yang berhasil mengislamkan Bupati Tuban, Arya Dikara dan menjadi menantunya. Ketika Abdurrahman menggatikan mertuanya menjadi Bupati Tuban dan mengubah namanya menjadi Arya Teja. Dari pernikahannya dengan putri Arya Dikara inilah, ia dikarunia seorang anak bernama Arya Wilatikta.
Sebelum menikahi putri Arya Adikara, Arya Teja telah menikah dengan dengan putri Bupati Surabaya, Arya Lembu Sura. Dari pernikahan tersebut, ia memiliki seorang putri yang kelak akan diperistri oleh Sunan Ampel yang dikenal dengan nama Nyai Ageng Manila.
Pendapat yang mengatakan bahwa Wilatikta merupakan keturunan masyarakat Arab, juga menyatakan bahwa silsilah mereka terus menyambung hingga Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini berdasarkan penelitian dari Agus Sunyoto yang menelaah keterangan dalam Babad Tuban dan C.L.N Van Den Berg dalam “La Hadhramaut et les Colonies Arabes dansl’Archipel Indien”.
Nama Sunan Kalijaga memiliki ragam versi pemaknaan yang ditinjau dari asal bahasa pembentuk katanya. Gelar Sunan yang berasal dari kata susuhunan memiliki arti orang yang terhormat, sementara kata Kalijaga memiliki banyak versi arti. Versi pertama nama Kalijaga mengacu pada Bahasa Jawa asli yakni ‘kali’ adalah sungai dan ‘jaga’ berarti menjaga. Hal ini merupakan penafsiran yang didasarkan pada kisah dalam Babad Tanah Jawi yang mana beliau pernah bertapa ditepi sungai seakan-akan beliau sedang menjaga sungai tersebut.
Penafsiran lain mengatakan bahwa menjaga kali maksudnya adalah sungai sebagai pengibaratan tempat mengalirnya aliran-aliran kepercayaan di Tanah Jawa yang beragam. Beliau tidak menunjukkan sikap antipati terhadap aliran maupun kepercayaan lain selain Islam. Sebaliknya aliran-aliran tersebut senantiasa dihadapi dan dengan penuh toleransi bergaul dengan keberagaman masyarakat. Dikatakan bahwasanya Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang faham dan mendalami segala pergerakan dan aliran atau agama yang hidup di kalangan rakyat.
Sementara kata kalijaga dalam versi Bahasa Arab berasal dari kata qadli yang berarti pelaksana, penjaga, atau pemimpin, lalu kata ‘Jaga’ adalah zakka yang berarti membersihkan. Sehingga menurut penafsiran ini kalijaga berasal dari Bahasa Arab yang telah menurut pengucapan lidah jawa Qadli Zakka yang berarti penghulu suci. Nama tersebut merupakan nama sanjungan yang diberikan oleh Pangeran Modang Cirebon tatkala mereka berdiskusi tentang masalah Hukum Islam di Cirebon. Dari nama sanjungan Qadli Zakka tersebut, tempat tinggal sang Sunan disebut sebagai Kalijaga, yakni nama suatu desa di daerah Kabupaten Cirebon.
Versi ketiga merupakan kebalikan dari versi kedua yakni Sang Sunan dijuluki sebagai Kalijaga sebab beliau merupakan orang terhormat yang pernah mendiami suatu Desa bernama Kalijaga. Pendapat ini juga menyanggah versi pertama yang menafsirkan kata Kalijaga dengan “Penjaga Kali”, menurut Prof. Dr. Husein Djayaningrat, penafsiran dengan susunan kata tersebut tidak sesuai dengan corak logat jawa. Seharusnya jika memang artinya “penjaga kali” maka disebut “jaga kali”. Sehingga bukan karena suatu tempat terdapat orang yang menjaga kali lalu tempat tersebut diberi nama Kalijaga, namun nama Sunan Kalijaga lahir sebab yang bersangkutan menetap di Desa yang bernama Kalijaga. Penafsiran yang demikian diperkuat dengan pendapat Hadiwijaya yang merujuk nama-nama Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Ngudung, Syekh Lemah Abang, yang semua namanya diberikan berdasarkan tempat tinggal.
Suasana Kebatinan R. Said
Raden Said telah mendapatkan pendidikan agama sejak kecil. Akan tetapi saat melihat kondisi masyarakat Tuban yang diliputi kemiskinan, kesengsaraan yang dialami rakyat, jiwanya berontak. Sebab kesengsaraan rakyat tersebut masih harus ditambah dengan beratnya beban upeti sementara pejabat yang berkuasa berfoya-foya, pejabat kadipaten menghardik rakyat kecil. Kegelisahan atas keadaan rakyat tersebut sebenarnya telah disampaikan Raden Said kepada ayahnya. Namun apa daya ayahnya hanyalah raja bawahan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit Pusat, yang pada saat itu mulai mengalami masa surut.
Hingga pada akhirnya rasa solidaritas dan simpati Raden Said kepada rakyat tersebut mengakibatkan jiwanya berontak dan berujung pada aksi nekat berupa pencurian bahan makanan di Gudang Kadipaten. Raden Said membagikan makanan dari dalam gudang secara diam-diam dan membagikannya kepada rakyat miskin secara diam-diam pula. Namun, lewat intaian penjaga kadipaten lama-kelamaan Raden Said tertangkap dan mendapat hukuman keras berupa pengusiran.
Pasca pengusiran tersebut ia mengembara tanpa tujuan pasti, namun tetap dengan misi yang sama, merampok dan mencuri untuk rakyat kecil. Ia kemudian menetap di hutan Jatiwangi, menjadi berandal yang merampok orang-orang kaya yang lewat. Dari aktifitas inilah, Sunan kalijaga dikenal dengan nama Brandal Lokajaya, hingga pertemuannya dengan Sunan Bonang membuatnya menyadari segala kesalahannya dan akhirnya memutuskan untuk menjalani jalan dakwah di kalangan masyarakat Jawa.
Perjalanan Ilmu
Sebelum disebut dan diangkat sebagai anggota Dewan Walisongo, Sunan kalijaga seperti halnya para juru dakwah yang lain juga menjalani proses belajar tentang keilmuan Islam. Secara khusus beliau mendapatkan penggemblengan ilmu agama seperti aqidah, akhlak, hadits, fiqih dan tarekat oleh Sunan Bonang.
Setelah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang diajarkan Sunan Bonang, Sunan Kalijaga masih berguru kepada beberapa wali yang lain, yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri. Dia juga berguru ke Pasai dan berdakwah hingga Patani di Thailand. Tidak begitu banyak catatan yang menyebutkan tentang siapa guru Sunan Kalijaga saat berada di Pasai. Satu-satunya sumber yang dapat diketahui adalah catatan dalam Serat Kadhaning Ringgit Purwa, bahwa dalam perjalanannya menuju Mekkah beliau ditahan oleh Syaikh Maulana Maghribi di daerah Pinang dan diperintahkan untuk kembali membangun masjid dan berdakwah kepada masyarakat.
Dalam Hikayat Patani Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai tabib, bahkan mampu menyembuhkan Raja Patani yang terserang peyakit kulit parah. Di wilayah tersebut Sunan Kalijaga dikenal dengan Syaikh Said. Dia juga dikenal dengan Syaikh Malaya karena berdakwah di daerah Melayu. Setelah beberapa tahun berguru di Pasai dan berdakwah di wilayah Malaka dan Patani, Sunan Kalijaga kembali ke Jawa dan diangkat menjadi anggota Wali Songo, menggantikan Syaikh Subakir yang kembali ke Persia. Selanjutnya beliau tidak berhenti di suatu tempat, maelainkan terus berkeliling untuk menyebarkan agama Islam.
Metode Dakwah Sunan Kalijaga
Dalam dakwahnya Sunan Kalijaga tidak seperti halnya para sunan yang lain yaitu membangun sebuah pesantren sebagai pusat kegiatan dakwah, melainkan Sunan kalijga lebih memilih untuk mengembara, menemui langsung masyarakat bawah hingga para penguasa setempat dan diajaklah mereka untuk memeluk agama Islam.
Sebagaimana Sunan Bonang yang dididik di lingkungan keluarga ibunya yang berasal dari Tuban, Sunan Kalijaga juga mempelajari kesenian dan kebudayaan Jawa. Sehingga ia mampu memahami dan menguasai kesusastraan Jawa beserta pengetahuan ilmu falakh serta pranatamangsa dari keluarganya, terutama dari Sunan Bonang. Keahlian dasar inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Sunan kalijaga untuk sarana dakwah yang ia lakukan.
Sebagai seorang pendakwah yang memiliki basis kesenian, Sunan Kalijaga sering kali dijumpai masyarakat dalam sosoknya sebagai seorang dalang. Beberapa peneliti bahkan berani mengatakan bahwa Sunan kalijagalah yang pertama kali membuat wayang dari kulit dan dibuat satu-demi satu sesuai karakter masing-masing. Dalam berbagai pentas yang dilakukan, Sunan Kalijaga selalu memasukkan unsur-unsur Islam dan membuang kaidah-kaidah kepercayaan Hindu. Beberapa lakon wayang yang sering dikenal hingga sekarang adalah ‘Petruk dadi Ratu’ yang menggambarkan keserakahan orang yang tidak memiliki kemampuan namun ngotot ingin menjadi penguasa. Adapula ‘Jamus Kalimasada’ yang merupakan perlambang dua kalimat syahadat adalah senjata paling sati bagi manuisa dalam menjalani kehidupan.
Oleh karena seringnya beliau berkelana ke berbagai tempat dengan melakukan pertunjukan wayang, maka beliau juga memiliki banyak nama sesuai panggilan dari masing-masing tempat beliau berdakwah. Beliau dipanggil Ki Benguk ketika menggelar pertunjukan di Tegal. kemudian ia juga dipanggil dengan nama Ki Seda Brangti ketika berdakwah di Padjajaran, sementara itu di wilayah Blambangan beliau dipanggil dengan nama Kuncoro Purba. Uniknya lagi, Sunan kalijga tidak pernah meminta bayaran sepeserpun dalam setiap pementasan, namun demikian beliau hanya meminta imbalan berupa diaolg dengan warga maupun tokoh setempat dan akhirnya mereka semua diajak masuk agama Islam.
Peranan Penting di Kesultanan Demak
Selain dalam hal seni, Sunan Kalijaga juga berperan dalam masalah perpolitikan di Kesultanan Demak. Disana beliau diangkat sebagai dewan penasihat dan pembina umat. Perannya di dalam pemerintahan Demak juga sangat besar, beliau dikenal dengan kecerdasannya dalam urusan diplomasi. Dari berbagai versi yang ada, jasa beliau yang paling besar tentu adalah keberhasilannya membujuk Prabu Brawijaya V selaku Raja Majapahit sekaligus Ayahanda Sultan Fattah untuk mau memeluk Islam.
Dalam peperangan yang dilakukan oleh Demak dalam rangka menghancurkan kekuatan Majapahit dibawah Girindra Wardhana, Sunan Kalijaga juga tercatat perannya. Pertama beliau mengirimkan murid-murid terbaiknnya sebanyak 40 orang yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin peleton kemudian salah satu idenya yang cukup brilian adalah perintahnya kepada pasukan Demak untuk membuat api unggun di perkemahan secara menyebar dan saling berjauhan, dengan demikian pasukan musuh mengira jumlah tentara Demak sangat banyak, sehingga membuat ciut nyali.
Sementara itu, melalui pemikirannya pula pembangunan konsep tata kota Kesultanan Demak dilakukan. Penyusunan kompleks kraton yang selalu beriringan dengan adanya alun-alun kemudian diikuti pasar dan masjid agung tentu memiliki filosofi yang sangat Islami. Misalnya adalah Alun-alun, kata tersebut diambil dari bahasa ‘Al Laun’ yang artinya banyak warna. Maksudnya bahwa rakyat dan pejabat selalu berkumpul disana tanpa membedakan status sosial. Ini juga diartikan sebagai miniatur padang mahsyar tempat manusia dikumpulkan setelah bangkit dari kematian.
Beliau sendiri juga menjadi salah satu Wali yang memiliki peran pokok saat pendirian Masjid Agung Demak, bahkan beliau menjadi tokoh paling spesial dalam kisahnya menyumbangkan salah satu soko guru di masjid tersebut. Murid beliau Ki Ageng Selo bahkan juga memberikan sumbangan pintu utama yang dikenal dengan ’pintu bledeg’ yang penuh filosofi.
Atas jasa-jasanya tersebut, kemudian Sunan Kalijaga mendapatkan sebuah tanah perdikan di wilayah Kadilangu, sebelah Timur ibukota Demak. Dari sana beliau juga terus menyebarkan kebaikan. Tak hanya mengajarkan ilmu agama, Sunan kalijaga juga memberikan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan lahan pertanian. Beliau berhasil membuat beberapa alat baru untuk memudahkan pengerjaan lahan sehingga dapat menambah produktifitas petani disana.
Hingga akhir hayatnya, Sunan kalijaga terus berada di Kadilangu hingga dimakamkan disana. Walaupun masih banyak pro kontra terkait metode dakwah yang ia lakukan, namun hal tersebut tidaklah cukup untuk menghapus segala kebaikan dan kontribusi beliau dalam membumikan ajaran Islam di Jawa.
Banyak catatan yang menyebutkan, bahwa d imasa hidup beliau telah lebih dari 75% penduduk Jawa telah memeluk Islam. Adalah tugas kita sebagai generasi penerus untuk selalu menyambung usaha dakwah yang telah dipelopuri oleh para tokoh pendahulu.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber :
Achmad Chodjim. 2016. Sunan Kalijaga, Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Ichsan Syamlawi,dkk. 1983. Keistimewaan Masjid Agung Demak. Salatiga: CV Saudara
Rachmad Abdullah, 2015. Sultan Fattah. Raja Islam Pertama Penakluk Tanah Jawa (1482-1518M..Sukoharjo: Al-Wafi
Zainal Abidin bin Syamsuddin. 2018. Fakta Baru Waligongo. Jakarta: Pustaka Imam Bonjol