(IslamToday ID) — Sunan Gunung Jati dikenal sebagai anggota Walisongo yang termahsyur dan memiliki wilayah jangkauan dakwah di Jawa Barat yang dipusatkan di daerah Caruban Nagari atau Cirebon.
Sosok Sunan Gunung Jati
Nama Asli beliau adalah Syarif Hidayatullah. Secara nasab, banyak sumber yang menuliskan bahwa Sunan Gunung Jati masih memilki hubungan darah hingga Rasullah SAW. Dari mayoritas sumber tertulis yang ada, seperti Negarakretabhumi, Serat Purwaka Caruban Nagari, Sejarah banten Rante-Rante dan Sedjarah Banten, kesemuanya memiliki kesamaan dalam mengungkapkan silsilahnya. Bahwa Syarif Hidayat yang mahsyur disebut Sunan Gunung Jati itu, leluhurnya berasal dari Mesir, yaitu Sultan Hud, Raja Bani Israil yang terhitung keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Zainal Kabir keturunan Zainal Abidin bin Imam Husein bin Fatimah binti Muhammad SAW.
Adapun secara lebih terperinci, silsilah Sunan Gunung Jati diterangkan Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Sanga yang juga diambil dari sumber-sumber tertulis diatas. Disebutkan bahwa, Ayah dari Sunan Gunung Jati adalah Sultan mahmud yang bernama Syarif Abdullah putra Ali Nurul Alim dari Bani Hasyim kerurunan Bani Ismail, yang berkuasa di Ismailiyah, negeri Mesir yang wilayahnya mencapai Palestina tempat bermukimnya Bani Israil. Sedangkan Ibunya adalah Nyai Rara Santang, yang kemudian berganti nama menjadi Syarifah Muda’im setelah pernikahannya dengan Syarif Abdullah.
Sementara itu, Budiono Hadi Sutrisno dalam bukunya Sejarah Walisongo, Misi PengIslaman Di Tanah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum terjadinya pernikahan kedua orang tua Sunan Gunung Jati, Nyai Rara Santang adalah anak perempuan dari Raja Padjajaran Prabu Siliwangi hasil pernikahan dengan Nyai Subang Larang. Nyai Subang larang sendiri bukanlah orang yang sembarangan melainkan juga memiliki darah biru dari ayahnya yaitu Ki Gedeng Tapa, seorang Syah Bandar dari pelabuhan Muara Jati Cirebon sekaligus sebagai Raja Singapura menggantikan kedudukan Ki Gedeng Surawijaya.
Masih mengambil dari sumber yang sama, yaitu Cerita Purwaka Caruban Nagari, diketahui bahwa Nyai Rara Santang dan kakaknya Pangeran Walang Sungsang merasa tertarik dengan Islam. Keduanya lalu menemui seorang Guru yang bernamaSyekh Idhofi Mahdi yang bersal dari Baghdad. Syekh Idhofi Mahdi juga memiliki sebutan lain yang lebih dikenal masyarakat, yaitu Syekh Jatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati yang berdakwah dan memiliki pesantren di daerah Caruban atau Cirebon.
Setelah dirasa cukup dan dianggap lulus dalam menimba ilmu agama bersamanya, kedua bersaudara itu lalu disuruh menunaikan ibadah Haji ke Mekah sekaligus menuntut ilmu disana. Sesampai di Mekah, mereka tinggal dipondokan Syekh Bayanullah, saudara dari Syekh Datuk Kahfi yang menetap disana. Selanjutnya, peribadatan haji pun dimulai, setelah selesai, Pangeran Walang Sungsang berubah nama menjadi Abdullah Iman, lalu mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir yang bernama Jamalul Lail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru saja meninggal. Takdirullah, wajah dari Nyai Rara Santang dinilai begitu mirip dengan permaisuri mesir yang dimaksud. Oleh karena itu, lamaran segera dilakukan, Nyai Rara Santang menerima lamaran itu sehingga terjadilah pernikahan antara keduanya.
Setelah pernikahan terjadi, seperti diketahui sebelumnya nama Nyai Rara Santang diubah menjadi Syarifah Muda’in. Kemudian dirinya diboyong menuju negeri Mesir. Dari pernikahannya itu tidak berselang lama lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian dinamakan Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M. Berselang dua tahun setelah itu, Nyai Rara Santang kembali melahirkan anak kedua yang bernama Syarif Nurullah. Kisah terus berlanjut dan tak lama kemudian Tuhan berkehendak lain, Syarif Abdullah, suami Rara Santang wafat dan kedudukannya sebagai penguasa digantikan oleh adiknya atau paman Sunan Gunung Jati.
Adapun Kakak Nyai Rara Santang memiliki cerita sendiri. Pasaca pernikahan adiknya, Pangeran Walang Sungsang tidak turut menyertai ke Mesir, melainkan memutuskan untuk kembali ke Jawa. Sesampainya di Jawa, Pangeran Walang Sungsang kemudian menjadi penguasa baru di kawasan Caruban Larang. Sejak saat itulah, dirinya oleh masyarakat Pasundan lebih dikenal dengan nama Pangeran Cakrabuwana.
Mengenai sejarah berdirinya kerajaan Caruban, terdapat versi lain yang serupa. Ahmad Mansyur Surya Negara dalam bukunya Api Sejarah, Maha Karya Perjuangan Ulama dan santri Dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia Jilid Kesatu, menuliskan, bahwa pemberian nama Pangeran Cakrabuwana kepada Pangeran Walang Sungsang tak lain kerena perannya dalam membuka kawasan Caruban Nagari. Kisah ini dimulai selepas proses berguru Pangeran Walang Sungsang kepada Syekh Datuk Kahfi. Proses belajar tersebut, mampu diselesaikan dalam tiga tahun dan sang Guru memberikan penganugrahan nama baru yaitu Ki Samadoellah.
Selepas menunaikan ibadah Haji, atas ijin Kakeknya Ki Gedeng Tapa, Pangeran Walang Sungsang kemudian diperbolehkan membuka wilayah baru di Kebon Pesisir sebelah selatan Gunung Amparan Jati. Kemudian Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman menikah dengan Nyai Kencana Larang, Putri Ki Danusela atau Ki Gede Alang-Alang sebagai orang yang menempati wilayah tersebut. Dari pernikahan itu, ternyata memberikan dampak yang besar terhadap perkembangan daerah tersebut. Selanjutnya, wilayah Kebon Pesisir yang sebelumnya bernama Lemahwungkuk berubah nama menjadi Caruban Larang. Mengikuti perubahan itu, nama Pangeran Walang Sungsang juga berubah menjadi Ki Cakrabumi atau Pangeran Carkabuwana.
Rupanya langkah yang diambil oleh Pangeran Cakrabuana merintis pembangunan wilayah baru Caruban Larang, mendapat penghormatan dari Prabu Siliwangi dari Pakuan Padjajaran. Hal ini ditandai dengan pemberian gelar Ki Cakrabumi dengan Sri Manggana. Di samping gelar tersebut, diserahkan pula panji-panji kerajaan yang diantarkan oleh Radja Sengoro salah satu pembesar kerajaan Pakuan Padjajaran. Pertemuan ini, ternyata mampu menjadikan Radja Sengoro masuk Islam dan naik Haji kemudian dikenal dengan nama Haji Manshur.
Perjalanan Keilmuan Sunan Gunung Jati
Mengenai perjalanan keilmuan Sunan Gunung Jati, Agus Sunyoto merinci penjelasannya dalam buku Atlas Wali Songo dengan mengutip berbagai sumber terutama dari naskah Serat Purwaka Caruban Nagari. Perjalanan Syarif Hidayatullah dimulai ketika dirinya menginjak usia 20 tahun. Dengan keyakinan dan semangat menimba ilmu yang tinggi, Syarif Hidayatullah menuju Mekah dan berguru pada Syekh Najmuddin al-Kubra, dan kemudian setelah menyelesaikan belajarnya di Mekah, perjalanan dilanjutkan ke Madinah guna menempuh pendidikan dan berguru kepada Ibnu ‘Atha‘illah al-Iskandari al-Syadzi. Perlu digaris bawahi, beberapa ahli mengatakan bahwa bergurunya Sunan Gunung Jati kepada dua tokoh diatas dirasa tidak mungkin terjadi, lantaran masa hidup keduanya yang sangat jauh berbeda. Namun hal itu tidak menghilangkan kemungkinan bahwa Sunan Gunung Jati pernah belajar ke Mekah dan Madinah namun mungkin dengan guru yang berbeda.
Setelah berguru ke Mekah dan Madinah, atas perintah gurunya, Syarif Hidayatullah kemudian menuju Pasai untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishaq, seorang ulama besar yang juga merupakan paman dari Sunan Ampel dan ayah dari Sunan Giri. Dalam perjalanannya menuju Pasai, Syarif Hidayatullah juga membawa ibunya Nyai Rara Santang yang ternyata juga memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Tanah Jawa.
Selama dua tahun Syarif Hidayatullah menuntut ilmu di Pasai bersama Syekh Maulana Ishaq. Setelah dinyatakan lulus, kembali Syarif Hidayatullah diperintahkan gurunya untuk meneruskan perjalanan ke Jawa untuk melanjutkan pengembaraannya mencari ilmu. Dalam perjalannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah sempat singgah di Banten. Disana dirinya menemui, bahwa penduduk Banten telah banyak yang memeluk agama Islam. Mengetahui bahwa banyaknya penduduk banten yang telah berIslam melalui dakwah Sunan Ampel, maka Syarif Hidayatullah segera meneruskan perjalanan menuju Ampeldenta di Surabaya melalui jalur laut dengan menumpang kapal pedagang. Menurut catatan Agus Sunyoto, dalam perjalanan menuju Ampeldenta, Syarif Hidayatullah juga sempat singgah di Kudus dan berguru kepada Datuk Barus.
Sesampainya di Ampeldenta, Syarif Hidayatullah sangat kagum dengan keadaan disana. Sebagai seorang Guru, Sunan Ampel terlihat begitu berwibawa dan memiliki banyak sekali murid yang memiliki kecerdasan yang tinggi dan selanjutnya disebut para wali. Dalam menuntut ilmu di Ampeldenta, Syarif Hidayatullah banyak dilibatkan dalam musyawarah-musyawarah pembahasan mengenai usaha dakwah Islam di tanah Jawa. Hingga akhirnya setelah dinyatakan cukup menuntut ilmu di tempatnya, Sunan Ampel menugaskan Syarif Hidayatullah untuk memulai dakwahnya di Jawa Barat atau lebih tepatnya di kawasan Cirebon. Hal ini tentu dikarenakan, Syarif Hidayatullah masih memiliki ikatan kekeluargaan dengan penguasa setempat, yaitu pamannya Pangeran Cakrabuwana dan Ibunya yang tentu adalah keturunan asli daerah tersebut.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Budiono Hadi Sutrisno. 2010. Sejarah Walisongo, Misi PengIslaman Di Tanah Jawa. Yogyakarta: Graha Pustaka
Ahmad Mansyur Surya Negara. 2013. Api Sejarah, Maha Karya Perjuangan Ulama dan santri Dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republi Indonesia Jilid Kesatu. Bandung: Salamadani
Dadan Wildan. 2012. Sunan Gunung Jati. Tangerang: Penerbit Salima.