(IslamToday ID) — Sunan Gunung Jati dikenal sebagai salah satu tokoh anggota Walisongo yang menurunkan sultan-sultan Banten dan Cirebon. Strategi dakwah yang dijalankan Sunan Gunung Jati adalah dengan memperkuat kedudukan politis sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon, Banten dan Demak. Selain itu, berbagai upaya penaklukan juga dilakukan terhadap wilayah-wilayah yang melakukan perlawanan dan memusuhi dakwah Islam.
Kisah dakwah sosok yang dikenal luas dengan nama Syarif Hidayatullah ini dimulai ketika dirinya ditugasi oleh gurunya Sunan Ampel untuk berdakwah di kawasan Pasundan. Menurut buku Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon tulisan M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Syarif Hidayatullah dan ibunya (Syarifah Muda’im) tiba di Caruban Nagari pada tahun 1475 M. Sesampainya di Caruban, Syarifah Muda’im langsung meminta izin pada kakaknya Pangeran Cakrabuana selaku penguasa daerah tersebut untuk tinggal di Pesambangan, di dekat komplek Gunung Sembung, tempat dimakamkan gurunya Syekh Datuk Kahfi/Syekh Nurul Jati. Bertempat di Gunung Sembung ini, Pengguron Islam Gunung Jati peninggalan Syekh Datuk Kahfi dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah.
Pengguron Islam Gunung Jati ini merupakan pondok pesantren tempat Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im menimba ilmu Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Dari sinilah, kemudian Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Sementara itu, Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo menuliskan, bahwa setelah memulai pengajaran sebagai Guru atau Pemuka agama Islam di Kawasan Gunung Sembung, Nama Syarif Hidayatullah semakin banyak dikenal orang. Dakwahnya juga semakin luas bahkan hingga mencapai Banten. Diambil dari Carita Purwaka Caruban Nagari, atas kerelaan dari pamannya pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah kemudian diangkat sebagai Tumenggung di Cirebon dengan gelar Susuhunan jati, yang kekuasaannya meliputi Pesisir Sunda.
Wilayah Cirebon semula adalah bawahan Kerajaan Pakuan Padjajaran, yang berkewajiban membayar upeti tahunan berupa terasi dan garam. Namun semenjak Sunan Gunung Jati menjadi Tumenggung Cirebon, dirinya menolak untuk membayar upeti kepada penguasa Pakuan Padjajaran. Akibat penolakan yang dilakukan, Prabu Siliwangi mengirim utusan ke Cirebon yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya. Sesampainya di Cirebon, terjadilah pertemuan antara keduanya dan tidak terjadi gesekan sedikitpun, justru Tumenggung Jagabaya beserta rombongan memutuskan untuk memeluk Islam dan menjadi pengikut Sunan Gunung Jati.
Mengenai independensi Cirebon sebagai wilayah yang berdaulat, menurut Bochari dan Wiwi Kuswiah tidaklah terjadi begitu saja, tetapi sangat berkaitan dengan adanya dukungan dari Kesultanan Demak Bintoro. Dalam buku Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon disebutkan, bahwa berita tentang tampilnya seorang mubaligh asal kota Isma’illiyah sebagai pemimpin Negeri Caruban ini terdengar oleh Demak yang baru setahun berdiri sebagai Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa di bawah kekuasaan Raden Patah bergelar Sultan. Kerajaan Demak sendiri berdiri pada 1478 setelah Raden Patah menumpas pemberontakan Majapahit dibawah kekuasaan Prabu Girindrawardhana terhadap Ayahandanya Prabu Brawijaya V. Dari sinilah akhirnya terjalin persahabatan antara Demak, Caruban dan beberapa daerah lain yang sudah ada proses Islamisasi.
Raden Patah dan para mubaligh yang kemudian mengenal Syarif Hidayatullah menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Penguasa Nagari Caruban sebagai Panatagama Rasul ditanah Pasundan. Panatagama disini berarti Syarif Hidayatullah berperan sebagai ulama penyebar Islam, sedangkan Pasundan dimaksudkan dengan Tanah Sunda atau daerah Jawa Barat.
Adapun pengangkatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Caruban berlanjut ketika Syarif Hidayatullah mengikuti permusyawarahan tentang pengembangan Islam di tanah Jawa sekaligus pembangunan Masjid Agung Demak. Dari sanalah Syarif Hidayatullah ditetapkan sebagai Sunan Cirebon bergelar Sunan Gunung Jati. Menurut beberapa sumber seperti Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, bermula dari sini pulalah terbentuknya sidang Dewan Walisongo.
Setelah Sunan Gunung Jati mendapatkan legitimasi kekuasaan politik maupun spiritual baik dari rakyat maupun negara-negara tetangga, maka beliau meneruskan dakwahnya dengan penuh keyakinan. Sebagai penguasa Cirebon, Sunan Gunung Jati berhasil menaikkan hajat hidup masyarakat melalui perdagangan di pelabuhan sepanjang pesisir pantai, terutama pelabuhan Cirebon. Menurut De Graff, wilayah pelabuhan Cirebon saat itu berada dibawah kekuasaan Padjajaran terbilang masih sangat tertutup dan begitu dibatasi pergerakannya. Namun dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, pelabuhan-pelabuhan diperbaiki, dibuka untuk pedagang-pedagang komuditas. Oleh sebab itu, tidak membutuhkan waktu lama Cirebon telah tumbuh sebagai kota yang ramai dikunjungi saudagar-saudagar yang memiliki opsi baru untuk menjual dagangan-dagangan berupa kain, keramik maupun batu-batu mulia. Sekaligus para pedagang itu bisa memenuhi logistik berupa beras maupun mendapatkan komuditas rempah-rempah. Hal ini karena Jawa Barat dikenal sebagai daerah penghasil beras dan lada.
Mengenai strategi penyebaran agama Islam, Sunan Gunung jati seperti telah disampaikan diawal, bahwa salah satu metode yang digunakan adalah melalui jalur perkawinan. Mengutip dari Serat Purwaa Caruban Nagari, Babad Cerebon, Nagarakertabhumi, Sedjarah Banten, dan Babad Tanah Sunda, Agus Sunyoto menyebutkan bahwa Syarif Hidayat Susuhunan Gunung Jati menikahi tak kurang dari enam orang perempuan sebagai istri. Dikisahkan Syarif Hidayat menikah untuk kali pertama dengan Nyai Babadan putri Ki Gedeng Babadan yang menyebabkan pengaruhnya meluas hingga di wilayah Gunung Sembung dan Wilayah Babadan. Namun sebelum dikaruniai putra, Nyai babadan dikisahkan wafat terlebih dahulu.
Mengislamkan Prabu Siliwangi
Dari cerita tutur masyarakat, maupun berdasarkan sumber tertulis, Sunan Gunung Jati dipercaya telah mampu meng-Islamkan Prabu Siliwangi, seorang raja agung dari Pakuan Padjajaran sekaligus kakeknya. Dikisahkan dalam Babad Tanah Sunda pada bagian Burak Pajajaran, Paman Sunan Gunung Jati Sri Mangana (Pangeran Cakrabuwana) memberitahu Syarif Hidayat bahwa Maharaja Prabu Siliwangi telah mengutus enam puluh orang dibawah pimpinan Ki Jagabaya yang telah sampai di Cirebon malah memeluk agama Islam. Karena itu, sudah waktunya Prabu Siliwangi diislamkan. Tak berapa lama, lalu Sri Mangana dan Syarif Hidayat pergi ke Kraton Pajajaran.
Sesampainya di Kraton Pajajaran, ternyata kedatangan mereka telah didahului oleh seorang tokoh lain yang bernama Ki Buyut Talibarat agar Prabu Siliwangi beserta keluarga dan abdi-abdinya untuk tidak memeluk Islam. Namun setelah bertemu sendiri dengan Sri Mangana dan Syarif Hidayat, ternyata Prabu Siliwangi dan Pangeran Raja Sengara menyatakan berkenan memeluk Islam. Sikap ini ternyata tidak diikuti oleh punggawa kerajaan lainnya, seperti Patih Argatala dan Adipati Siput serta beberapa pejabat lain dan pengikutnya memutuskan untuk keluar dari kraton dan memilih tinggal di hutan pedalaman Sunda. Sementara pada naskah ini pula, digambarkan bahwa putri Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Balilayaran beserta suami putra Raja Galuh mendirikan kerajaan baru dengan ibukota di luar ibukota Pajajaran di pakuwan, raja kerajaan baru itu dikenal dengan sebutan Sunan Kabuaran. Dalam riwayat lain setelah Prabu Siliwangi memluk Islam dan wafat, kerajaan Pakuwan Pajajaran diteruskan oleh Surawisesa, anak Prabu Siliwangi dari istri kedua Putri Kerajaan Pajajaran yang dinikahi setelah Nyai Subang Larang. Surawisesa inilah Raja Pajajaran yang menjalin hubungan dengan Portugis dan menjanjikan tempat Sunda Kelapa untuk bisa didirikan benteng. Namun akhirnya usaha tersebut digagalkan oleh pasukan Demak dan Cirebon dibawah kepemimpinan Fatahillah.
Mengatahui adanya pihak keluarga kerajaan yang dinilai memiliki kekuatan (Dewi Balilayaran) memutuskan untuk keluar dari ibu kota Pakuwan, maka sikap ini juga diikuti oleh anak-anak Prabu Siliwangi yang lain. Dalam Burak Pajajaran ini juga dicatat sebanyak delapan belas orang keluarga Prabu Siliwangi yang keluar dari Kraton Pakuwan Pajajaran dan menjadi penguasa kecil di berbagai daerah. Sunan Pajengan di Kuningan, Sunan Raden Laweyan di Pasir Panjang, Sunan Mayak di Taraju, Boros Ngora di Panjalu, Raden Thetel di Gunung Bandung, Sangyang Pandahan di Ukur, Sanghyang Kartamana di Limbangan, Sanghyang Sogol di Maleber, Sanghyang Mayak di Cilutung, Dalem Narasinga di Kejaksan, Dalem Naya di Ender, Sunan Ranjam di Cihaur, Liman Sanjaya di Sundanglarang, Prabu Sedanglumu di Selaherang, Sanghyang Jamsana di Batulayang, Sanghyang Tubur di Panembong, Sri Pohaci Putih di Kawali, dan Taji Malela di Sumedang.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Dadan Wildan. 2012. Sunan Gunung Jati. Tangerang: Penerbit Salima
M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah. 2001. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar.