(IslamToday ID) — Pada kurun waktu antara akhir abad ke 15 M hingga memasuki abad ke 17 M, dinilai sebagai puncak eksistensi kekuasaan kerajaan atau kesultanan Islam di Nusantara.
Tak tangung-tanggung saingan utama dalam perebutan eksistensi itu adalah kekuatan besar yang datang dari dunia Barat yang diwakili dengan bercokolnya Portugis di Malaka dan Maluku. Dalam persaingan eksistensi kekuasaan itu, keduanya hampir selalu terlibat dalam bentrokan-bentrokan besar dengan menggunakan kekuatan dan teknologi militernya.
Salah satu elemen yang memiliki signifikansi utama dalam menentukan hasil peperangan adalah kekuatan artileri dari masing-masing kubu. Artileri sendiri dapat diartikan sebagai senjata berat yang memiliki jangkauan jarak jauh. Dalam konteks kurun waktu diatas, maka artileri utama pada masa itu adalah meriam.
Industri Artileri
Sebelum ditemukannya teknologi meriam canggih, di periode abad ke 13 M hingga pertengahan abad 16 M di Semenanjung Melayu, Aceh, hingga Filipina jenis artileri yang digunakan umumnya adalah Lantaka.
Ayob Yusman dalam bukunya Senjata dan Alat Tradisional Melayu menyebutkan bahwa Lantaka atau di beberapa tempat juga disebut rentaka adalah sejenis meriam putar perunggu yang dipasang di kapal dagang dan kapal perang. Cara penggunaan meriam ini adalah diisi peluru dan mesiu dari lubang moncong laras (muzzle loading), namun yang paling awal diisi dari belakang (breech-loaded).
Lataka atau Rentaka oleh banyak ahli sering disebut sebagai tiruan dari CatBang Jawa. Hal ini karena sistem isi belakang dari senjata itu yang sebelumnya sudah jamak digunakan oleh orang-orang Majapahit sejak awal abad 13 Masehi.
Senjata ini biasanya digunakan untuk bertahan melawan perompak yang meminta upeti bagi kepala daerah atau penguasa yang lewat di kawasan perairan mereka. Dalam sebuah kapal biasanya lantaka kecil dapat dipasang di mana saja termasuk di tali-temali kapal (rigging). Lantaka berukuran sedang sering digunakan dalam soket yang diperkuat pada rel kapal. Sedangkan yang terberat dipasang pada gerobak modifikasi agar lebih mudah dibawa.
Ukuran dari senjata ini tidaklah sebesar meriam yang kita kenal saat ini. Umumnya Lantaka memiliki berat di bawah 200 pon (90 kg), namun ada pula yang memiliki bobot hingga ratusan kilogram. Diameter lubang meriam ini berkisar antara 10-50 mm dan panjang bervariasi dari sekitar 800-1600 mm. Senjata ini memiliki fleksibilitas karena bobotnya yang sangat ringan, sehingga membuatnya dapat diputar dengan mudah mengikuti kehendak penggunanya, sehingga lantaka juga sering disebut meriam putar. Tak jarang Lantaka juga digunakan sebagai senjata tangan layaknya senapan di era yang lebih modern.
Selain, Rentaka jenis artileri lain yang digunakan oleh prajurit-prajurit Kesultanan Melayu adalah Lela. Secara prinsip kerja, sebenarnya meriam jenis ini sama dengan Lantaka. Hanya saja ukurannya lebih besar dan lebih berat. Selain untuk senjata penghalau bajak laut di kapal, penggunaannya pun lebih beragam, seperti dibunyikan pada saat upacara, misalnya dalam rangka pengangkatan seorang raja, menerima tamu penting, melamar calon pengantin, dan menghormati kematian orang terpandang.
Sementara itu teknologi artileri yang digunakan oleh kerajaan Islam di Jawa seperti Demak Bintoro adalah CetBang. CetBang merupakan senjata sejenis meriam yang diproduksi dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit. Senjata api kelas berat ini biasanya berukuran antara 1 meter hingga 3 meter dengan bobot dari yang paling ringan 40 kg sampai ratusan kilogram. Bahannya terbuat dari perunggu dan kuningan. CetBang bekerja dengan sistem isian belakang (beech-loading swivel gun) berkaliber anatara 30 hingga 60 mm.
Menurut Anthony Reid dalam buku Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450 – 1680 jilid 1: Tanah di Bawah Angin, senjata jenis ini dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar, cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang disebut penjajap dan juga lancaran. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal karena hanya memiliki kaliber kecil. Penggunaan Cetbang sendiri bagi kebanyakan pedagang Jawa yang sering bepergian melintas lautan dinilai sudah cukup akrab bahkan bisa membuatnya secara swadaya.
Menurut catatan Portugis yang datang ke Malaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar dari pedagang Jawa yang diketuai oleh seorang kepala kampung. Orang-orang Jawa di Malaka juga membuat meriam sendiri sebagai kebutuhan utama untuk menjaga kapalnya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang. Bahkan saat penaklukan Malaka oleh Portugis tahun 1511, sebanyak lebih dari 2.000 meriam-meriam jenis CatBang yang juga digunakan oleh prajurit Kesultanan Malaka.
Selain itu, Meriam Cetbang Majapahit tetap digunakan pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Namun penggunaanya banyak mengalami improvisasi, terutama dari jenis bahan pembuatan dan jenis mesiu yang digunakan. Sebagai Kerajaan Islam yang memiliki jaringan kuat dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, Demak dalam pembuatan CetBang menggunakan bahan baku besi yang diimpor dari Khurasan di Persia Utara. Oleh karena itu, kemudian bahan ini disebut dengan istilah wesi kurasani. Keistimewaan bahan ini dapat membuat CatBang-Catbang buatan Kesultanan Demak memiliki kekuatan dan ketahanan lebih terhadap letusan mesiu.
Dengan memanfaatkan ketahanan ini, maka meriam Demak dapat membuat jangkauan pelurunya bertambah jauh dam memiliki daya hancur lebih tinggi, sehingga meriam-meriam ini tak lagi hanya dipakai untuk senjata target manusia tetapi mampu digunakan untuk menyasar target seperti kapal dan benteng-benteng pertahanan sederhana. Dalam dua kali serangan Pangeran Sabrang Lor ke Malaka. Kapal-kapal perang prajurit Demak dan Melayu dilengkapi dengan senjata ini.
Relasi Militer Dengan Turki Utsmani
Perkembangan industri artileri kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sangat berkaitan pula dengan perkembangan hubungan diplomatik mereka terhadap Kekhilafahan Islam di Timur Tengah. Pasca Turki Ustmani berhasil merebut Konstantinopel pada tahun 1453 Masehi, bandul peradaban besar Islam kemudian perlahan bergeser dari Timur Tengah ke Eropa Timur. Sebagai kekuatan Islam baru yang mampu “menaklukkan Eropa”, keberadaan Turki Utsmani juga memberi pengaruh besar terhadap berkembangnya industri persenjataan di Kerajaan Islam Nusantara.
Salah satu perkembangan yang cukup signifikan adalah perkembangan model persenjataan prajurit Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum adanya kerjasama dengan Turki Utsmani, Aceh yang tercatat juga cukup intensif melakukan kontak senjata dengan Portugis di Malaka, dan sempat memiliki sebuah teknologi pengecoran meriam ala Eropa.
Berdasarkan laporan dari laman BPCB Banten, bahwa untuk memodernisasi persenjataan, Kesultanan Aceh Darussalam mendapatkan banyak masukan dari seorang Petinggi Militer Portugis yang membelot dan masuk Islam dengan nama Koja Zaenal. Tak berhenti disana, nampaknya kemudian Koja Zaenal juga tercatat pernah membantu Kesultanan Demak dibawah kepemimpinan Sultan Trenggono.
Menurut catatan Mendez Pinto, ketika terjadi perang antara Demak melawan Panarukan (Pasuruan), terdapat sejumlah meriam yang dibuat dengan dicor, termasuk salah satu yang berukuran besar bernama leÕes sebesar meriam Ki Amuk. Meriam-meriam tersebut dicor oleh orang-orang Turki dan Aceh yang dipimpin oleh seorang empu, seorang pembelot Portugis bernama Koja Zainal. Keberhasilan pemutakhiran pembuatan meriam oleh Demak ini juga membuat Sultan Trenggono menghadiahkan meriam besar bernama Ki Jagur dan Ki Amuk kepada Fatahillah untuk melawan Portugis di Sunda Kelapa.
Sementara itu, Burhanudin dalam kajiannya terhadap buku Pasang Surut Hubungan Aceh dan Turki Usmani: Perspektif Sejarah menyebutkan, kontak kerjasama Aceh Turki yang menghasilkan kerjasama militer dan berimbas kepada loncatan besar atas perkembangan teknologi artileri ialah dengan adanya utusan, Duta Besar Aceh Darussalam yang mengunjungi Istanbul pada tahun 1547, di era Sultan Suleiman I. Utusan dari Aceh tersebut meminta bantuan militer berupa armada laut serta meriam untuk menghadapi Portugis. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Sultan Suleiman I yang merasa bertanggungjawab melindungi kapal-kapal muslim dari serangan Portugis.
Sejak saat itulah, korespondensi antara Aceh dengan Turki pada abad ke-16 mulai intensif dan berlanjut di era pemerintahan Sultan Selim II. Sama seperti pendahulunya, Sultan Selim II juga memberikan bantuan militer berupa kapal, pasukan artileri, dan persenjataan lainnya yang dibutuhkan Aceh untuk menyerang Portugis. Untuk itu, Turki mengirim sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Kurtoglu Hizir Reis ke Aceh. Meskipun kemudian ekspedisi tersebut dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman. Namun, persenjataan dan teknisi militer Turki berhasil tiba di Aceh Darussalam.
Perjalanan Utusan Aceh untuk sampai ke Turki tak semudah yang dibayangkan. Tahun 1560-an, Sultan Alauddin al-Kahar diketahui mengirim utusan ke Istanbul dengan tugas membawa pulang senjata api dan amunisi dalam rangka menghadapi Portugis-Malaka. Utusan Aceh sampai di Istanbul setelah mengalami perjalanan yang berbahaya di Laut Merah, di mana kapal mereka dihadang Portugis.
Sebelum bertemu Sultan Utsmani, dikabarkan utusan Aceh ini juga mengalami kehabisan perbekalan karena Sultan Selim I sedang memimpin perang melawan Hungaria, bahkan akhirnya utusan ini bertemu Sultan Selim II yang baru dilantik. Sebagai simbol jalinan kerjasama, Utusan Aceh tersebut hanya mampu memberikan hadiah “segenggam lada”. Adapun untuk membalas pemberian dari utusan Aceh, Sultan Turki memberikan sebuah meriam besar berukuran lebih dari 4 meter dengan berat hampir 7 ton. Untuk mengingat hal ini, meriam pemeberian Sultan Turki itu kemudian diberi nama “Lada Secupak” yang artinya adalah “segenggam lada”.
Selain pemberian meriam ini, sejumlah ahli militer dan pembuat senjata terutama meriam juga dikirim Utsmani ke Aceh. Mereka kemudian mendirikan kamp-kamp militer dan memandu Aceh untuk memodernisasi industri artilerinya. Dari transfer teknologi ini, Kesultanan Aceh Darussalam kemudian tumbuh menjadi salah satu produsen senjata meriam yang paling canggih.
Dengan teknologi pengecoran logam yang baru, Aceh mampu memproduksi meriam-meriam besar dengan ukuran ±4 m dengan bobot lebih dari 2 ton. Meriam-meriam ini dibuat dengan metode yang sama dengan pembuatan Meriam Orhan Turki yang sangat legendaris itu. Model pencampuran logam yang mutakhir menjadikan meriam-meriam ini mampu memuntahkan peluru-peluru besar dengan jangkauan serang lebih dari 1 km.
Tidak mengherankan jika Kesultanan Aceh Darussalam mampu tampil sebagai kekuatan baru yang mengerikan dan membuat Portugis benar-benar tak berani menganggu kedaulatannya. Pada masa kejayaannya Aceh Darussalam dilaporkan telah memiliki 1.800 meriam, bahkan 800 diantaranya merupakan meriam berukuran besar.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza