“…bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada (kapal perang Portugis) di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali…” [Kapten Portugis, Fernão Pires de Andrade …surat kepada Alfonso de Albuquerque, 22 Februari 1513]
(IslamToday ID) — Peta persaingan eksistensi pengaruh antara kesultanan-kesultanan di Nusantara dan kekuatan Eropa yang diwakili Portugis mencapai puncaknya pada abad 16 masehi.
Dalam kurun waktu tersebut, persaingan ini diwarnai dengan perebutan pengaruh di jalur perdagangan nusantara. Portugis menguasai hampir keseluruhan jalur di Selat Malaka dan Kepulauan-kepulauan Maluku. Sementara itu, kekuatan kesultanan Islam mampu menguasai pesisir pantai Barat Sumatera, Jawa dan Makassar. Dengan dominasi Kesultanan-kesultanan Islam di daerah tersebut, membuat Portugis benar-benar mampu dilokalisir dan sangat kesulitan melebarkan kekuasaanya selain di wilayah Malaka dan Maluku.
Perebutan Hegemoni
Dalam persaingan eksistensi ini, tak jarang keduanya terlibat peperangan-peperangan panjang yang begitu menguras fokus dan sumber daya. Pada periode ini, Portugis benar-benar mengalami kehancuran di Maluku pada tahun 1576. Hal ini disebabkan pihak Malaka tidak bisa mengirim bala bantuan karena harus menghadapi perlawanan Kesultanan Aceh Darussalam serta Jawa yang diwakili prajurit Ratu Kalinyamat.
Walaupun banyak disebutkan pihak kesultanan kalah dalam peperangan di Malaka, namun hal itu tidak bisa dibilang sebuah kegagalan mutlak. Mengapa? karena pihak kesultanan berperan sebagi penyerang yang harus meninggalkan tanah asalnya untuk melakukan invasi militer. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak usaha dan perbekalan dibanding pihak yang hanya sekedar bertahan.
Pun demikian juga sebaliknya, ketika Portugis hendak berusaha mengambil alih jalur Selat Sunda dengan bekerjasama dengan Padjajaran, maka dengan mudah pasukan Portugis diporak porandakan oleh pasukan Banten yang dipimpin Fatahillah dan Maulana Hasanuddin. Alhasil, wilayah pelabuhan Sunda Kelapa mampu direbut tentara Islam dan Portugis gagal menancapkan kekuasaannya di Jawa.
Teknologi Galangan Kapal
Dari berbagai persaingan militer yang terjadi, maka menarik untuk diketahui mengenai teknologi peperangan yang dimiliki oleh pasukan Islam sehingga mampu mengimbangi kekuatan Eropa pada masa itu.
Salah satu faktornya ialah teknologi kapal perang. Seperti disebutkan di awal, bahwa tercatat pasukan Jawa setidaknya telah berusaha menyerang Portugis sebanyak empat kali ke Malaka, yaitu pada tahun 1513 dan 1526 dibawah komando Pati Unus dari Kesultanan Demak dan tahun 1550 serta tahun 1575 oleh serangan Jepara di bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Mengingat jarak antara Malaka dan Jepara terpaut sangat jauh, maka persiapan penyerangan kesana membutuhkan teknologi kapal yang mumpuni. Setidaknya, kapal harus memiliki kemampuan untuk menembus badai laut, memiliki fleksibilitas dalam operasionalnya dan mampu mengangkut prajurit dalam jumlah yang besar.
Bagi penguasa-penguasa Jawa, tentu membuat kapal yang dibutuhkan tersebut tidaklah terlalu sulit. Orang Jawa telah mengenal pembuatan kapal super besar yang diberi nama Jung. Sebagai penguasa Demak, Sultan Abdul Fattah juga diketahui adalah salah satu keturunan Brawijaya V yang dikenal pernah memiliki teknologi kapal yang sangat mumpuni. Dengan kemampuan pembuatan kapal yang dimiliki, serta dukungan adanya bahan baku berkualitas berupa kayu jati yang melimpah, maka Sultan Abdul Fattah memerintahkan pembuatan kapal-kapal ini secara serius kepada anaknya Raden Surya atau Pati Unus.
Pembuatan kapal-kapal perang ke semuanya dilakukan di galangan kapal Semarang dan Jepara. Disana mereka mulai membangun kapal-kapal yang hendak digunakan untuk ekspedisi militer. Diantara kapal-kapal yang dibuat adalah Lancaran – Perahu dengan satu hingga tiga tiang dan bisa di dayung. Umumnya memiliki panjang 10-20 meter untuk mengangkut keperluan logistik.
Kemudian, ada Penjajap. Kapal ini adalah kapal yang digunakan untuk pertempuran di laut. Berbentuk panjang dan ramping, dengan haluan dan buritan yang sangat lancip dan dibuat ringan agar dapat bergerak cepat. Ukurannya beragam, tetapi semakin kecil makin baik, karena kecepatannya menjadi bertambah besar. Serangan biasanya dilakukan menggunakan kapal pengajava kecil yang dapat bergerak cepat, disana berisi 50-100 prajurit. Setelah kapal bergerak dengan cepat dan menabrak kapal musuh, seluruh prajurit diharapkan langsung bisa merangsek naik atau merusak kapal musuh. Dalam operasinya kapal ini sering berada diantara kapal-kapal besar sebagai pelindung.
Berikutnya adalah kapal kelulus, yaitu kapal yang lebih kecil untuk mendaratkan prajurit dari laut ke pantai musuh. Kapal ini biasa diisi dengan 20an prajurit dan digerakkan dengan dayung. Kecepatannya sangat diandalkan karena jika terlalu lambat maka musuh akan dengan mudah menyergapnya. Adapun kapal produksi galangan kapal Jawa yang terbesar adalah Jung. Begitu hebatnya kapal perang ini hingga membuat salah satu Kapten Portugis bernama Fernão Pires de Andrade yang melakukan perlawanan saat pertempuran dengan prajurit-prajurit Jawa mengatakan kepada Raja Muda Malaka sebagai berikut:
“Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku … bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada (kapal perang Portugis) di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis) yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu koin tebalnya. Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi Raja Malaka.”
Dalam artikel Jong, Sang Gargantua dari Laut Jawa yang dimuat oleh Indonesia.go.id menyebutkan bahwa dimensi kapal ini memang sangatlah besar. Adapun ciri-ciri khususnya adalah memiliki panjang lebih dari 50 meter dengan kapasitas angkut 500 hingga 1.000 orang dan memiliki kapasitas beban antara 250 hingga 1.000 ton. Tidak menggunakan paku besi sebagai teknologi pembuatannya. Orang Nusantara menggunakan pasak untuk merekatkan bagian kapal satu sama lain. Dinding kapal terdiri dari lapisan-lapisan papan yang terbuat dari kayu jati. Kapal raksasa itu menggunakan bermacam layar, mulai dari dua layar hingga empat layar besar, lengkap dengan sebuah busur besar sebagai kemudi angin.
Jika menilik dari ciri-ciri diatas, maka hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Batutah yang dikutip oleh Syauqi Abdul Utsman dalam buku Kegiatan Niaga Di Samudra Hindia pada Masa Kejayaan Islam tahun 661-1498. Beliau mengambarkan bahwa kapal-kapal yang berasal dari Samudera Hindia dibuat dari kayu Jati, sambungannya tanpa menggunakan unsur paku dari besi. Untuk menyatukannya, papan-papan dari kayu tersebut dianyam dan ditempatkan sesuai gambar rancangan. Setelah itu, kemudian dijalin dengan tali sabut kelapa dan pasak yang juga terbuat dari kayu. Para tukang di galangan kapal mengikat kuat lembaran-lembarannya dengan tali. Lalu lubang dan celah sebagai tempat menjalin ikatannya itu ditutup dengan gemuk.
Kemampuan kapal-kapal yang dijalin dengan tali sabut kelapa ini akan terlihat ketangguhannya saat menghadapi gelombang Samudera Hindia. Kapal-kapal itu lebih lentur dibanding dengan kapal yang dipaku, mampu meredam hempasan gelombang dengan baik. Kelenturan pada dasarannya yang luas hasil penggunaan jalinan tali itu akan meminimalisir potensi karam ketika berbenturan dengan celah-celah karang.
Faktor lain yang disebutkan kenapa kapal-kapal ini tidak dipaku dengan besi adalah perhitungan akan adanya hantaman gelombang demi gelombang yang terus menerus pasti akan membuat papan-papan kapal menjadi goyah sehingga perlu dipaku lagi. Lantaran tidak mungkin memaku papan di titik yang sama maka harus dipaku di titik yang baru. Jika paku-paku kapal itu berdekatan, kayu kapal tidak akan lama lagi umurnya karena sudah penuh lubang. Demikian juga ketika sedang dipaku, mungkin sekali ada lembaran yang lepas, seperti umum terjadi pada tukang kayu saat ini.
Metode pembuatan kapal jung di Jepara terus dipertahankan. Walaupun sempat mengalami masa suram ketika terjadi huru-hara perebutan kekuasaan Demak, namun dibawah kepemimpinan Ratu Kalinyamat galangan-galangan kapal Jepara kembali menemukan masa jayanya. Dua kali penyerangan Ratu Kalinyamat ke Malaka dengan pengerahan lebih dari 500 kapal perang sudah cukup membuktikan betapa kapal-kapal produksi galangan kapal pesisir pantai utara Jawa ini mampu bersaing dengan armada terbaik di dunia saat itu.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza