(IslamToday ID) — Pada awal tahun ini, berbagai negara di dunia disibukkan dengan hiruk pikuk merebaknya sebuah wabah penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama Virus Corona.
Virus ini adalah penyakit jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini bisa menyerang siapa saja, baik bayi, anak-anak, orang dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui. Infeksi virus ini disebut COVID-19 dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan cepat dan telah menyebar ke wilayah lain di Cina dan ke beberapa negara, termasuk Indonesia.
Adapun, dampak dari adanya Pandemi ini tergolong sangat mengerikan, selain memakan korban jiwa, para ekonom juga mencatat beberapa negara dapat dimungkinkan akan terguncang ketahanan ekonomi maupun status keamananya. Hingga kini, lebih dari 199 negara telah melaporkan temuan kasus positif Covid-19. Mengutip data real-time dari John Hopkins University per Senin (30/3/2020) malam, jumlah total kasus infeksi virus corona Covid-19 di dunia telah mencapai 737.929 kasus. Dari jumlah tersebut, 35.019 pasien atau sebesar 4,74 persen dari total kasus dinyatakan meninggal dunia. Sementara, 156.380 pasien di antaranya atau sekitar 21,19 persen dari total kasus dinyatakan sembuh.
Namun tahukah anda?, bahwa pada masa kolonial tepatnya pada tahun 1911-1939, rakyat Indonesia pernah terjangkit wabah mematikan, yang oleh orang Jawa disebut sebagai wabah Sampar.
Wabah Sampar
Sejarah mencatat dalam kurun waktu 28 tahun, Wabah yang bersumber dari virus yang dibawa oleh kutu yang menempel pada hewan tikus ini menewaskan sekitar 220.000 jiwa. Sebagian besar korban berasal dari Jawa Tengah. Walaupun wabah ini banyak memakan korban di wilayah Jawa Tengah, tetapi wabah ini pertama kali terjadi di Malang, Jawa Timur dan kemudian merembet ke seluruh Pulau Jawa. Tidak banyak warga masyarakat yang memahami wabah tersebut sehingga kerap rakyat berpasrah diri bahkan hingga mendatangkan orang pintar.
Jika dilihat dari model penyakitnya, sebenarnya wabah Sampar ini mirip dengan Pes atau di Eropa sering disebut dengan istilah Black Death. Menilik sejarahnya, Wabah Pes bermula di Mesir dan Ethiopia pada tahun 540 M, kemudian bergerak menyebar melalui Sungai Nil. Tikus-tikus yang telah terinfeksi bakteri pes menumpang pada kapal-kapal yang menuju ke Konstantinopel. Penyakit pes kemudian tersebar di sepanjang rute perdagangan.
Bahkan, wabah ini diperkirakan telah membunuh 300.000 orang di Konstantinopel dalam waktu setahun pada tahun 544 M. Kemudian, pada tahun 1347 penyakit ini kembali melanda populasi di Eropa (Konstantinopel Turki, Kepulauan Italia, Prancis, Yunani, Spanyol, Yugoslavia, Albania, Austria, Jerman, Inggris, Irlandia, Norwegia, Swedia, Polandia, Bosnia- Herzegovina dan Kroasia) selama kira-kira 300 tahun, dari tahun 1348 sampai akhir abad ke-17. Selama kurun waktu itu, wabah ini membunuh 75 juta orang, kira-kira 1/3 populasi pada waktu itu. Seluruh komunitas tersapu bersih, di tahun 1386 di kota Smolensk, Rusia, hanya lima orang yang tidak terserang penyakit ini dan di London, peluang bertahan hidup hanya satu dalam sepuluh.
Mengutip tulisan Restu Gunawan, “Wabah Pes di Jawa 1915-1925”, dalam Sejarah Dialog dan Peradaban, Persembahan 70 Tahun Prof. Dr. Taufik Abdulah. Berdasarkan pemberitaan pada surat-surat kabar yang beredar pada akhir tahun 1910, tepatnya pada bulan Oktober 1910 hingga bulan November 1910, kondisi pangan di sepanjang Pantai Utara Jawa buruk. Telah terjadi kegagalan panen di Residensi Surabaya yang disebabkan oleh serangan hama.
Kondisi ini mengakibatkan Pemerintah Hindia Belanda lalu mengimpor beras dari beberapa daerah penghasil beras di Asia yaitu Cina, Singapura, Bengal, Rangoon (Burma), Thailand, Saigon. Pada tahun 1910- 1911, impor beras dari Rangoon-lah yang paling dominan di Hindia Belanda.
Impor beras dari Rangoon untuk Jawa dikirim lewat laut melalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Setelah tiba di Tanjung Perak tanggal 3 November 1910, beras kemudian akan disalurkan ke daerah-daerah yang kekurangan pangan dengan melalui jalur kereta api yang berpusat dari Surabaya. Bahan makanan ini kemudian pada tanggal 5 November 1910 dikirimkan ke daerah yang mengalami kegagalan panen. Ternyata, pada tanggal 10 November 1910, setelah beras diterima dari Rangoon, jalur transportasi kereta api antara Malang dan Wlingi terputus. Hal ini disebabkan oleh banjir. Kereta-kereta yang seharusnya berangkat ke Wlingi untuk mengantarkan beras terpaksa bertahan di Malang, dan persediaan beras ini kemudian disimpan di gudang-gudang yang ada di dekat stasiun.
Jika pada kereta api yang akan melintasi jalur tersebut di dalamnya terdapat tikus yang telah terinfeksi penyakit pes/sampar, maka dapat disimpulkan bahwa akibat dari terputusnya jalur kereta api tersebut menyebabkan tersebarnya pes tikus di gudang-gudang penyimpanan beras di stasiun kereta api di Malang. Efeknya adalah menyebarnya penyakit pes di antara tikus-tikus yang berada di gudang-gudang penyimpanan beras di stasiun di Malang.
Dari Turen Malang, penyakit ini kemudian dengan cepat menjalar ke Karanglo dan pada bulan Maret 1911 dilaporkan hampir semua Distrik di Malang telah terjangkit penyakit ini. Kediri dan Surabaya juga mulai terjangkit. Pada akhir tahun yang sama dilaporkan sekitar 2.000 orang meninggal dunia akibat terjangkit penyakit ini dan akhir tahun 1912 jumlah yang sama juga meninggal dunia.
Perkembangan yang cepat ini disebabkan oleh cepatnya perkembangbiakan tikus, juga disebabkan oleh frekuensi migrasi dari satu daerah ke daerah lain. Penyakit sampar telah meluas di Kabupaten Malang, kemudian menjalar ke barat melalui Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun.
Hal itu pun kemudian berimbas ke daerah lain termasuk karesidenan Semarang yang tidak luput dari penyakit sampar. Perkembangan penyakit sampar yang cepat di Jawa Timur kemudian mulai menjalar ke barat. Letak karesidenan Semarang yang cukup dekat dengan Jawa Timur terkena dampaknya. Pada tahun 1916, penyakit pes mulai masuk wilayah Semarang melalui pelabuhan Tanjung Mas. Interaksi perdagangan pada waktu itu menjadi faktor utama dalam proses penyebaran penyakit pes.
Semarang merupakan salah satu kota pelabuhan dan administrasi penting di Jawa. Letak Semarang yang berada di tengah Pulau Jawa bagian utara menjadikan Semarang sebagai daerah yang strategis dalam jalur perdagangan antar pelabuhan. Aktivitas perdagangan terjadi setiap hari dengan melintasnya kapal-kapal yang singgah dan pergi untuk mengangkut barang- barang. Melalui perdagangan terjadilah interaksi antar daerah Semarang dengan daerah-daerah yang lain. Munculnya penyakit sampar di Semarang disebabkan oleh adanya interaksi dengan daerah lain melalui pelabuhan.
Tikus-tikus yang telah terinfeksi bakteri sampar ada pada kapal-kapal dari Surabaya, kemudian turun di pelabuhan dan mulai menyebar ke tempat-tempat penduduk. Tikus-tikus ini mengincar rumah-rumah penduduk untuk mencari makan, terutama yang memiliki lumbung padi atau tempat penyimpanan padi. Lumbung-lumbung padi kemudian menjadi tempat tinggal tikus untuk berkembang biak. Dengan meningkatnya jumlah tikus, maka intensitas penyebaran penyakit sampar juga ikut meningkat. Hal ini dikarenakan tikus yang telah terinfeksi bakteri sampar menular ke tikus-tikus yang lain. Penyakit sampar yang berasal dari tikus kemudian menular ke manusia melalui pinjal (kutu tikus) yang menggigit tubuh manusia.
Jika dilihat dari masa puncak penyebarannya, wabah sampar di Jawa terbagi menjadi tiga periode kritis untuk tiga wilayah berbeda. Wabah bergerak dari Timur ke Barat. Tepatnya, tahun 1913-1914 terjadi puncak infeksi di kawasan Jawa Timur dengan angka kematian 15.571 kasus. Tahun 1920-1927, di Jawa tengah dengan angka kematian puncak di tahun 1925 mencapai 12.969 kasus. Dan pada tahun 1932-1936 di Jawa Barat yang mencapai puncak penularan pada tahun 1934 sebanyak 20.569 kasus.
Kepanikan dan Gejolak Sosial
Keadaan yang sedemikian mengerikan ini, akhirnya banyak menimbulkan gejolak di masyarakat. Bagi mereka yang terinfeksi tidak membutuhkan waktu lama sehingga ia meninggal. Masyarakat benar-benar jatuh kepada kepanikan tak berujung. Mereka yang diketahui terjangkit sampar langsung dikucilkan, dan banyak diantara mereka kemudian meninggalkan kampung duduk dibawah pohon dan menemui ajal disana. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebenarnya juga melakukan beberapa langkah guna menghentikan penyebaran wabah ini. Diantara langkah itu adalah mengkarantina penduduk yang terinfeksi, memberikan vaksin, melakukan gerakan membasmi tikus di seluruh tempat yang berpotensi dijadikan sarang. Selain itu, pemerintah kolonial juga memerintahkan masyarakat Jawa untuk mengganti desain rumah-rumah mereka.
Diketahui sebelumnya, bahwa umumnya, rumah-rumah masyarakat Jawa tiang-tiang utamanya terbuat dari bambu utuh dan atapnya terbuat dari tumpukan jerami. Hal inilah yang wajib diganti, rumah-rumah orang Jawa tiang utamanya wajib diganti dengan kayu pejal, reng atau kerangka atap diganti dengan bambu belah dan atapnya diganti dengan genting dari tanah liat.
Tetapi nampaknya kebijakan ini menimbulkan gejolak baru, seperti yang ditulis Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, banyak kebijakan vaksin dan karantina hanya diberlakukan bagi orang-orang Belanda dan orang-orang dari kalangan tertentu. Demikian juga dokter-dokter Belanda tidak mau menangani kaum pribumi. Alhasil, mantri-mantri bumiputralah yang berjibaku untuk menangani mereka, bahkan beberapa diantaranya juga ikut tertular dan meninggal dunia.
Masalah lain juga timbul dari kebijakan renovasi rumah. Walaupun telah diberi bantuan pendanaan perbaikan rumah kepada masyarakat dari pemerintah kolonial, namun bantuan ini ternyata bersifat pinjaman dan harus dikembalikan secara diangsur. Jelas kebijakan tersebut langsung mendapatkan respon keras dari masyarakat, pasalnya kebanyakan dari mereka adalah kaum miskin yang terdampak ekonomi akibat wabah itu. Sementara kewajiban pajak juga tidak ditangguhkan sehingga semakin membuat mereka kalang kabut. Oleh karena itu, menyikapi kesewenang-wenangan ini, banyak terjadi perlawanan, salah satunya adalah perlawanan yang dipelopori oleh Haji Misbach di Kartasura. Yaitu melakukan aksi massa dan memboikot pembayaran pajak dan angsuran renovasi rumah
Penulis: Muh. Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza