Islam Today ID — Sebagai salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, Raden Ja’far Shodiq atau lebih masyhur dikenal dengan ‘Sunan Kudus’ tentu memiliki jejak artefak sejarah maupun warisan peradaban.
Selain jejak bangunan bersejarah Masjid Menara Kudus yang menjadi ‘landmark’ penting, namanya juga dinisbatkan sebagai nama kota Kudus, ini menunjukkan begitu besar dan signifikannya peran dakwah Raden Ja’far Shadiq dalam membangun peradaban masyarakat disana.
Asal Usul Nama Kota Kudus
Menurut Solichin Salam, nama Kota Kudus adalah berasal dari bahasa Arab “Qudus” yang berarti “Suci”. Nama ini diambil dari sebuah batu prasasti yang sekarang terletak diatas mihrab pengimaman Masjid Menara Kudus. Batu berinskripsi Arab ini, dahulunya dibawa oleh Sunan Kudus dari Baitul Maqdis (Al Quds) Yerusalem. Hal tersebut dibawa Sunan Kudus sebagai cenderamata atau hadiah dari penduduk setempat ketika beliau dahulu pergi menunaikan ibadah haji dan melanjutkan perjalanan menuntut ilmunya di kawasan itu.
Selanjutnya Solichin Salam menuliskan bahwa sebelum bernama Kudus kawasan ini tentulah memiliki sebuah nama. Menurutnya, nama kawasan tersebut adalah “Loaram” mengacu kepada nama sebuah desa yang paling tua di kawasan kabupaten Kudus sebelah tenggara sejauh kurang lebih 3 km dari pusat kota. Menurutnya, nama Desa Loaram diambil dari kata “Lo” nama sebuah pohon yang diambil biji-bijiannya untuk dimakan. Di sisi lain Loaram juga diketahui dari sebuah pembacaan inskripsi Calcutta bahwa dahulu Raja Dharmawangsa yang merupakan bapak mertua dari Airlangga mengalami kebinasaan akibat serangan dari Raja Wura-wari yang berasal dari Loaram.
Namun dari sumber literasi lain yang diambil oleh pemerintahan kabupaten Kudus, mengatakan bahwa, Kota Kudus dahulunya bernama Tajug yang berada di tepian Sungai Gelis. Masyarakatnya hidup dari bertani, pengrajin batu bata dan menangkap ikan. Daerah ini menjadi terkenal berkat keberadaan seorang tokoh besar yang bernama Kyai Telingsing. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah beraada disana sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke Kudus untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren yang diberi nama Nganguk.
Menurut Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, penamaan Masjid Nganguk sendiri mempunyai beberapa versi. Pertama kata Nganguk berasal dari perubahan kata inga-inguk. Dimana dikisahkan pada suatu ketika Kyai Telingsing yang sudah memasuki usia lanjut ingin mencari penggantinya. Lalu, Kyai Telingsing menjadi sering berdiri di depan pintu rumahnya sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti mencari seseorang. Lalu, setelah beberapa lama muncullah Raden Ja’far Shadiq dari arah Selatan. Keduanya lalu bertemu, memperkenalkan diri berbincang dan akhirnya sepakat untuk membangun pusat dakwah di daerah tersebut. Dari gerakan Kyai Tlingsing inilah (menoleh ke kanan ke kiri mencari sesuatu) yang dalam bahasa Jawa disebut ingak-inguk kemudian Masjid itu dinamai Nganguk.
Sedangkan menurut etimologi, Agus Sunyoto menulis bahwa kata Nganguk berasal dari bahasa Kawi Hang Nguk yang berarti “tenang tidak terganggu”. Hal ini dimaksudkan Kyai Telingsing membangun sebuah tempat yang sepi dan tidak banyak gangguan sebagai tempatnya untuk uzlah.
Sebagai sebuah tempat, Tajug dinilai sudah ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shadiq. Beberapa kisah tutur percaya bahwa Ja’far Shadiq itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Tajug adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit Girindra Wardhana. Versi lainnya mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang.
Strategi Dakwah Sunan Kudus
Dalam hal metode dakwah, Sunan Kudus cenderung memilih jalan dakwah yang dinilai lebih moderat dibandingkan beberapa anggota Walisongo lain yang terbilang konservatif seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat. Metode Dakwah beliau didasarkan pada firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:
“Hendaknya engkau mengajak orang ke Jalan Allah dengan himah, dengan peringatan yang ramah-tamah serta bertukar pikiran dengan mereka melalui cara yang sebaik-baiknya”
Oleh karena itu, dalam dakwahnya Sunan Kudus menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan menghadapi masyarakat yang demikian.
Kedua, bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
Keempat, menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya. Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam.
Kelima, kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab, dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Dengan kebijaksanaan dakwah ini, maka Sunan Kudus memulai langkah dakwahnya melalui langkah-langkah empowerment (pemberdayaan). Beliau datang dan hadir di masyarakat tak hanya menjadi seorang guru agama yang berdiri jauh bak pemuka-pemuka agama sebelumnya yang menempatkan masyarakat dalam golongan-golongan hierarkis dan diskriminatif.
Seperti dituturkan oleh Prof. K.H.R. Moch. Adnan, bahwa Sunan Kudus dikenal sebagai pribadi yang sangat dekat dengan rakyat. Beliau selain sebagai seorang Guru yang mengajarkan agama juga sebagai seorang penyuluh di masyarakat, dimana Sunan Kudus dikenal sebagai seorang yang menyempurnakan alat-alat pertukangan. Alhasil, beliau mampu meningkatkan produktifitas para petani di kawasan dakwahnya.
Sunan Kudus dikenal pula mempunyai bakat berdagang sehingga beliau mampu menjadikan Kudus sebagai kota pelabuhan sungai dan perdagangan, di jalur Sungai Gelis sampai Sungai Wulan hingga Pelabuhan Jepara. Pedagang dari Timur Tengah, seperti Tiongkok dan sejumlah pedagang membuat daerah itu mempunyai banyak pengrajin.
Seperti halnya perdagangan kain, barang pecah belah dan hasil pertanian. Masyarakat Tajug terinspirasi akan filosofi yang melekat pada diri Sunan Kudus, Filosofi Sunan Kudus adalah “Gusjigang”, Gus berarti bagus, Ji berarti mengaji dan gang berarti berdagang. Melalui filosofi itulah Sunan Kudus mengajarkan masyarakat Kudus untuk tekun mengaji agar mempunyai kepribadian bagus dan mau berdagang untuk memenuhi kebutuhan. Diantara berdagang yang diwarisi turun temurun oleh warga Kudus sampai sekarang adalah membuat batik dan membuat Jenang.
Selain dengan gerakan pemberdayaan masyarakat, dakwah Sunan Kudus juga diusahakan dengan menarik simpati masyarakat dengan tidak memerangi secara langsung keyakinan-keyakinan mereka. Diantara yang paling dirasakan hingga sekarang adalah bagaimana di daerah Kudus, hingga sekarang masyarakatnya tidak menyembelih Sapi sebagai hewan qurban maupun dalam sajian kuliner sehari-hari. Misalnya, Soto Kudus tidak menggunakan daging sapi melainkan daging Kerbau, pun demikian dengan prosesi ibadah qurban saat Idul Adha, masyarakat disana menggunakan kerbau.
Terlepas dari balutan kisah tutur yang berkembang di masyarakat kemudian, jalan perjuangan dakwah yang di tempuh Sunan Kudus ini terbukti efektif menarik simpati masyarakat dahulu yang masih menganggap sapi sebagai hewan keramat sehingga mereka merasa nyaman dalam bertukar pikiran atau menjalin hubungan akrab dengan umat muslim.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Solichin Salam. 1986. Ja’far Shadiq, Sunan Kudus. Kudus: Menara Kudus.
Rahimsyah,MB.2008. Kisah Walisanga Para Penyebar Islam Di Tanah Jawa.Surabaya: Mulia Jaya.