IslamToday ID — “…berpindah-pindah dari satu rangkang (kelas) ke rangkang lain pada waktu pagi, tengah hari dan malam. Duduk di hadapan teungku-teungku kami membacakan Al-Ghayah wat Taqrib, Al-‘Awamil, Al-Ajrumiyyah lalu Hasyiyah Al-Bajuri, Al-Mutammimah kemudian Fathul Mu’in, Al-Jauharul Maknun dan lain-lainnya. Sampai suatu waktu kemudian kami sudah mengawali halaqah pelajaran dengan mengulang hafalan Manzhumah Al-Baiquniyah dan Alfiyah Ibni Malik. Kami juga membaca Qathr An-Nada dan Syarh Ibni ‘Aqil ‘Ala Alfiyah Ibni Malik dalam kelas di mana kami juga membaca Al-Mahalliy ‘Ala Al-Minhaj,” ujar Taqiyudin Muhammad atau ‘Musafir Zaman’ tentang pengalamannya menuntut ilmu pada sebuah dayah di Lam Nyong
“Masa itu paling istimewa. Di sana ada suasana yang sulit sekali dilukiskan, tapi yang jelas sangat damai serta menentramkan dimana hati dan pikiran terasa begitu lapang. Itulah kiranya yang dinamai dengan barakah. Saya masih bisa merasakan barakah yang turun dalam suasana itu sekalipun telah berselang lebih dari 20 puluh tahun lamanya,” imbuh Pembina Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) itu, tentang pengalamannya menuntut ilmu pada sebuah dayah di Lam Nyong.
Dayah merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Aceh. H.M. Syadli, ZA dalam pendidikan Islam di Kesultanan Aceh: Ulama, Meunasah Dan Rangkang mengatakan, kemungkinan besar dayah ini sudah ada sejak Sultan Malik Ash-Saleh.
Ibnu Batuttah juga mengatakan, bahwa Samudera Pasai telah menjadi pusat studi Islam di Asia Tenggara. Di Kesultanan ini banyak berkumpul ulama-ulama dari negeri-negeri Islam. Jauh sebelum kesultanan Malaka berkiprah dalam dakwah, Samudera Pasai telah memainkan peran penting dalam penyebaran ajaran Islam.
Menurut Ibnu Batutah, Sultan memainkan peran sentral dalam menghidupkan tradisi pendidikan Islam. Ia menuliskan kesaksiannya bahwa, Sultan Malik Azh-Zahir(1297-1326 M) yang ditemuinya saat itu, adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari tiba, Jumat Sultan pergi untuk sholat di Masjid dengan mengenakan pakaian ulama. Setelah Sholat Jum’at berjamaah, ia menggelar ta’lim diskusi dengan para ahli pengetahuan agama di masjid.
Tradisi pengunaan masjid untuk pendidikan ini sejatinya merupakan warisan zaman Rasullullah dan terus dilestarikan oleh generasi setelahnya. Banyak umat muslim yang dididik di masjid dengan beraneka ragam pengetahuan. Sehingga tumbuhlah kelompok-kelompok belajar masjid (halaqah). Kelompok-kelompok ini mengambil tempat di sudut-sudut masjid atau zawiyah.
Kata zawiyah ini digunakan oleh masyarakat Aceh sebagai bentuk lembaga pendidikan Islam. Dengan pelafalan etnis Aceh kata zawiyah tersebut berubah menjadi Dayah. Dayah telah banyak memberikan andil dalam perkembangan dan kemajuan Aceh. Melalui Dayah, nilai-nilai adat Aceh dan ke-Islaman diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada masa kesultanan Aceh, Dayah menawarkan tiga tingkatan pendiidikan. Tiga tingkatan pendidikan tersebut berupa ‘Rangkang’ (junior), ‘Balee’ (senior), dan ‘Dayah Manyang’ (Institut). Adapula, Dayah yang hanya memiliki rangkang dan balee, ada pula yang hanya berupa dayah manyang saja.
Pendidikan dayah di masa kesultanan Aceh Darussalam, mengalami kemajuan pesat. Hal ini dibuktikan dengan jumlah dayah terus berkembang, jumlah ulama (tenaga pengajar khusus) terus tumbuh (bertambah). Pada masa pemerintahannya (1607-1636), Sultan Iskandar Muda bahkan secara khusus mengundang ulama-ulama luar negeri, baik untuk kepentingan mengajar dan kepentingan kerajaan sebagai konsultan di bidang hukum Islam.
Model Pendidikan
Dayah berdiri di tingkat Nangroe atau di daerah tempat ulama besar berdomisili. Tidak jarang seseorang harus meninggalkan kampung halamannya (meudagang) untuk menuntut ilmu. Mereka hidup mandiri, jauh dari kampung halamannya.
Ada syarat yang harus dipenuhi, sebelum diterima di dayah. Calon murid harus sudah mampu membaca Al-Qur‘an dan menguasai berbagai pelajaran yang mereka dapat dari seorang Teungku di rangkang.
Sebab, di Dayah mereka akan mempelajari ilmu yang lebih dalam dan kompleks dengan literatur berbahasa arab. Diantaranya, tentang fikih muamalat, tauhid, tasawuf, akhlak, sejarah, tasawuf, ilmu bumi, manthik dan ilmu bintang/falak, ilmu tata negara, dan bahasa Arab.
Model pembelajaran dilakukan secara talaqqi dan bersanad. Tradisi ini merupakan model pembelajaran Islam yang tetap terjaga sejak masa Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabiut’tabi’in, dan hingga masa kini.
Pengajaran secara talaqqi ini merujuk sunnah Rasulullah. Apabila Rasulullah menerima wahyu daripada Jibril, dan menghafal wahyu tersebut terus dari Jibril. Maka, munculah kaidah penyampaian ilmu secara bersanad. Hal ini sekaligus dimaksudkan untuk memelihara keaslian ilmu dan makna dari ilmu yang dipelajari.
Dalam prakteknya, guru dan murid pelajar berhadaphadapan. Dimana seorang murid membaca matan kitab dan kemudian guru mensyarahkan isi dari kitab tersebut. Dalam tingkatan talaqqi, ada beberapa tahapan. Ada talaqqi yang diperuntukkan bagi tahap pemula (mubtadi), tahap sederhana (mutawassith), dan untuk tahap akhir (mutaakhir).
Ada pula kaidah yang lain, satu persatu murid datang kepada seorang guru dengan kurah (teks kitab) yang sedang mereka pelajari. Guru kemudian membaca teks, lalu memberi komentar dan catatan dalam bacaan tersebut. Setelah itu, Guru kemudian meminta murid membaca semula teks tersebut.
Dan pada kelas tinggi, perbincangan lebih dianjurkan dalam segala aktifitas belajar mengajar, dan ruang kelas hampir merupakan kondisi seminar. Para guru biasanya berfungsi sebagai moderator, sekaligus narasumber.
Selain itu ada pula kaidah mukhabarah, yaitu perbincangan untuk membincangkan masalah keagamaan, baik diantara sesama kyai/teungku (tenaga pengajar) atau sesama peserta didik yang sudah tinggi pemahaman ilmunya.
Jumlah tahun yang dihabiskan oleh seorang murid dalam belajar di dayah tergantung pada ketekunannya. Pengakuan Teungku Chik tentang penguasaan ilmu menjadi penanda kelulusan.
Apabila telah mendapat pengakuan dari Teungku Chik (pimpinan dayah) mereka harus terjun ke masyarakat, mengemban amanah bekerja sebagai teungku di meunasah-meunasah, menjadi da‘i, Imam masjid atau justru mendirikan dayah sendiri.
Ikhtiar Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan dayah yakni menyiapkan murid memiliki pengetahuan mendalam tentang ilmu agama Islam (bertafaqquh fi al-din) dan disempurnakan dengan akhlaq yang mulia. Mereka diharapkan menjadi kader-kader ulama dalam mengemban misi dakwah dan menyebarkan agama Islam. Selain itu, agar kadernya mampu meningkatkan pengembangan masyarakat, menjadi sentral pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat dan diharap pula dapat menjadi benteng pertahanan umat.
Ringkasnya ikhtiar pendidikan Islam, tersebut dilakukan dalam usaha mencetak manusia berakhlak mulia dan sebagai tempat pengkaderan pengembangan masyarakat di berbagai sektor. Maka tidak heran, jika Mefred Oepen dan Wolfgang Karcher, menyebut tujuan pendidikan dayah adalah mencetak insan-insan muslim yang menjadi pendukung ajaran-ajaran Allah secara utuh.
Dayah sebagai institusi pendidikan Islam telah banyak menciptakan ulama, juru dakwah, pendidik, pemimpin, sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan umat serta mampu berhadapan dengan cobaan-cobaan dan rintangan dalam menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru tanah air.
Setidaknya, hal itulah yang dirasakan Aceh Darussalam pada masa kejayaaannya. Pada abad ke-17 M, Aceh tampil tercatat sebagai salah satu negara kuat secara militer dan maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi diantara lima negara di dunia, yaitu Kerajaan Mughal di India, Kerajaan Safawi di Isfahan, Kesultanan Islam Maroko di Maroko, Kesultanan Turki Utsmani di Turki, dan Kesultanan Islam Aceh Darussalam di Aceh. Pendidikan menjadi salah satu pilar kekuatan Aceh, di samping kekuatan ekonomi, politik, dan militer.
Kemajuan Aceh di berbagai bidang itu membawa kesan tersendiri bagi Augustin de Bealuleu, saat berkunjung ke Aceh Darussalam. Bealieu mengatakan, terkagum-kagum dengan kapal-kapal galley yang dimiliki Aceh. Katanya, kapal-kapal Aceh amat bagus, penuh dengan ukiran-ukiran, tinggi dan lebar. Layar-layar pada kapal itu berbentuk segi empat sama dengan layar-layar pada kapal milik Perancis. Papan-papan pada sisi kapal tebalnya enam jari jempol, karena-nya sebuah kapal milik kerajaan Aceh tidak kalah dengan sepuluh kapal galley milik orang Portugis. Kiranya, keahlian semacam ini tidak mungkin ada, tanpa melalui lembaga pendidikan.
Selain itu, Aceh menjadi satu-satunya negeri di Nusantara yang tidak pernah bisa ditaklukan oleh para penjajah. Di saat penduduk Indonesia lainnya masih berjuang untuk meraih kemerdekaannya. Aceh merupakan negeri yang berdaulat dan terus mengobarkan perlawanan kepada para penjajah. Dalam perjuangan mempertahankan agama dan kedaulatan negeri tersebut, kalangan dayah selalu ikut aktif mengambil bagian jihad fi sabilillah.
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza