“Umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama,” [Howard R Turner, Science in Medievel Islam]
“Peradaban Islam juga merupakan pendiri sekolah farmasi pertama,” [Phillip K Hitti, History of Arab]
IslamToday ID — Kemajuan kaum muslimin di bidang kimia mengantarkan mereka untuk memperoleh capaian penting di berbagai cabang ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu farmasi dan apoteker. Hal ini disebabkan obat-obatan membutuhkan penelitian lanjutan sesuai dengan ilmu kimia. Keberadaan obat-obat kimia menjadi pembuka peradaban manusia yang lebih modern.
Kaum muslimin memperoleh ilmu pengetahuan tentang farmasi, obat, dan pengobatan dari bangsa Yunani yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab kurang lebih di tahun 80 M. Kitab tersebut berjudul Al-Maddah Tibbiyah fi Khasyaisy wal Adwiyah Al-Mufradah yang ditulis oleh Dioscorides Al-Ain Zarabi pada tahun 80 M. Kitab ini diterjemahkan beberapa kali dua penerjemah yang terkenal adalah Hanin bin Ishak di Baghdad dan Abu Abdullah As-Shaqalli di Kordoba. Muslimin melakukan transfer ilmu dan pengembangan ilmu tentang farmasi, apoteker, pengobatan dalam tahap lebih lanjut.
Setelah itu mulai berdirilah apoteker kaum muslimin, bahkan pengetahuan mereka melebihi dari kitab bangsa Yunani yang sudah diterjemahkan ke bahasa Arab tersebut. Kitab-kitab yang berkaitan dengan dunia farmasi pun semakin banyak, salah satunya dalam ilmu nabati.
Abu Hanifah Ad-Dainuri seorang arsitek, filsuf, dan ahli sejarah nabati yang hidup pada 282 H atau 895 H mengarang Mu’jam Nabati, Kitab Al-Falahah oleh Ibnu Wahsyiyah seorang ilmuwan kimia yang hidup pada 318 H atau 930 M dan Al-Falahah Al-Andalusiyah oleh Ibnu Al-Awwam Al-Isybili seorang ilmuwan Andalusia yang hidup pada tahun 580 H atau 1185 M.
Apotek Pertama di Dunia
Sharif Kaf al-Ghazal mengatakan bahwa apotek pertama di dunia yang ada di Baghdad didirikan oleh para apoteker muslim. Hal ini terdapat dalam kitabnya yang berjudul The Valuable Contributions of Al-Razi in the History of Pharmacy During the Middle Ages. Apotek tersebut didirikan pada tahun 754 M, pada saat Baghdad menjadi ibukota Kekhalifahan Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Sementara itu bangsa Eropa baru mempunyai seorang apoteker pertama di tahun 1342-1400 M. Apoteker pertama itu bernama Geoffrey Chaucer, ia seorang berkebangsaan Inggris. Apoteker tersebar merata di seluruh daratan Eropa sejak abad 15 hingga 19 M.
“Umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama,” ujar penulis buku Science in Medievel Islam, Howard R Turner.
Penulis lainnya, Philip K Hitti juga megungkap hal yang sama, bahhwa peradaban Islam lebih dulu memiliki seorang apoteker. Hal ini ia ungkapkan dalam bukunya yang berjudul History of Arab.
“Peradaban Islam juga merupakan pendiri sekolah farmasi pertama,” kata Philip K Hitti.
Pharmacopeia Pertama
Peradaban Islam juga menjadi pemilik pharmacopeia pertama, yaitu buku panduan dalam meracik obat. Pharmacopeia atau farmakope adalah buku yang memuat resep meracik obat yang sudah terstandarisasi. Ialah Ibnu Sahl (wafat 869 M) seorang dokter yang mempelopori pembuatan pharmacopeia.
Ibnu Sahl menjelaskan bermacam-macam jenis obat-obatan. Gagasannya dalam dunia farmasi ia tuliskan dalam Kitab yang berjudul Al-Aqrabadhin. Melalui kitabnya, ia memberikan resep kedokteran tentang kaidah dan teknik meracik obat, tindakan farmakologisnya serta dosisnya untuk setiap pemakaian. Formula ini disalin oleh para ahli farmasi hingga 200 tahun lamanya.
Setelah Harun ar-Rasyid wafat kekuasaan digantikan oleh puteranya yang bernama Abdullah Al-Makmun bin Harun ar-Rasyid yang memerintah sejak 198-218 H atau 813-833 M. Al-Makmun merupakan Khalifah ketujuh Bani Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya Al-Amin.
Meskipun ia sosok yang penuh kontroversi tapi di masanya ilmu pengetahuan berkembang pesat di Baghdad. Ia memberikan anggaran khusus bagi para penerjemah kitab-kitab kuno Bangsa Yunani. Kitab-kitab kuno yang berisi tentang ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, astronomi, matematika dan filsafat banyak diterjemahkan ke bahasa Arab.
Ia menjadikan kota Baghdad sebagai kota metropolis yang maju. Pada masanyalah pengawasan dalam dunia farmasi mulai dilakukan. Karena banyak oknum yang mengaku bisa meracik obat untuk mengobati suatu penyakit. Oleh karenanya profesi apoteker diatur agar dan diawasi oleh pemerintah. Untuk menjamin obat yang beredar dipasaran itu aman, maka ada tes bagi calon apoteker.
Setelah ia wafat dilanjutkan oleh Al-Mutasim, pada tahun 227 H kepada apoteker yang dinyatakan lulus selanjutnya diberikan sumpah jabatan. Sejak saat itulah profesi apoteker resmi di bawah pengawasan pemerintah. Hal ini kemudian dipraktikan oleh Raja Frederick II (607-648 H/1210-1250 H). Kalimat sumpah apoteker pun selanjutnya mengikuti tradisi Bani Abbasiyah dari bahasa Arab dengan diubah ke dalam bahasa Spanyol.
Oleh karena begitu besar peran kaum muslimin dalam bidang ilmu farmasi dan apoteker serta pengobatan, George Fathullah dalam bukunya Mansyur fi Turast Al-Islam di halaman 512 mengatakan “Kaum muslimin adalah generasi pertama yang menyebarkan keahlian Apoteker dengan dasar-dasar ilmu yang selamat, mendirikan badan pengawasan terhadap Apoteker dan tempat pembuatan obat sebagai suatu profesi yang patut diperhitungkan atau diperhatikan.”
Hal ini juga ditekankan oleh Gustave Le Bon dalam bukunya The Arab Civilization halaman 494, yakni “Kita sanggup menisbatkan tanpa batas minimal yang memberatkan ilmu Apoteker kepada mereka. Lalu kita katakan bahwa Apoteker adalah ilmu hasil penemuan bangsa Arab (Islam) sebagai tempat muaranya. Mereka telah menambah pengobatan yang telah dikenal sebelumnya dengan menyusun berbagai macam penemuan, dan bangsa pertama yang menulis buku tentang obat-obatan.”
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza