IslamToday ID — Dalam khasanah kehidupan masyarakat Jawa, representasi keagamaan tidak hanya diekspresikan melalui ritual keagamaan. Lebih dari pada itu, ekspresi keagamaan dapat disalurkan melalui berbagai media, dari aturan moral, adat istidadat hingga pada benda-benda khusus yang memiliki nilai religius.
Salah satu bentuk ekspresi budaya yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat adalah Batik. Selembar kain batik dengan beragam motif yang berkembang berdasarkan daerahnya telah merepresentasikan tuntunan hidup dan kearifan budaya yang diwariskan turun-temurun dan bahkan menjadi identitas daerah tersebut.
Bagi sebagian masyarakat Jawa, makna batik bahkan lebih dari itu. Buat mereka, batik tak sekadar kain, tapi punya peran penting dalam kehidupan, sejak masih dalam kandungan, lahir ke dunia, hingga meninggalkannya lagi dan masuk ke liang lahat.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Batik dapat didevinisikan sebuah kain yang dilukis menggunakan canting dan cairan lilin malam sehingga membentuk lukisan-lukisan bernilai seni tinggi diatas kain mori. Batik berasal dari kata amba dan tik, yang artinya adalah menulis titik. Kalau jaman dulu disebutnya ambatik.
Hingga kini belum diketahui secara pasti sejak kapan munculnya berbagai motif batik yang penuh filosofi tersebut. Namun keberadaan motif batik ini mulai banyak ditemukan dalam kurun waktu berdirinya kerajaan Mataram Islam, kemudian dilanjutkan pada kerajaan Surakarta dan Yogyakarta hingga sekarang.
Meski tidak ada yang tahu siapa yang awalnya menciptakan motif itu, namun motif dan corak tersebut diturunkan melalui pengajaran lisan dan melalui berbagai macam ritual kebudayaan. Sebab, kain-kain bermotif memang biasanya digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menggelar berbagai ritual.
Motif sido mukti misalnya, digunakan karena memiliki makna hidup bahagia dan tenteram. Sementara sido asih berarti mengasihi sesama manusia. Sido luhur bermakna memiliki kedudukan tinggi. Sido mulya melambangkan harapan agar si jabang bayi kelak hidup dalam kemuliaan. Dan sido dadi ialah permohonan agar segala harapan bisa tercapai.
Salah satu motif batik yang erat kaitannya dengan dakwah Islam adalah motif batik Wahyu Tumurun. Batik dengan motif wahyu tumurun merupakan salah satu motif yang sering dipakai. Motif ini banyak disukai karena keindahan pola dan filosofinya yang mendalam. Kita dapat mengenali motif ini dengan mudah dari kekhususan polanya. Lihat saja pada pola motif utamanya. Pola mahkota terbang tampak lebih menonjol dengan tambahan motif sepasang ayam atau burung yang berhadap-hadapan. Di dalam mahkota biasa diberi isen bunga-bunga. Sebagai motif tambahan, ada yang membubuhkan berbagai pola tumbuh-tumbuhan yang bersemi, atau dalam ragam batik lebih dikenal dengan motif semen. Bisa juga dihiasi motif bunga-bunga yang bersebaran atau truntum, motif ukel, sogan, juga granitan. Motif tambahan ini sebagai variasi dari motif utama wahyu tumurun.
Mengenai latar belakang dari adanya Batik motif wahyu tumurun, telah dikenal sejak tahun 1480 M di wilayah Yogyakarta, kemudian menyebar ke berbagai daerah. Di masing-masing daerah inilah motif wahyu tumurun mengalami perkembangan variasi motif. Di Yogyakarta, motif burung yang biasa digunakan adalah burung merak. Burung merak dianggap sebagai simbol lokal Jogjakarta yang menunjukkan asal motif batik.
Sedangkan di Solo memvariasikan motif burung merak dengan burung phoenix, burung phoenix bukanlah burung lokal. Penggantian burung merak dengan burung phoenix ini dikarenakan adanya pengaruh budaya Cina yang saat itu berkembang di Solo.
Sementara itu, menurut Ustadz Salim A. Fillah, Motif batik “Wahyu Tumurun” diketahui ada sejak masa kepemimpinan Mataram Islam yang pertama yaitu pada pertengahan Abad ke 16 M dibawah Panembahan Senopati. Seiring berjalannya waktu, dengan bergantinya kepemimpinan, maka pada masa Sultan Agung Hanyakrakusumo yang berkedudukan di Karta, motif batik ini mengalami penyempurnaan, hingga kemudian dikukuhkan sebagai pakaian i’tikaf pada 10 malam terakhir Ramadhan oleh Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta. Pada masa Sultan pertama Yogyakarta ini motif tersebut dikenal dengan nama Wahyu Tumurun Latar Pethak Gagrak Ngayogyakarta
Batik Wahyu Tumurun Latar Pethak Gagrak Ngayogyakarta mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
- Redi: Gunung bercahaya dengan gua di tengahnya, Jabal Nur dan Gua Hira’; tempat wahyu pertama turun.
- Elar: Sayap malaikat.
- Sawung: Ayam jago. Pertanda waktu fajar. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr [97]: 4-5)
- Ketopong(mahkota terbang). Karena penghafal Al Qur’an dipakaikan mahkota yang bersinar melebihi cahaya mentari.
- Lung-lungan(cabang-cabang tumbuhan). Sebab, yang “akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim [14]: 24)
- Kusuma(bunga) dan buah Sawo Kecik (sarwo becik; serba baik). Sebab, akhlak pembaca Al Qur’an harus harum mewangi dan manis rasanya (Surah Ibrahim [14] ayat 25).
- Isen-isen Keras(susunan batuan granit di pegunungan), sebagai pengingat bahwa gunung pun akan hancur karena takut pada Allah jika Al Qur’an diturunkan padanya (Surah Al Hasyr [59] ayat 21). Dan jangan sampai hati kita mengeras bagai batu, padahal di antara batu pun ada yang di selanya mengalir sungai; ada yang terbelah kemudian memancarkan air; dan ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah (Surah Al Baqarah [2] ayat 74).
Dari uraian mengenai makna simbolis motif batik wahyu tumurun diatas, maka bisa kita ambil pelajaran, bahwa masyarakat Jawa, khususnya berkaitan dengan laku spiritual dan budaya lingkungan inti Kerajaan Mataram Islam, sangat merepresentasikan nilai-nilai Islam dalam laku hidup sehari-hari. Jadi amat keliru jika banyak pihak dari umat yang justru mengambil jarak dari kajian-kajian budaya Jawa dan secara gegabah melabelinya dengan ajaran yang mengandung kesesatan.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza