IslamToday ID — Dalam percaturan dakwah Islam di Nusantara, salah satu wilayah yang memiliki pengaruh besar adalah daerah Minangkabau. Darisanalah muncul orang-orang besar yang banyak berkotribusi dalam perjuangan melawan kedzaliman penjajah Eropa sejak zaman kerajaan hingga masa Pergerakan Nasional.
Sementara di sisi lain, energi besar tersebut digerakkan oleh sebuah nilai tunggal yang seolah menyatu dan menjadi identitas sosial dan pribadi masyarakat Minang yakni Islam. Lalu, bagaimana proses masuknya Islam ke kawasan ini hingga menemukan bentuk kokoh sebagai sistem nilai masyarakat?

Orientalis
Berbicara mengenai masuknya Islam ke Ranah Minang, banyak sekali teori yang dikemukakan oleh para sejarawan lokal maupun para orientalis asing. Beberapa diantaranya adalah:
Pertama, Menurut P.M Holt, Islam masuk ke Aceh sekitar abad ke-14 dan dari Aceh menyebar ke Minangkabau. Yaitu dari Pidie melalui Pariaman, menyelusup ke seluruh daerah Minangkabau. Rute ini pulalah yang dilalui oleh paham-paham baru Islam yang memasuki Minangkabau pada abad ke-19 M.
Kedua, adalah menurut catatan Tome Pires. Sosoknya sendiri dikenal sebagai seorang ahli obat-obatan dari Lisabon Portugis. Atas inisiatif dan dukungan kerajaan, ia melakukan perjalanan yang cukup panjang mengelilingi dunia. Dalam bukunya yang berjudul Summa Oriental, sebagaimana yang dikutip Ricklefs (1995), Pires mengatakan bahwa pada waktu itu sebagian besar raja-raja Sumatera beragama Islam, tetapi masih ada negeri-negeri yang masih belum menganut Islam.
Menurut Pires, mulai dari Aceh di sebelah utara terus menyusur daerah pesisir timur hingga Palembang, para penguasanya beragama Islam. Di sebelah selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera hingga pesisir barat, sebagian besar penguasanya tidak beragama Islam. Sementara, di Pasai terdapat komunitas dagang Islam internasional yang sedang berkembang pesat. Kemudian Pires menghubung-hubungkan penegakan pertama agama Islam di Pasai dengan kelihaian para pedagang Muslim itu. Akan tetapi, menurut Tome Pires penguasa Pasai belum berhasil meng-Islam-kan penduduk pedalaman. Raja Minangkabau dan seratus pengikutnya disebutkan sudah menganut agama Islam, tetapi penduduk Minangkabau lainnya belum. Meskipun demikian, Pires menyebutkan bahwa agama baru itu makin hari makin bertambah pemeluknya di Minangkabau.
Ketiga adalah Christiaan Snouck Hurgronje. Ia adalah seorang teolog asal Belanda yang pura-pura masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Gafar. Tugasnya adalah mecari formulasi terbaik untuk mengalahkan keuletan rakyat Aceh yang benar-benar menjadikan Islam sebagai landasan perjuangan melawan penjajah. Mengenai masuknya Islam ke Minangkabau ia berpendapat bahwa agama Islam secara perlahan-lahan masuk ke daerah-daerah pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil lainnya di seluruh Kepulauan Nusantara sejak kira-kira setengah abad sebelum Baghdad (pusat Khilafah Abbassiyah) jatuh ke tangan Hulagu (raja Mongol) pada tahun 1258. Hurgronje mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Hindustan yang dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat. Usaha penyebaran Islam ke pedalaman seterusnya dilakukan juga oleh orang Muslim pribumi sendiri, dengan daya tariknya pula, tanpa campur tangan penguasa negara.

Sejarawan Indonesia
Selain daripada teori dan catatan dari orang-orang Eropa, Witrianto dalam jurnal ilmiah yang berjudul Agama Islam di Minangkabau juga mengungkapkan beberapa teori dan catatan tentang masuknya Islam di wilayah Minangkabau oleh sejarawan Indonesia, yakni.
Pertama, adalah teori yang mengaitkan penyebar agama Islam pertama dilakukan oleh seorang tokoh bernama Syekh Burhanuddin Ulakan. Dikisahkan bahwa beliaulah yang pertama mendakwahkan Islam melalui daerah Pariaman pada awal abad 17 M.
Ia diketahui adalah seorang tokoh yang menempuh ilmu dari kawasan Aceh dan berdakwah dengan menyebarkan Islam melalui metode Thariqat Syatariyah dan pendidikan Al-Quran melalui lembaga surau. Namun hal ini tentu banyak ditentang oleh sejarawan lokal, karena menurut mereka, walaupun belum terlembaga dengan baik dan Islam belum menyebar dan dipeluk oleh seluruh penduduk Minang, tetapi Islam sudah dikanal dan dianut dalam komunitas-komunitas kecil jauh sebelum abad 17 M.
Untuk membantah teori diatas, berdasarkan berita dari China, Prof Dr. Hamka mengatakan bahwa pada tahun 684 M sudah didapati suatu kelompok masyarakat Arab di Minangkabau. Hal ini berarti bahwa 42 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, orang Arab sudah mempunyai perkampungan di Minangkabau. Sehubungan dengan itu Hamka memperkirakan bahwa kata “Pariaman”, nama salah satu kota di pesisir barat Minangkabau berasal dari bahasa Arab, “barri aman” yang berarti tanah daratan yang aman sentosa. Selanjutnya, diduga pula bahwa orang-orang Arab ini di samping berdagang juga berperan sebagai mubaligh-mubaligh yang giat melakukan dakwah Islam, sehingga pada waktu itu diperkirakan sudah ada orang Minangkabau yang memeluk agama Islam.
Kedua, sejalan dengan itu, M.D. Mansur juga menyimpulkan bahwa pada abad ke-7 agama Islam sudah dikenal di Minangkabau Timur, mengingat pada waktu itu telah ada hubungan dagang antara Cina di Asia Timur dan Arab di Asia Barat melalui Selat Malaka. Pada waktu itu di Asia Barat, dengan Damaskus sebagai pusat, sedang berkuasa Daulat Umayyah. Mereka sekaligus juga menguasai hubungan perdagangan antara Timur (China) dan Barat (Laut Tengah). Walaupun demikian, dakwah Islam pada waktu itu belumlah pesat dan malah kemudian berhenti dan akhirnya lenyap sama sekali akibat larangan yang dilakukan oleh Dinasti T’ang dari China yang merasa kepentingannya di Minangkabau terancam oleh Khilafah Umayyah. Adanya hubungan dagang laut yang langsung antara Minangkabau sebagai produsen lada dengan Timur Tengah dilihat China akan merugikannya sebagai pemasok lada. Pengaruh politik Khilafah Umayyah dengan pengaruh ideologinya dipandang akan meruntuhkan wibawa dan kepentingan ekonomi China sebagai “Pemimpin Asia” waktu itu.
Ketiga, berbeda dengan pendapat di atas, Ismail Ya’koeb memperkirakan agama Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalan. Jalur pertama dari Selat Malaka melalui Sungai Siak dan Kampar, lalu berlanjut ke pusat Minangkabau. Di zaman kebesaran Malaka sudah ada raja-raja Islam di Kampar dan Indragiri. Dari sinilah masuknya agama Islam ke bagian Timur Minangkabau dan seterusnya menyusup ke pedalaman. Jalur yang kedua adalah dari Aceh masuk melalui pesisir barat Sumatera terus ke Ulakan Pariaman, yang pada waktu itu merupakan pelabuhan Aceh terpenting di Minangkabau, terutama pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Adapun secara proses dianutnya Islam oleh penduduk Minangkabau, menurut Muhammad Yamin dalam buku Telaga Alam Minangkabau, tak ubahnya seperti proses di beberapa daerah lain. Diantaranya adalah melalui interaksi antara penduduk lokal dan pendakwah dari daerah asal Islam yang kemudian berkembang melalui perkawinan dan akhirnya tumbuh menjadi komunitas-komunitas kecil di pesisir timur Minangkabau. Namun secara masif usaha-usaha Islamisasi baru benar-benar bisa membuahkan hasil adalah ketika dakwah Islam telah diterima keluarga bangsawan Kerajaan Pagarruyung pada Abad ke-16 yaitu pada kepemimpinan Sultan Alif. Darisanalah Islam mulai semakin dikenal oleh masyarakat luas. Pada generasi berikutnya bahkan Islam mampu melembaga dan bersanding dengan adat istiadat setempat sehingga dikenal ungkapan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang artinya Adat yang didasarkan/ditopang oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan pula pada Al-Quran dan Hadist.
Penulis: Muh. Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza