IslamToday ID — Banyak artikel sejarah selalu mengaitkan antara pendakwah walisongo dengan Turki Utsmani. Yang paling banyak dan termasyhur adalah kisah-kisah sejarah yang diambil dari Kitab Kanzul Ulum karya Ibnu Bathuthah. Namun benarkah narasi sejarah yang banyak beredar tersebut?.
Menuliskan artikel sejarah, yang berisi tentang cerita sejarah masa lalu sesungguhnya tidak semudah itu. Penulisan tidak hanya berdasarkan asumsi, serta hasil kutipan dari kata-kata orang, semua ada landasan ilmu yang harus dilakukan sehingga kebenaran sejarah bisa dipertanggungjawabkan. Ada metode-metode yang harus ditempuh sebelum menuliskan cerita sejarah yang baik dan benar.
Ustadz Dr. Muhammad Isa Anshory lebih dahulu menegaskan pentingnya ilmu sebagai landasan amal. Termasuk ilmu dalam menuliskan sejarah. Terutama landasan yang digunakan untuk menjelaskan relasi, hubungan antara para walisongo dengan Kekhalifahan Turki Utsmani. Ia lebih dahulu menyampaikan pesan dari Imam Bukhari, tentang pentingnya ilmu sebelum amal, hal ini untuk menjaga dari rusaknya sebuah amalan yang tidak didasari sebuah ilmu.
“Tentu kita ingat, dan kita sudah familiar dengan pernyataan Imam Bukhari, bahwa ilmu itu sebelum berkata dan berbuat. Demikian juga ketika kita berbicara tentang sejarah maka kaidah ini merupakan kaidah yang harus kita pegang kuat-kuat. Maka dalam mengkaji sejarah kita mesti ingat bahwa berilmu terlebih dahulu sebelum bercerita,” kata Ustadz Isa dalam kajian sejarahnya di FKAM TV, Sabtu (16/5/2020).
Sebagai ilmu, sejarah mempunyai metode yang harus diikuti oleh siapapun yang ingin melalukan penelitian sejarah. Ia merekomendasikan dua judul buku yang harus dibaca oleh seseorang yang ingin mendalami sejarah yakni Pengantar Ilmu Sejarah karya Prof. Kuntowijoyo dan Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah karya Prof. Sartono Kartodirjo.
Ustadz Isa menyimpulkan setidaknya ada empat tahapan yang harus dilalui dalam mendalami masalah sejarah yakni pertama heuristik yaitu aktivitas mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber sejarah, kedua kritik sumber, ketiga interpretasi atau menafsirkan, keempat tahap historiografi atau menceritakan.
Membedah Relasi Walisongo dan Turki Utsmani
Membedah cerita sejarah walisongo sebagai utusan Turki Utsmani berdasarkan empat metode ilmu sejarah. Pertama-tama kita harus lebih dahulu mengkajinya secara heuristik dari mana sumber cerita ini berasal. Banyak artikel atau tulisan yang beredar tentang relasi keduanya berdasarkan sumber dari Kitab Kanzul Uhum, namun ternyata nama kitab itu keliru yang benar kitab ini bernama kitab Kanzul Ulum.
“Dan kitab Kanzul Ulum ini konon adalah kitab yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah. Nah ini ketika kita mengkaji apa benar Ibnu Bathuthah punya kitab namanya Kanzul Ulum? Ternyata ketika berusaha menelusuri apakah ada kitab Kanzul Ulum ini, ternyata kitab ini adalah kitab yang tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan wujudnya alias tidak bisa di heuristik. Bahkan dalam beberapa tulisan yang menyebut judul kitab itu secara salah Kanzul Uhum ini menjadi bukti bahwa banyak orang asal comot,” ungkapnya.
Dalam artikel yang beredar disebutkan pula bahwa kitab Kanzul Ulum disimpan di dalam museum Istana Turki yang ada di Istanbul. Sementara museum ini merupakan museum tertutup tidak sembarang orang atau individu bisa masuk kecuali atas nama negara atau ada surat mandate dari negara. Pertanyaan berikutnya yang muncul untuk menelusuri kebenaran keberadaan kitab tersebut adalah siapa orang yang telah berhasil mengakses kitab tersebut dan bagaimana cara mengaksesnya.
“Ternyata dari banyak buku-buku yang berbicara bahwa walisongo adalah utusan Khilafah Turki Utsmani itu ujung-ujungnya ketika cek di footnotenya, di catatan kakinya itu mengarah pada satu buku yang berjudul Kisah Walisongo Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, buku ini ditulis oleh Asnan Wayudi dan Abu Khalid,” kata Ustadz Isa,
Ustadz Isa menyayangkan jika buku yang banyak menjadi sumber cerita sejarah Walisongo dan Khilafah Turki Utsmani tersebut justru ditulis tidak berdasarkan kaidah ilmiah penulisan sejarah. Namun, bukan berarti buku itu tidak memiliki manfaat sama sekali, hanya saja tidak bisa menjadi rujukan utama dalam sumber sejarah penulisan cerita walisongo.
Metode yang kedua adalah kritik sumber, yakni mengkritik, mempertanyakan kredibilitas Kitab Kanzul Ulum. Misal keterangan yang menyebutkan bahwa kitab tersebut ditulis oleh Ibnu Bathuthah (1304-1369 M) atas permintaan Sultan Muhammad I (1379-1421 M). Artinya keduanya tidak hidup sejaman, karena Ibnu Bathuthah telah meninggal sepuluh tahun sebelum Sultan Muhammad I lahir. Selain itu, Kesultanan Turki Utsmani baru diakui keberadaanya pada masa kekuasaan Sultan Salim I yakni pada tahun 1512 M. Sementara Ibnu Bathuthah meninggal pada tahun 1369 M.
“Sepuluh tahun setelah Ibnu Bathuthah meninggal dunia, Sultan Muhammad I yang katanya mengutus para walisongo, para da’i itu baru lahir. Pertanyaannya kapan kedua orang ini bertemu?” ungkap Ustadz Isa.
Metode ketiga adalah interpretasi, adanya anggapan tentang keberadaan Kekhalifahan Turki Utsmani sudah menjadi khilafah pada masa Sultan Muhammad I itu adalah ahistoris. Tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang ada, karena pada masa itu Turki Utsmani baru berusaha mengembangkan wilayahnya dan belum diakui sebagai khilafah. Di saat yang bersamaan khalifah dinasti Abbasiyah masih ada di Mesir, meskipun yang berkuasa di Mesir saat itu Dinasti Mamluk.
“Sultan Turki Utsmani pertama yang diakui secara resmi sebagai khalifah adalah Sultan Salim I yang memerintah dari tahun 1512 hingga 1520. Dari beberapa kajian berdasarkan metode sejarah tadi kita bisa tahu bahwa ternyata walisongo tidak diutus oleh Turki Utsmani” terangnya
Walisongo Bukan Utusan Turki Utsmani
Meskipun demikian, fakta-fakta di atas tidak akan mengurangi kehebatan para walisongo dalam menjalankan misi dakwahnya di Indonesia. Mereka tetap bergerak dibawah komando sebuah komando. Untuk menjawab siapa yang menjadi komando para wali tersebut maka kita harus melihat berdasarkan kondisi dunia Islam di akhir abad ke-14 dan awal abad ke-16, yakni zaman hidupnya para walisongo.
Ustadz Isa juga menjelaskan bahwa kedatangan walisongo di Nusantara bukan tanpa kebetulan, melainkan datang dengan rencana besar. Ia menjelaskan bahwa beda wali beda kasus, beda wali beda yang mengutus. Misalnya, kedatangan Sunan Maulana Malik Ibrahim datang ke Jawa atas perintah Sultan Pasai untuk melakukan ekspansi dakwah ke tanah Jawa setelah sebelumnya Kerajaan Majapahit melakukan ekspansi militernya ke Pasai.
Lain cerita dengan Sunan Ampel yang datang ke Jawa dari Champa dengan tujuan untuk mengungsi sekaligus menemui bibinya yang menjadi isteri Raja Kertajaya. Ia datang untuk mengungsi karena negerinya, Champa sedang diserang oleh bangsa Anam. Setelah diberitahu jika negeri Champa telah ditaklukan oleh bangsa Anam, Sunan Ampel diminta tinggal di Jawa dan menjadi pemimpin komunitas muslim dan menjadi adipati di Surabaya.
Sementara Sunan Bonang merupakan anak dan murid dari Sunan Ampel, ketika ditanya siapa yang mengutus Sunan Bonang tentu jawabannya tidak lain sang ayah, Sunan Ampel. Selain berguru pada Sunan Ampel, Sunan Bonang juga berguru pada Maulana Ishak di Pasai. Di sana pula, ia berguru dengan ditemani oleh Sunan Giri.
“Sunan Bonang sekembalinya dari Malaka atau dari Pasai ia dipanggil oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel-RED) untuk menjadi imam masjid pertama di Demak sekaligus menjadi guru di masjid tersebut,” tutur Ustadz Isa.
Begitulah kisah walisongo para pendakwah yang disampaikan oleh Ustadz Isa. Mereka sama sekali tidak memiliki relasi langsung dengan Kesultanan Turki Utsmani. Mereka berdakwah atas perintah penguasa kesultanan Islam di Nusantara, perintah guru, orang tua dan ada juga dengan tujuan mengungsi seperti yang dilakukan oleh Sunan Ampel dan Sunan Gunungjati.
Kita bisa simpulkan bahwa relasi antara Kekhalifahan Turki Utsmani dengan muslim di Jawa khususnya, dan muslim di Nusantara secara umum terjadi setelah tahun 1517. Karena Sultan Salim I baru dinyatakan resmi menjabat sebagai Khalifah Turki Utsmani pada tahun tersebut. Relasi muslim Jawa dan Turki Utsmani bisa dibuktikan dengan keberadaan meriam sebagai senjata andalan kerajaan Demak, Mataram Islam dan Banten ketika mereka menghadapi Portugis. Keahlian dalam pembuatan meriam yang dimiliki oleh para muslim di Demak, Banten, Yogyakarta ini diperoleh dari para sarjana atau ahli militer yang datang dari Turki Utsmani.
“Jadi ketika kita berbicara tentang sejarah walisongo, bukan sebuah aib kalau kita mendapati bahwa walisongo ternyata tidak diutus oleh Khilafah Turki Utsmani. Kehebetan mereka, jasa mereka yang luar biasa tidak akan berkurang gara-gara sebuah fakta yang kita dapati bahwa walisongo tidak diutus oleh Khilafah Turki Utsmani,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza