IslamToday ID — Dalam rangkaian perjuangan melawan kolonialisasi Belanda di atas bumi Nusantara, tercatat perlawanan besar yang dilakukan rakyat dari tanah Borneo yakni Perang Banjar. Perang ini begitu dashyat, melibatkan berbagai intrik politik dan bentrokan bersenjata hingga memakan waktu hampir 40 tahun.
Sahriyansyah dalam bukunya Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar menguraikan, bahwa akar permasalahan yang menyebabkan meletusnya Perang Banjar telah terjadi jauh sebelum memasuki abad ke-19 M. Hal ini diawali dari adanya persaingan menduduki tahta kerajaan Banjar pasca wafatnya Sultan Aminullah atau di sumber lain disebut Sultan Tahmidullah pada tahun 1761 M.
Sultan yang wafat ini sebenarnya mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Namun karena mereka masih berusia muda maka dalam kontestasi itu kemudian muncul sosok Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah yang juga berambisi menduduki singgasana kerajaan.
Intrik Politik Belanda
Untuk mewujudkan ambisinya Pangeran Nata berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah, sedangkan satu anak Sultan yang lain berhasil selamat dari pembunuhan dan melarikan diri ke daerah terpencil. Dengan keberhasilan itu, maka Pangeran Nata kemudian diangkat menjadi Sultan Banjar dengan nama Sultan Sulaiman Saidullah atau Tahmidillah II.
Setelah sekian lama memimpin, tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi Raja di Kesultanan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dengan bantuan tentara dari Bugis, pada tahun 1787 M Pangeran Amir memimpin perlawanan besar-besaran melawan Sultan Tahmidillah II. Melihat besarnya kekuatan yang mampu dikomando Pangeran Amir, maka tidak ada jalan lain bagi sang penguasa Banjar kecuali meminta bantuan Belanda untuk memadamkan api perlawanan itu.
Dengan kecanggihan persenjataan dan banyaknya serdadu yang digerakkan, maka akhirnya perlawanan mampu dihentikan dan akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda selanjutnya diasingkan ke Ceylon (Srilanka). Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir, tentu tidaklah diperoleh dengan cuma-cuma. Kemenangan yang melibatkan Belanda tersebut kemudian harus harus dibayar mahal pihak Kesultanan Banjar kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin. Di sisi lain dari segi politik kerajaan, Belanda juga semakin memiliki pengaruh bahkan bisa mengatur kebijakan-kebijakan strategis bagi Kesultanan Banjar.
Beberapa tahun kemudian setelah wafatnya Sultan Tahmidillah II, peran Raja di Kesultanan Banjar digantikan oleh Sultan Sulaiman (yang memerintah hanya dua tahun yaitu 1824-1825, kemudian digantikan lagi oleh oleh Sultan Adam hingga tahun 1857 M. Pada masa ini, wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda.
Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayatullah saudara seayahnya untuk menjadi raja. Hal ini dikarenakan menurut aturan adat, Pangeran Hidayatullah adalah putra langsung dari Sultan Adam.
Selain itu, rakyat merasa Pangeran Hidayatatullah lebih pantas dipilih karena menunjukkan perangai yang lebih Islami dan tidak berpihak kepada Belanda. Namun, kemauan rakyat Banjar terpaksa kembali pupus lantaran pihak Belanda kembali melakukan campur tangan dan menetapkan Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan dan mengangkat Pangeran Hidayatullah menjadi Mangkubumi.
Jihad Melawan Belanda
Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap Kesultanan Banjar dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini muncullah sosok baru di kalangan masyarakat Banjar yaitu Pangeran Antasari. Beliau adalah cucu dari Pangeran Amir yang dahulu telah diasingkan Belanda ke Srilanka (Ceylon).
Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayatullah yang menjabat sebagai Mangkubumi. Pada pertengahan April, dua pekan sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari mengajak Pangeran Hidayatullah untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dua pekan kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut Benteng Pengaron sekaligus lokasi tambang Nassau Oranje milik Belanda, benteng diserbu bersama Panglima Perangnya Demang Lehman. Pertempuran di benteng Pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Pertempuran mempertahankan Benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859, pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.
Sementara itu, dari sisi internal Kesultanan Banjar, Pangeran Hidayatullah makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayatullah menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya, penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut dalam perang membebaskan negeri, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayatullah, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda.
Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayatullah tertangkap pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Pada Tahun ini pula, Pemerintah Belanda memerintahkan Pangeran Antasari untuk menyerah. Tentu saja permintaan itu ditolak mentah-mentah.
Dalam suratnya kepada Kapten Belanda, Pangeran Antasari menjawab: “..dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)”
Mengetahui tanggapan tegas dan lugas Pangeran Antasari, Belanda menjadikankannya buronan utama dengan hadiah 10,000 gulden bagi siapa saja yang mampu menangkapnya.
‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’
Setelah Pangeran Hidayatullah diasingkan, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh Pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris Kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat. Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman.
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara adzan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) telah wafat, namun perlawanan jihad terus berlanjut, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa.
Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua. Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati.
Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari), Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.
Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905. Perang Banjar berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan Perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Abdul Qadir Djaelani. 1999. Perang Sabil Versus Perang Salib Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda. Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah
Sahriyansyah. 2016. Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Yogyakarta: Aswaja Pressindo