IslamToday ID — Sejarah keberjalanan Islamisasi di wilayah Kalimantan tak dapat terlepas dari pengaruh berdirinya Kesultanan Banjar pada abad ke-17 M. Berdirinya kerajaan Islam ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak Bintoro selaku kekuatan besar yang telah membantu secara politik dan militer untuk Pangeran Samudra sehingga dapat memenangkan persaingan kekuasaan di kawasan tersebut.
Dengan keberhasilannya itu, maka dengan sukarela Pangeran Samudra memeluk Islam dengan sebutan baru Sultan Suriansyah dan kemudian diikuti seluruh keluarga dan pejabat-pejabat yang berpengaruh.
Meskipun, Kesultanan Banjar telah berdiri sejak abad ke-16 M dan Islam dijadikan sebagai agama negara, bukan berarti sejak saat itu Islam langsung berkembang pesat dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakatnya. Komunitas muslim ternyata hanya kelompok minoritas, dan masih terbatas dipeluk oleh etnik suku Melayu. Sementara itu, dari kalangan etnik suku Dayak masih berjalan sangat lamban dalam jumlah yang sangat minim.
Dari kalangan suku Melayu pun, Islam dipeluk dalam batas pengucapan syahadah, dan belum ditindaklanjuti dengan pengamalan ajaran agamanya. Di bawah kepemimpinan beberapa Sultan di kerajaan Banjar, perkembangan Islam masih belum mampu menyentuh berbagai lapisan etnik yang ada, meskipun untuk surat-menyurat sarana komunikasi dengan beberapa kerajaan yang tersebar di wilayah nusantara, para sultan Banjar sudah menggunakan tulisan Arab sebagai simbol Islam dan menunjukkan Islam sebagai agama resmi negara.
Akselerasi perkembangan Islam benar-benar dinilai mampu menyentuh lapisan masyarakat adalah saat muncul seorang tokoh ulama besar yang bernama Muhammad Arsyad Al Banjari. Dengan keilmuan agama yang dalam, keuletan dalam berdakwah serta peran pentingnya dalam membentuk beberapa keagamaan baru, maka Kesultanan Banjar telah secara utuh bisa dikatakan menerapkan sistem pemerintahan Islam.
Sosok Syaikh Muhamad Arsyad Al Banjari
Dari berbagai literatur yang ada, naiknya sosok Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam lingkungan utama di Kesultanan banjar, dimulai pada saat pemerintahan Sultan Tahlilullah. Beliau diketahui berkuasa atas Kesultanan Banjar pada periode tahun 1700 – 1745 M.
Sebagai seorang raja, Sultan Tahlilullah sangat memperhatikan perekembangan dakwah islam di wilayahnya. Dari perhatiannya ini, beliau cukup sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah, sembari mengamati bibit-bibit terbaik yang memiliki peluang untuk menjadi seorang tokoh agama.
Mengenai latar belakang kehidupan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, mengutip dari buku Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar tulisan Sahriyansyah, diungkapkan bahwa Muhammad Arsyad Al-Banjari dilahirkan di Lok Gabang wilayah Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar pada tanggal 15 Safar 1122 H/19 Maret 1710 M. Ia meninggal dunia dalam usia yang cukup panjang untuk ukuran orang Indonesia yaitu 105 tahun, bertepatan 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812 M. Ia kemudian dimakamkan di Kalampayan.
Ayahanda Muhammad Arsyad bernama Abdullah dan ibundanya bernama Aminah. Dari hasil perkawinan orang tuanya lahir lima orang anak, tiga orang laki-laki dan dan dua orang perempuan. Mereka itu adalah Muhammad Arsyad Al-Banjari; Zainuddin, Abidin; Diang Panangah dan Nurmin.
Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa kelahirannya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan bermain dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya.
Selain kemampuan kognisi, Muhammad Arsyad kecil juga dikenal akan kebaikan akhlak budi pekertinya. Diantara kepandaiannya adalah sejak kecil Muhammad Arsayad sudah pandai dan fasih membaca Al Quran dan mampu mengkhatamkannya pada usia 7 tahun. Di sisi lain ia juga sangat mahir dalam seni kaligrafi. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau.
Pada saat, Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang masih berumur 7 tahun. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut boleh diambil anak angakat dan tinggal di Istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan. Awalnya, kedua orang tuanya masih ragu dan menolak, namun setelah diberi penjelasan dan keyakinan bahwa anaknya kelak dengan mendapatkan pendidikan yang terbaik akan mampu menjadi sosok besar, maka akhirnya permintaan Sultan pun dikabulkan.
Perjalanan Ilmu ke Timur Tengah
Bertahun-tahun tinggal di lingkungan istana membuat Muhammad Arsyad tumbuh menjadi sosok pria yang cerdas, mandiri dan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Akhirnya, pada usia ke-30 atas sponsor dari kesultanan beliau melanjutkan studinya ke Timur Tengah. Sebelum berangkat, terlebih dahulu Muhammad Arsyad dikawinkan dengan seorang perempuan bangsawan Banjar bernama Tuan Bajut.
Pendidikan Muhammad Arsyad Al-Banjari di Mekkah berlangsung lama sekitar 30 tahun, kemudian dilanjutkan lagi pendidikannya selama 5 tahun di Madinah, dengan mendalami berbagai disiplin ilmu. Tak hanya sendiri Muhammad Arsyad selama menempuh pendidikan di Timur-Tengah juga diketahui memiliki sahabat karib yang sama-sama berasal dari Nusantara yaitu Abdul Samad Al- Palimbani; Abdul Wahab Al-Bugisi dan Abdurrahman Al-Misry. Adapun, mereka pernah belajar ke beberapa ulama ternama, diantaranya Syekh Attaillah bin Ahmad; tokoh tarekat Syammaniyah Syekh Abdul Karim Al-Syammany; Daman Huri dan Sulaiman Al-Kudri.
Setelah mendalami ilmu di dua tanah haram (Mekah dan Madinah), Al-Banjari bersama tiga orang temannya bermaksud menimba ilmu kembali di Mesir sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan saat itu. Namun cita-cita mereka menuntut ilmu di Mesir tidak terlaksana, karena di Madinah mereka bertemu dengan Ulama terkenal Mesir Syekh Muhammad Ibn Sulaiman Al-Kurdi menasehati agar mereka kembali saja ke kampung halaman di Nusantara untuk membina umat dan pengembangan Islam.
Syekh Al-Kurdi menganggap mereka berempat sudah memiliki ilmu yang mendalam, sehingga tidak perlu lagi belajar di Mesir. Atas saran dari Syekh tersebut mereka pikirkan dan membuat pertimbangan yang sematang-matangnya. Akhirnya dibuatlah keputusan bahwa mereka bersepakat untuk pulang ke kampung halaman di Nusantara untuk mendarmabaktikan ilmunya di masyarakat. Kecuali Abdul Samad Al-Palimbani, ia lebih tertarik untuk bermukim di Mekah disamping sebagai penulis produktif ia juga menjadi Imam Besar di Mekah.
Pada tahun 1186 H/1773 M, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sampai di kampung halamannya di kesultanan Banjar Kalimantan. Masyarakat dengan antusias menyambut kedatangan Al-Banjari. Tidak lama setalah ia bermukim di wilayah itu ia bermohon kepada sultan agar memberi sebidang tanah kosong, untuk didirikan pemukiman desa baru dan lembaga pendidikan sebagai pusat penyebaran Islam.
Sekarang desa tersebut dikenal dengan Desa Dalam Pagar. Di tempat itulah Syekh Muhammad Arsyad mulai mengerahkan masyarakat untuk penggalian saluran air, irigasi, mengolah lahan pertanian, membangun gedung pusat penggemblengan Islam dan pembukaan pemukiman baru. Lokasi pembangunan lembaga ini berada jauh di luar pusat pemerintahan sultan dan di luar kota, sistem ini memiliki kemiripan dengan lembaga-lembaga pendidikan pesantren yang didirikan di wilayah Jawa.
Adapun pengajian awal yang diberikan di lembaga tersebut adalah belajar Al-Quran, baca tulis Arab Melayu, dilanjutkan dengan belajar bahasa arab, Nahwu dan Saraf agar kitab-kitab sumber primer yang dipelajari di pesantren bisa dibaca oleh para kader ulama. Kader ulama yang dibimbing oleh Muhammad Arsyad selalu dinasehati agar memiliki pengabdian yang tulus di tengah kehidupan masyarakat, memiliki ilmu yang luas, beramal soleh, beriman dan ketaqwaan harus selalu di pupuk dalam hati.
Pelopor Lembaga Mufti dan Qadhi
Dengan keberhasilan Syekh Muhammad Arsyad menjadikan kawasan Dalam Pagar begitu populer seantero wilayah, membuat Sultan semakin menaruh penghormatan kepada beliau. Akhirnya dengan berbagai keilmuan yang dimiliki, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari juga banyak memberikan masukan dan saran untuk perkembangan tata kelola pemerintahan Kesultanan Banjar. Diantara prakarsa beliau adalah berdirinya lembaga Mufti.
Tujuan dibentuk lembaga ini adalah untuk menetapkan fatwa dari setiap persoalan yang timbul, menggiring dan mengayomi umat Islam agar mampu memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara sempurna termasuk dalam penerapan hukum Islam. Lembaga ini juga mampu menjembatani persoalan-persoalan yang dihadapi umat tentang agama dengan sultan sebagai Penguasa, dan persoalan kekluasaan yag berkaitan dengan masyarakat, sehingga ketika sultan mendapat kesulitan tentang masalah agama ia bisa meminta fatwa atau nasehat kepada Mufti.
Selain Musfti ada pula jabatan baru bernama Qadi. Kalau jabatan mufti fokus utamanya adalah memberi Fatwa-fatwa penting berkaitan dengan masalah agama dan sebagai penasehat sultan tentang agama, sementara jabatan Qadi berperan untuk mengurusi dan memutuskan hukum perkara yang dihadapi masyarakat baik yang berkaitan dengan hukum keluarga, perkawinan atau waris. Dengan kepastian hukum yang diperkuat oleh kerajaan itu tentu saja pertikaian- pertikaian dalam masyarakat mampu diselesaikan secara teratur dengan kepastian hukum yang sudah dibuat. Jabatan Mufti sebagai kontrol juga bisa berjalan baik di saat kerjasama dari Sultan berjalan baik.
Keberadaan dua jabatan baru hasil buah pikir dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari tersebut, membuat Sultan sangat terkesan. Namun Sultan masih belum puas karena menurutnya pemahaman akan hukum islam tak boleh hanya dipahami oleh lingkungan kerajaan saja. Akhirnya Sultan kembali meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari untuk menulis pedoman hukum islam yang bisa dibaca oleh setiap lapisan masyarakat. Permintaan itupun diterima dengan senang hati. Beliau kemudian berhasil menulis kitab fiqih dalam bahasa Melayu berjudul Sabilal Muhtadin.
Buku ini terdiri dari dua jilid tebal yang membahas masalah thaharah, shalat, puasa, zakat dan masalah makanan halal dan haram. Setelah diterima Sultan, Kemudian buku itu diperbanyak dan disebarkan di pelosok kampung, sehingga masyarakat mampu membaca dan memahami sebagai buku fiqih rujukan mereka dalam beribadah. Hal ini bukan hanya tersebar di kerajaan Banjar tetapi masuk juga ke berbagai wilayah kerajaan-kerajaan lain termasuk ke Semenanjung Malaya.
Demikian tadi sedikit gambaran tentang ulama besar asal Kesultanan Banjar. Kebermanfaatan ilmunya seolah memeberi energi besar yang terus mengalir hingga islam mampu dirasakan oleh mayoritas masyarakat.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza