IslamToday ID — Islamisasi di Tanah Jawa, tak lepas dari jasa para juru dakwah yang datang dari negeri-negeri Islam yang diperkirakan telah datang sejak abad 8 Masehi.
Akan tetapi, akselerasi terbesar masuknya orang-orang Jawa ke dalam agama Islam baru benar-benar terjadi pada kurun waktu seperempat akhir abad ke 15 M hingga paruh kedua abad ke 16 M.
Kurun waktu ini disebut dengan masa dakwah Walisongo, dimana para juru dakwah ini telah mampu menempatkan Islam tak hanya menjadi keyakinan mayoritas masyarakat Jawa, namun lebih dari pada itu Islam telah menjadi ruh dari setiap lini kehidupan dari pemerintahan, hukum, hingga adat istiadat.
Oleh karena kesuksesan dakwah yang begitu besar tersebut, bagi masyarakat Jawa para juru dakwah ini telah ditempatkan sebagai sosok yang begitu istimewa dan agung, bahkan mereka mendapatkan sebutan Sunan yang setingkat dengan seorang penguasa tertinggi atau seorang raja.
Dalam dakwahnya Para Wali yang jumlah sebenarnya lebih dari sembilan orang, atau bahkan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan, selalu menggunakan model pendekatan yang terstruktur dan transformatif. Dalam berdakwah, para wali setidaknya memberlakukan dua prinsip dakwah, yaitu fiqihul ahkam dimana prinsip dan ajaran Islam benar-benar diterapkan secara ketat dan mendalam.
Geneaologi Wali
Untuk mengenal para wali dengan baik maka perlu menelusuri perjalanan mereka secara mendalam. Tidak sekedar mengenal nama, dan di mana mereka berdakwah. Selain memahami silsilah keluarga mereka kita pun harus mengenal para guru mereka beserta tokoh-tokoh lain yang hidup sezaman dengan mereka.
Paparan Isa Anshory (9/5/2020) dimulai dari sosok yang bernama Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 822 H/ 1419 M dan ditutup dengan kisah Sunan Muria atau Raden Umar Said.
“Kalau kita melacak nasab, melacak para wali terutama sembilan orang yang masyhur dianggap sebagai walisongo kita akan mendapati bahwa mereka ini adalah orang Arab atau orang keturunan berdarah Arab. Meskipun beberapa diantara mereka ada yang dilahirkan di tanah Jawa atau lahir bukan di tanah Arab,” kata Dr. Muh Isa Anshory.
Pemaparan Geneologi Walisongo yang disampaikan oleh Dr. Isa dengan berdasarkan buku karya Kyai Abdullah bin Nuh yang berjudul Ringkasan Sejarah Walisongo. Berdasarkan isi buku tersebut dijelaskan bahwa para wali masih keturunan Rasulullah, kecuali Sunan Kalijaga dan putranya Sunan Muria.
“Kedua nama terakhir (Sunan Kalijaga dan Sunan Muria) adalah keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Dengan demikian semua walisongo ini adalah termasuk keturunan dari Bani Hasyim, khususnya dari Abdul Muthalib. Nah jika ditarik ke atas, maka akan mendapatkan pertemuan nasab di kalangan mereka,” jelas Muh. Isa Anshory.
“Kalau kita tarik ke atas nasab para wali kecuali Sunan Kalijaga dan Sunan Muria, kita akan mendapati bahwa nasab mereka sampai pada satu nama yang disebut Ahmad Isa, sering disebut Ahmad Isa Al Muhajir,” kata Sejarawan Muslim, Dr. Muhammad Isa Anshary.
Lalu, siapa sosok Ahmad Isa Al Muhajir itu. Pengaruh apa yang akhirnya ia tinggalkan bagi perkembangan Islam di Indonesia. Serta alasan apa yang membuat dia dan anak keturunannya menyebarkan Islam di Indonesia.
Ahmad Isa al Muhajir memiliki nama lengkap Ahmad bin Isa ar Rumi bin Muhammad an Naqib bin Ali al Uraidi bin Ja’far as Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali-bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Ia lahir pada tahun 241H/620M.
Kisah penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Ahmad Isa al Muhajir ini bermula dari adanya gerakan fitnah syi’ah di Bashrah, Irak. Gerakan fitnah syi’ah terjadi di masa kekuasaan Abbasiyah. Yakni gerakan yang berlebih-lebihan dalam memberikan dukungannya kepada Ali bin Abi Thalib.
“Ia meninggalkan Irak pada zaman khalifah Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad pada tahun 317H atau 896M,” tutur Isa Anshory.
Setelah pergi meninggalkan Baghdad, ia bersama keluarganya terlebih dahulu singgah di Madinah. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan ke Kota Mekah, setelah dari Mekah ia melanjutkan perjalanan hijrahnya ke Yaman sekitar tahun 319 H. Sesampainya di sana ia harus memulai kehidupannya dari nol lagi, sebab kota ini sangat berbeda dari kota Bashrah yang maju dan merupakan kota pusat ilmu serta perdagangan.
Menurut Isa Anshory, kaum Alawiyin ialah kaum yang sangat menjaga agamanya dan agama keturunannya. Sehingga ketika mereka merasa kehidupan beragama mereka mulai terancam mereka memilih untuk hijrah meninggalkan kampung halamannya.
“Kaum Alawiyyin memang dikenal sangat ketat menjaga tradisi keberagamaanya. Maka apapun rintangannya akan dihadapi demi menyelamatkan agama anak keturunan, mereka adalah kaum yang pemberani dalam menghadapi tantangan, tetapi lembut dan low profile (rendah hati) terhadap sesama saudara seagama,” ujar Dr Isa.
Mazhab Syafi’i dan Kaum Alawiyyin
Semasa hidupnya Ahmad bin Isa mendidik anak keturunannya dengan mengikuti Ahlussunnah Wal Jama’ah dan dalam bidang fikih ia mengikuti mazhab Imam Syafi’i. Ia wafat pada tahun 345 H bertepatan dengan 924 M di sebuah kota bernama Husayyisah, sebuah kota antara Tarim dan Seiyun, Hadramaut di negeri Yaman.
Selanjutnya anak keturunan dari Ahmad bin Isa menyebar ke berbagai penjuru termasuk ke kawasan Asia Tenggara atau Kepulauan Melayu, terutama di negeri Nusangtara kini. Di Nusantara mereka pun berdakwah dengan mengajarkan mazhab Imam Syafi’i.
Oleh karena itu, tak heran jika mazhab Syafi’i ini kemudian menjadi mazhab yang paling banyak dianut oleh umat Islam Indonesia. Sebab para walisongo masih merupakan keturunan dari Ahmad bin Isa merupakan salah satu pihak yang memiliki jasa besar dalam membawa mazhab Syafi’i Ke Indonesia.
“Mereka (keturunan Ahmad bin Isa) yang punya jasa besar dalam membawa mazhab Syafi’i, memperkenalkan dan mengajarkan mazhab Syafii di nusantara termasuk juga memperkenalkan dan mengajarkan kitab-kitab fikih yang dikarang oleh ulama Syafi’iyah adalah para Alawiyin atau para habaib,” terang Isa Anshory.
Para kaum Alawiyin terbiasa mengkaji kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama mazhab Syafi’i. Dan mereka pulalah yang memperkenalkan ulama-ulama tersebut, diantara ulama terkemuka itu ialah Imam Al Ghazali.
Di antara kitab-kitab karya Imam Al Ghazali yang diperkenalkan ke umat Islam di Indonesia ialah kitab Ihya Ulumuddin untuk bidang tasawuf atau tazkiyatun nafs, sementara kitab al Wajiz, al Wasith, al Basith, dan kitab al Khulashah untuk kitab fikihnya.
Namun di Indonesia tidak hanya berkembang mazhab Syafi’i di masa Walisongo juga berkembang pula mazhab Hanafi. Mazhab yang juga sempat dianut oleh Sunan Giri, yang ketika itu sempat belajar di Malaka.
Selain itu mazhab Hanafi dibawa ke Indonesia oleh para ulama yang berasal dari Persia, China, Asia Tengah yakni daerah yang banyak penduduknya mengikuti mazhab Hanafi.
“Hanya dalam perjalanan berikutnya mazhab Syafi’i ini lebih berkembang dibandingkan dengan mazhab Hanafi. Sehingga akhirnya Sunan Giri yang pada awalnya mengikuti mazhab Hanafi, beliau kemudian mengikuti mazhab Syafi’i,” terang Isa Anshory.
Sementara itu perjalanan kaum Alawiyin datang ke Indonesia diketahui dalam beberapa gelombang. Dr. Isa menyebutkan ada dua gelombang.
Gelombang pertama mereka datang pada akhir abad pertama hijriyah atau awal abad kedua hijriyah. Yang saat itu bertujuan untuk melarikan diri dari penindasan bani Umayyah, saat itu mereka melarikan diri ke Asia Timur dan Asia Tenggara.
Sementara itu, Gelombang kedua terjadi di abad ke-7 Hijriyah atau abad ke-13 Masehi. Terutama setelah runtuhnya Baghdad akibat mendapat serangan dari orang-orang Mongol.
Penulis: Tori Nuariza, Kukuh Subekti