ISLAMTODAY ID — Pada 18 November 1948 Hatta bersama rombongan pejabat sipil dan militer pusat sempat mengunjungi Sumatra. Kolonel Hidayat (Panglima Teritorium Tentara Sumatra) pada masa PDRI dalam PDRI dalam Khazanah Kearsipan menguraikan maksud Hatta ke Sumatra. Hatta bermaksud menyelesaikan persoalan yang terjadi antara sesama pasukan militer Sumatra sekaligus mempersiapkan kekuatan militer menghadapi Belanda.
“Saya dibawa oleh Bung Hatta untuk membantu Pak Soehardjo (mantan Panglima Militer Sumatra) guna menyelesaikan masalah Bejo dan sekaligus mempersiapkan Sumatra sehubungan dengan laporan intel kita bahwa Belanda sudah siap untuk menyerang……….., jelas Kolonel Hidayat.
Kegentingan menjelang terjadinya serangan militer Belanda ke Ibukota Yogyakarta dan berdirinya PDRI meningkat dimulai ketika Hatta yang sedang berada di Sumatra tiba-tiba harus kembali ke Yogyakarta. Hatta dipanggil kembali ke Jawa guna menghadiri perundingan lanjutan pasca Perundingan Renville di Kaliurang. Para pejabat sipil dan militer yang menemani Hatta menunggu kedatangannya kembali di Sumatra.
Tidak sampai menyambut kembalinya Hatta di Sumatra, para pejabat tersebut mendapati kabar bahwa Yogyakarta telah dikuasai Belanda. Kesaksian Syafruddin Prawiranegara dalam wawancaranya dengan Arsip Nasional Republik Indonesia dalam buku terbitan berjudul PDRI dalam Khazanah Kearsipan menggambarkan keadaan pejabat sipil dan militer di Sumatra waktu itu.
Dalam wawancaranya, Syafruddin mengatakan “……..Kami ditinggal di Bukittinggi sambil menunggu beliau kembali atau dikembalikan lagi ke Jawa. Tapi tiba-tiba kami mendengar 19 Desember 1948 Yogyakarta sudah diserbu Belanda”.
Perundingan lanjutan Renville yang diikuti Hatta di Kaliurang tidak mencapai hasil yang diharapkan. Belanda secara sepihak menghentikan rencana-rencana perundingan selanjutnya. Sikap Belanda menanggapi upaya diplomasi politik tidak lagi kooperatif. Maka gejala-gejala inilah yang dibaca oleh Hatta beserta anggota pemerintahan lainnya bahwa Belanda kembali merencanakan suatu aksi politik melalui kekuatan militernya terhadap Indonesia.
Jelang Agresi Militer Belanda
Sikap Belanda menjelang terjadinya Agresi Militer yang tidak kooperatif ini disebut oleh Mestika Zeid dalam bukunya Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan sebagai suatu skema prakondisi yang sengaja diatur dan disiapkan oleh Belanda. Prakondisi tersebut secara kronologis diuraikan lebih lanjut oleh Mestika Zeid dalam bukunya tersebut.
Tanggal 11 Desember proses perundingan antara Indonesia-Belanda terhenti sama sekali. Hal ini terjadi setelah perwakilan Belanda mengirimkan surat kepada Komisi Tiga Negara (KTN) bahwa perundingan dibawah pimpinan KTN hanya mengarah pada pembicaraan yang tidak ada tujuannya.
Hatta yang tetap berusaha membuka jalan perundingan dengan Belanda, pada 15 Desember meminta Merle Cochran (anggota KTN dari Amerika) untuk terbang ke Jakarta meyakinkan pihak Belanda atas maksudnya. Namun maksud Hatta tidak diterima sesuai harapan. Belanda membalas maksud Hatta dengan sebuah surat yang menolak perundingan dan meminta Indonesia menerima usul-usul Belanda salah satunya soal gencatan senjata. Dalam suratnya tersebut Belanda melancarkan ultimatum agar Indonesia segera membalas suratnya sebelum pukul 10 pagi tanggal 18 Desember.
Surat balasan yang sempat dibuat Hatta tanggal 17 Desember seketika tidak berlaku dan tidak diakui oleh Belanda. Sehari setelahnya, Belanda mengeluarkan kembali surat untuk Indonesia. Belanda akan memulai aksinya tepat pada tengah dini hari itu. Maka, memang hasrat Belanda untuk menguasai kembali Indonesia memuncak dengan satu rencana prakondisi yang telah disiapkannya. Belanda menganggap perundingan lanjutan merupakan pembicaraan tanpa tujuan dan secara sepihak tidak lagi mengakui perundingan Renville.
Sejak awal Belanda memang merencanakan penyerangannya kembali ke Indonesia. Namun untuk mengalihkan maksud tersebut, Belanda mengatur rencana agar Indonesia berada dalam posisi terdesak. Maka tidak mengakuinya Belanda terhadap perundingan-perundingan lanjutan merupakan awal dari prakondisi yang direncanakan.
Kemudian tak lama Belanda membalas pesan Hatta dengan ultimatum batas waktu balasan. Dalam kondisi mendesak itu pula, surat yang dibalas oleh Hatta tanggal 17 Desember tidak dianggap oleh Belanda. Sehari setelahnya, tanggal 18 Desember, Belanda menyampaikan maksudnya melalui surat yang akan melakukan penyerangan tanggal 19 Desember mulai tengah dini hari.
Penulis : Muh Faizurrahman