ISLAMTODAY ID — Setelah para pejabat pemerintahan di Sumatra telah sama-sama menyepakati usulan Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk PDRI (Pemerintaha Darurat Republik Indonesia), maka pembicaraan selanjutnya adalah mencari tempat aman untuk menghindari serangan militer Belanda.
Tempat tesebut dimaksudkan akan menjadi letak pemerintahan. Keterangan Syafruddin dalam PDRI dalam Khazanah Kearsipan menjelaskan bahwa keputusan diambil untuk memilih tempat di daerah Selatan.
“Pada saat saat pertama itu yang paling penting adalah mencari lokasi yang paling tenteram……… maka kami mencari-cari dimana kira-kira Pemerintah Darurat itu akan ditempatkan. Akhirnya kami memutuskan untuk memusatkan ibukota (pemerintahan) di (wilayah) selatan”.
Sementara itu, Mestika Zeid dalam buku Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan menunjuk wilayah Selatan yang dimaksud adalah Bidar Alam.
Rute Perjalanan Pemerintahan “Mobile”
Sebelum sampai ke Bidar Alam, beberapa tempat akan disinggahi oleh para pejabat pemerintahan darurat beserta rakyat Bukittinggi lainnya. Tempat terdekat yang dituju sejak berangkat dari Bukittinggi adalah Halaban. Perjalanan menuju Halaban dimulai pada 21 Desember malam, setelah para pejabat baik sipil dan militer selesai mengadakan pertemuan-pertemuan lanjutan.
Dari Bukittinggi ke selatan menuju ke Halaban, dari halaban ke wilayah utara melalui Payakumbuh kemudian ke Bangkinang, terus berlanjut hingga ke Taratak Butuh, kemudian berpindah menuju ke selatan lagi ke Taluk, hingga ke Sungai Dareh, sampai kemudian tiba di Bidar Alam melalui hulu Sungai Batang Hari. Kemudian menjelang penyerahan pemerintahan, kabinet PDRI sempat kembali ke wilayah Halaban, hingga terakhir berada di Kototinggi.
Kalangan militer merupakan rombongan yang paling akhir meninggalkan Bukittinggi. Hal ini karena mereka yang bertanggung jawab untuk membumi hanguskan tempat-tempat penting di Bukittinggi. Mestika Zeid dalam bukunya Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia cukup detail menguraikan secara kronologis proses pembumi hangusan tempat-tempat penting tersebut.
Mula-mula sirene dinyalakan sebagai aba-aba tanda bumi hangus akan dimulai. Tempat-tempat yang menjadi sasaran adalah Hotel Merdeka yang merupakan juga Kantor Keresidenan di Simpang Kangkung, Asrama Mobile Brigade (Mobrig) di Simpang Tembok, gedung-gedung pemerintahan, Rumah Inyiak Damang di Mandiangin, Kantor DPH Keresidenan, Markas Tentara, Gedung Pos Telepon Telegraf serta Gedung Radio. Sasaran terakhir mereka adalah Gedung Tamu Agung Tri Arga (Istana Wakil Presiden RI). Setelah itu pasukan militer langsung meninggalkan Bukittinggi yang telah menjadi lautan api.
Beberapa keputusan juga lahir melalui pertemuan-pertemuan pada 21 Desember. Secara umum, pertemuan-pertemuan tersebut merumuskan perubahan-perubahan koordinasi dalam lembaga pemerintahan sipil dan militer. Rumusan-rumusan tersebut merupakan strategi guna menghadapi kekuatan Belanda yang sewaktu-waktu dapat melancarkan serangannya.
21 Desember 1948 merupakan momen dimulainya rute perjalanan PDRI berpindah-pindah tempat mencari tempat aman dari serangan Belanda. Bergeraknya PDRI menyusuri berbagai daerah sekaligus menjadi simbol PDRI disebut-sebut sebagai pemerintahan mobile, pemerintahan yang berpindah-pindah. Pada tanggal yang sama itu juga Bukittinggi harus dibumi hanguskan dan ditinggalkan para penduduk, sehingga serangan Belanda ke Bukittinggi menjadi sia-sia.
Penulis: Muh Faizurrahman