ISLAMTODAY ID — Sarekat Islam (SI) adalah organisasi yang besar pada tahun 1912. Hal ini terbukti dengan adanya kepemilikan media di berbagai kota di Jawa. Bahkan, banyak perusahaan-perusahaan surat kabar milik orang Tionghoa yang kemudian dibeli oleh para aktivis-aktivis SI.
Sejarawan muda, lulusan pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Adhtyawan Suharto mengemukakan adanya pergantian tren kepemilikan surat kabar dari kalangan Tionhoa ke kalangan pribumi. SI pada awal-awal berdirinya melakukan gerakan membeli surat kabar secara masif.
“Trennya sebelum 1912 itu kan memang koran-koran dimiliki Tionghoa,” kata Adhyt kepada IslamToday saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Selasa (9/2/2021).
“Cuman ketika SI ini muncul terjadi gerakan membeli surat kabar. Jadi SI ini kan ngumpulin uang. Anggota-anggota mereka tarik iuran nah uang itu untuk membeli kantor surat kabar China udah nggak kuat secara keuangan,” tutur Adhyt.
Adhyt menjelaskan bahwa tren pembelian surat kabar tersebut berlangsung di tahun 1912 hingga 1913. Beberapa surat kabar di beberapa kota besar di Jawa berhasil dibeli oleh para aktivis SI. Khusus Solo, SI sama sekali tidak membeli surat kabar, namun SI Solo sangat dekat dengan Budi Utomo Cabang Solo yang telah membeli surat kabar Darmo Kondo dari orang Tionghoa. Berbeda dengan yang terjadi di Jakarta, Goenawan seorang pendiri SI Batavia dia membeli surat kabar Pantjaran Warta.
“Seperti di Batavia itu Pantjaran Warta, bahkan Sinar Djawa juga punya Tionghoa dulu itu di Semarang itu bahkan dibeli juga sama SI Semarang,” ucap Adhyt.
“Jadi gerakan-gerakan kayak gini itu jadi masif kan jadi seolah pindah kepemilikan. Karena orang Tionghoa juga ini kan, gak semua koran Tionghoa itu gedhe ada juga yang kecil juga yang keuangannya kurang terus dibeli sama orang-orang SI,” jelasnya.
Masifnya pembelian koran oleh para aktivis SI menjadi kekhawatiran bagi pemerintah Belanda. Keberadaan koran pada waktu itu menjadi semacam alat, organ baru bagi SI untuk bisa menyebarkan propagandanya di berbagai kota di Jawa.
Terbatasnya oplah menjadi salah satu faktor pendorong mengapa SI di banyak kota di luar Solo melakukan hal yang sama yakni mendirikan perusahaan koran.
“Jadi (seperti) tren gitu membeli organ, membeli organ-organ baru yang itu jadi propaganda baru buat SI. Karena Sarotomo nih kan oplahnya cuman di Solo, Klaten, Yogya kan Jawa Tengah aja,” tutur Adhyt.
“Dan memang terbitnya nggak banyak nggak tiap hari, tapi kan isi-isi mereka tentang bagaimana Islam berkembang ini kan mempengaruhi kaum priyayi di daerah itu (pemikirannya) akan terbentuk,” terangnya.
Adhyt menambahkan keberadaan koran, surat kabar pada masa itu memiliki peran sentral untuk mempengaruhi kalangan priyayi, dan para aktivis.
Yang perlu digarisbawahi adalah pada masa itu masih terjadi buta huruf, sehingga sasaran koran atau surat kabar tentu hanya kalangan kaya dan terdidik. Mau tidak mau tulisan-tulisan yang ada di koran berpengaruh pada pemikiran mereka.
“Dulu itu kalau sekali ada yang mencetus, pikiran mereka itu jadi bergejolak, jadi gelisah jadinya mereka ada kemauan (untuk bergerak),” jelas Adhyt.
Adhyt mengatakan bahwa tren SI inilah yang kemudian membuat resah pemerintah Belanda. Salah satunya koran Doenia Bergerak (Solo), sebuah koran yang diredakturi oleh Marco Kartodikromo. Koran ini merupakan koran paling radikal di zamannya sebab sangat berani dalam mengkritik pemerintah Belanda.
“Makanya pemerintah itu khawatir dengan media organ. Salah satu contohnya itu Doenia Bergerak yang terbit di Purwosari (Solo). Karena konten yang lebih radikal mereka, pemerintah punya alasan untuk melarang,” ujar Adhyt.
Adhyt juga menjelaskan pula bahwa tidak semua media koran yang dimiliki oleh SI adalah hasil ambil alih kepemilikan. Tidak sedikit yang juga mereka rintis dari nol, salah satunya di Surabaya. Koran Oetoesan Hindia di Surabaya, dirintis oleh para aktivis SI di Surabaya dengan bantuan donatur.
“Ada yang dari nol sebenarnya. Kalau dari nol itu kasusnya SI Surabaya itu Oetoesan Hindia yang punya Tjokro (Aminoto), tapi itu kan ada donator,” papar Adhyt.
Ia mengatakan bahwa koran-koran SI yang dirintis sejak awal oleh SI rata-rata mempunyai donatur. Bahkan donatur mereka pun adalah donatur yang kaya dan berpengaruh di kalangan masyarakat. Sehingga media koran tersebut bisa berjaya dan diterima.
“Kalau di Surabaya itu ada namanya Hasan Ali Surati, orang yang memback up Tjokro Aminoto. Hasan Ali Surati itu punya perusahaan namanya Setia Usaha, nah dari perusahaan itu bikin koran namanya Oetoesan Hindia” ungkap Adhyt.
SI tidak hanya melakukan pengambil alihan koran atau merintis koran. Mereka juga melakukan kerjasama dan saling melindungi koran lain yang memiliki semangat perjuangan yang sama. Hal ini terjadi di lingkungan SI Solo, selain membentuk koran dibawah SI langsung seperti Sarotomo, mereka juga melindungi Doenia Bergerak.
“Koran-koran di Solo ini selain Sarotomo itu dia saling menopang. Dulu itu independensi (mereka) saling memihak sesama mereka. Jadi Sarotomo itu koran di Solo lain ada Jawi Kondo, Jawi Sworo itu koran-koran sejenis itu saling (melindungi) satu sama lain,”
“Akhirnya (terlihat) ini circlenya SI (Solo) nih walaupun mereka sekuler, tapi mereka saling mendukung,” jelas Adhyt.
Reporter: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza