IslamToday ID — Media memiliki peran penting bagi pergerakan pribumi muslim di Nusantara pada tahun 1912-an. Berbagai koran-koran yang diterbitkan oleh para aktivis Sarekat Islam (SI) seperti Oetoesan Hindia (Surabaya), Pantjaran Warta (Jakarta), Kaoem Moeda (Bandung), Sinar Djawa dan Sarotomo (Solo) mewarnai tahun tersebut. Keberadaan koran memiliki arti penting bagi bangkitnya kesadaran intelektual umat Islam, khususnya dalam menyampaikan gagasan lewat tulisan.
Sebelum muncul koran-koran yang dikelola para aktivis SI, sebenarnya telah berdiri cukup banyak koran. Hanya saja saat itu belum ada koran yang memang dimiliki oleh organisasi Islam. Berkat munculnya SI di Solo dan masifnya pendirian koran oleh para aktivis SI menjadi wahana penting yang ditunggu-tunggu umat Islam untuk menyalurkan gagasan perjuangannya.
“Itu yang kemudian menjadi pembangkit dan memotivasi orang-orang Islam berani menulis,” kata sejarawan muda alumni Universitas Indonesia (UI) Adhytiawan Suharto kepada IslamToday (10/2/2021).
“Menurut saya itu pemicu awal orang berani mengungkapkan pemikirannya, wujud intelektualitasnya melalui tulisan” terangnya.
Ia pun menjelaskan situasi dan kondisi media saat itu. Menurutnya koran-koran yang ada belum mewakili kepentingan umat Islam. Seperti keberadaan koran ekonomi Neraca, lalu koran milik pemerintah. Belum lagi koran-koran milik orang non pribumi seperti Tionghoa dan Belanda.
“(Saat itu banyak) koran-koran sekuler yang memang tidak berafiliasi (dengan umat Islam),” tutur Adhyt.
“(Serta) masih dipegang oleh orang asing kayak Tionghoa, Belanda, akhirnya kan orang-orang kaum muslimin tidak menulis disana,” imbuhnya.
Adhyt pun memberikan klasifikasi tentang apa yang dimaksud dengan koran Islam. Ada beberapa kriteria untuk menyebut koran Islam. Mulai dari afiliasi terhadap organisasi Islam, keberpihakan pada kepentingan umat hingga memperjuangkan kepentingan umat Islam.
“Yang disebut koran Islam adalah pertama dia berafiliasi dengan organisasi Islam seperti misalnya SI atau Muhammadiyah,” ujar Adhyt.
“Atau dia memihak pada keumatan, meskipun secara konten tidak bisa disamaratakan, kalau disebut pertama kali ya Sarotomo, kemudian di Surabaya namanya Oetoesan Hindia,” jelas Adhyt.
Oetoesan Hindia Koran Besar dan Berpengaruh
Ia menambahkan berdasarkan klasifikasinya Oetoesan Hindia dibawah pimpinan Tjokro Aminoto menjadi yang paling besar. Baik dari segi permodalan maupun dari segi pengaruhnya. Bahkan dari segi informasi Oetoesan Hindia disebut-sebut yang paling lengkap dan update, terutama jika berkaitan dengan isu-isu internasional.
“Oetoesan Hindia ini agak merepresentasikan keumatan pada masa itu, secara penerbitan dia juga biayanya gedhe,” ujar Adhyt
“Dia (Oetoesan Hindia) menuliskan kejadian-kejadian yang ada di Timur Tengah misalnya di Arab, mereka update banget bahkan ulama pondok pesantren juga menulis di sana jadi kaya kolom-kolom opini mereka,” imbuhnya.
Adhyt menjelaskan juga tentang koran-koran SI lain seperti Sarotomo, Pantjaran Warta, Kaoem Moeda, dan Sinar Djawa. Koran sejenis yang juga menyuarakan hal yang sama dengan Oetoesan Hindia hanya saja cakupan oplahnya masih kalah besar. Oetoesan Hindia bisa dikatakan menjadi sarana penyalur aspirasi umat Islam termasuk dilibatkannya para ulama dari kalangan pesantren di Jawa Timur.
“Cuman kalau diperhatikan diantara mereka (Sarotomo, Pantjaran Warta, Kaoem Moeda, Sinar Djawa) yang paling gedhe itu Oetoesan Hindia, dia menjadi sebuah corong baru. (Artinya) secara pemikiran dan bagaimana diterima secara nasional memang Oetoesan Hindia itu,” ucapnya.
“Mereka (Oetoesan Hindia) meminta pendapat ulama (pesantren) di sana terus menuliskan kembali di Oetoesan Hindia jadi kayak ada appreciate, menghargai ulama sehingga ulama merasa terlibat” pungkasnya.
Reporter: Kukuh Subekti / Red: Tori Nuariza