ISLAMTODAY ID — Koran memiliki arti penting bagi sebuah organisasi atau lembaga, salah satunya sebagai media propaganda. Fungsi propaganda inilah yang disadari penuh oleh para aktivis Sarekat Islam (SI) ketika akan. Mereka secara masif bergotong-royong mendirikan surat kabar baik termasuk melakukan pembelian perusahaan surat kabar dari perusahaan Tionghoa.
Sejarawan muda, Adhytiawan Suharto mengemukakan bahwa untuk mendukung propaganda SI salah satunya dibutuhkan media massa berupa koran. Selain sebagai media propaganda koran-koran pendirian perusahaan pers juga menjadi pertanda bahwa di kota tersebut telah berdiri SI.
Perjuangan Kaum Pribumi
“Misi (nya) menyebarkan propaganda SI dan sebagai gerakan simbol bahwa SI telah hadir di daerah tersebut. Propaganda SI yakni menyerukan kepada pribumi untuk bersatu dalam wadah SI, tidak peduli profesi atau golongan asalkan beragama Islam,” pungkas Adhyt kepada IslamToday (11/2/2021).
Adhyt memberikan dua contoh koran yang memiliki pengaruh propaganda yang cukup kuat. Koran tersebut adalah Oetoesan Hindia (Surabaya) dan Pantjaran Warta (Batavia-Jakarta). Surat kabar Oetoesan Hindia menjadi koran propaganda yang besar dan berpengaruh. Kepopuleran sosok Tjokro Aminoto saat itu menjadi salah satu faktor pendukung besarnya pengaruh Oetoesan Hindia dalam skala nasional.
“Oetoesan Hindia ini kan memang atas nama CSI (Central Sarekat Islam), jadi secara politik dia lebih dapat di Oetoesan Hindia itu,” tutur Adhyt.
“Kan Tjokro Aminoto itu sudah segala-galanya saat itu, orang paling populer di Hindia Belanda ya beliau. Akhirnya mau nggak mau memang popularitas Oetoesan Hindia sebagai koran paling top pada saat itu sebagai perwakilan koran politik Islam,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan pula tentang fungsi lain Oetoesan Hindia selain sebagai koran politik. Koran ini juga berhasil merangkul kalangan pesantren ke dalam Oetoesan Hindia, banyak ulama-ulama dari pesantren di Jawa Timur yang akhirnya bisa menyalurkan pemikirannya di koran.
“Mereka (Oetoesan Hindia) meminta pendapat ulama (pesantren) di sana terus menuliskan kembali di Oetoesan Hindia jadi kayak ada appreciate, menghargai ulama sehingga ulama merasa terlibat” ucap Adhyt.
Kedekatan Oetoesan Hindia dan para ulama semakin erat pasca terjadi kasus penistaan agama di Hindia Belanda. Pada tahun 1916 di Hindia Belanda terjadi tiga kasus penistaan agama yang menggemparkan. Mulai dari perusakan masjid di Surabaya hingga adanya ujaran yang menyebut agama Islam sebagai agama yang busuk.
“Maraknya penistaan agama di 1916, ada tiga peristiwa yang menggegerkan umat Islam. Pertama itu Ada orang Belanda bilang agama Islam itu busuk, kedua mengatakan bahwa Nabi Muhammad minum opium, makan ganja dan ketiga perusakan masjid di Surabaya,” ujar Adhyt.
Adhyt mencontohkan salah satu media yang memiliki kemiripan konten dengan Oetoesan Hindia. Surat kabar yang dimaksud adalah Pantjaran Warta di Jakarta yang dipimpin oleh Goenawan yang juga pendiri SI Batavia. Meskipun secara konten dinilai mirip dengan Oetoesan Hindia namun dalam segi pengaruh masih di bawah Oetoesan Hindia.
“Pantjaran warta itu koran SI mirip Oetoesan Hindia, mirip secara konten. Cuman dia kalah pamor dengan Oetoesan Hindia, Pantjaran Warta hanya di Jawa Barat dan Batavia,” jelasnya.
Media Dakwah
Koran-koran SI tidak hanya berkutat pada masalah politik dan pemikiran. Beberapa koran SI juga menjadi media dakwah hal ini dikarenakan konten-kontennya memuat tentang masalah keagamaan. Salah satu fungsi koran sebagai media dakwah dilihat pada sejumlah koran SI seperti Cermin Islam (Jakarta), dan Medan Moeslimin (Solo). Popularitas Medan Moeslimin dinilai mampu menyamai Oetoesan Hindia.
“Secara simbolik nasional itu antara Medan Moeslimin dan Oetoesan Hindia itu sama-sama gedhe karena dia ada cabangnya di Malaysia juga sampai di Kalimantan” ujar Adhyt.
Sama halnya dengan Oetoesan Hindia, Medan Moeslimin juga termasuk koran yang memiliki basis di pesantren. Beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur bahkan menjadi pelanggan tetap Medan Moeslimin. Rubrik koran yang memuat tentang keagamaan dinilai menjawab keresahan-keresahan yang muncul diantara umat Islam.
Adhyt mengatakan bahwa Medan Moeslimin merupakan first newspaper yang membahas tentang masalah-masalah keagamaan yang penting pada saat itu. Berbagai pertanyaan seperti boleh tidaknya seorang muslim bercelana panjang, sebab celana panjang merupakan pakaian Belanda. Kemudian aturan poligami dalam Islam itu bagaimana, mengingat praktik ini cukup banyak dilakukan di masyarakat.
“(Medan Moeslimin) dijadikan langganan para santri menjadi first newspaper, yang memang kontennya khusus agama. Mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kegelisahan orang saat itu seperti poligami, aturan poligami kayak gimana?” ujarnya.
Di Solo, selain Medan Moeslimin berdiri pula koran milik Muhammadiyah cabang Solo yakni Cahaya Islam. Koran yang kontennya juga memuat tentang konten-konten keagamaan. Keberadaan koran dakwah sebenarnya cukup banyak hanya saja belum semuanya bisa terlacak. Salah satu koran dengan misi dakwah ditemukan di Jakarta dengan hadirnya koran Cermin Islam.
“Saat itu Cermin Islam pernah men–support Medan Moeslimin. (Mereka) bilang kami terinspirasi Medan Moeslimin,” pungkas Adhyt.
Reporter: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza