ISLAMTODAY ID — Sejarawan muda alumni pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Adhytiawan Suharto mengatakan bahwa tren kemunculan surat kabar di Hindia Belanda pasca berdirinya Sarekat Islam (SI) sangat ditakuti oleh Belanda. Hal ini sangat terlihat pada dua koran di bawah SI Solo seperti Sarotomo dan Doenia Bergerak.
Adhyt mengatakan bahwa berdirinya surat kabar SI di Solo memberi pengaruh yang cukup signifikan di berbagai daerah di Indonesia. Kehadiran Sarotomo di Solo terbukti mampu memberi pengaruh bagi pada para priyayi di Solo. Hal ini dilihat dari dengan mudahnya kehadiran SI diterima di Solo.
“Ketika SI Berdiri di Sukoharjo, di Tawangsari di Pedan, Trucuk, di Klaten itu kan isinya pegawai-pegawai kecamatan semua yang direkrut,” jelas Adhyt kepada IslamToday, Rabu (10/2/2021).
“Jadi (meskipun) mereka merasa, mereka mungkin secara ke-Islaman kurang, tapi ketika di Solo ini ramai, orang-orang di Solo ini ramai ikut SI, mereka ikutan, ketika ada SI mereka menyambut,” ujar Adhyt.
Adhyt menambahkan penggunaan Sarotomo sebagai media propaganda atau media organ bagi SI Solo sangat efektif. Meskipun, jumlah oplahnya sangat terbatas yakni hanya beredar di wilayah Solo, Klaten, Yogyakarta dan Jawa Tengah. Akan tetapi, gagasan-gagasan intelektual di Sarotomo sangat mudah diterima oleh para priyayi.
“Terbitnya memang nggak banyak nggak tiap hari, (tapi) isi-isi mereka adalah pemikiran tentang bagaimana Islam berkembang, ini kan mempengaruhi para priyayi di daerah itu,” tutur Adhyt.
Ia menilai strategi propaganda Sarekat Islam lewat Sarotomo sangat berhasil jika dilihat dari segi pengaruhnya. Kehadiran Sarotomo juga mampu memotivasi umat Islam di daerah lain untuk mendirikan SI seperti di Batavia, Semarang, Bandung, Surabaya. Hal ini pun membuat cemas pihak Belanda.
“Dulu sekali ada yang mencetus, itu pikiran mereka jadi tergejolak jadi gelisah jadi ada kemauan gedhe. Jadinya SI menjadi tren model di awal, makanya pemerintah khawatir dengan media organ,” ungkap Adhyt.
Belanda Resah
Ketakutan Belanda semakin menjadi ketika aktivis SI Solo mendirikan lagi satu surat kabar yang sangat kritis dan vokal dalam mengkritik pemerintah Belanda. Di tangan Marco Kartodikromo lah media pengkritik pemerintah paling radikal itu hadir. Media dengan konten yang sangat keras dalam mengkritik pemerintah Belanda ini bernama Doenia Bergerak.
“Karena kontennya lebih radikal ya akhirnya kan pemerintah punya alasan untuk melarang,” ujar Adhyt.
Jika perjuangan butuh siasat dan strategi, hal inilah yang dilakukan oleh Doenia Bergerak. Doenia Bergerak sama sekali tidak mencantumkan nama penulisnya. Namun di dalam koran tersebut dimuat tulisan jika Doenia Bergerak adalah bagian dari Sarekat Islam Solo.
“Di Doenia Bergerak itu kontennya itu lebih banyak menuliskan anonim, jadi banyak kolumnis-kolumnis dari Pacitan, dari Madiun ngirim tapi lebih banyak yang anonim ada yang Madiuner, ada Wisanggeni, itu nama-nama anonim yang memang secara keras mengkritik kegiatan Belanda,” ucap Adhyt.
Adhyt menambahkan aktivitas jurnalistik Marco Kartodikromo semakin meresahkan pemerintah Belanda. Sebab melalui Doenia Bergerak pula Marco kemudian mengumpulkan para simpatisan Sarekat Islam dari berbagai daerah. Hingga terbentuklah Inlandsche journalisten Bond (IJB), para anggota IJB salah satunya dilantih untuk bisa menulis.
“Belanda takut dong karena ini mempengaruhi (pribumi muslim). Kalau dulu kan itu perubahan, itu kalau dia ada perubahan berpikir,” tuturnya.
Reporter: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza