ISLAMTODAY ID — Memasuki era Daulah Abbasiyah berkuasa, Khalifah kedua Bani Abbas, Abu Ja’far Al Mansyur (136 H – 158 H atau 754 M – 775 M) memindahkan ibukota Islam Daulah Abbasiyyah ke bekas jantung peradaban Persia kuno di lembah Mesopotamia sebagai ibukota Islam yang baru.
Keruntuhan Dinasti Persia Sassaniyah terjadi pasca pertempuran Al-Qadisiyyah yang dimulai pada tahun 636 M di bawah pimpinan Panglima Sa’ad bin Abi Waqqas yang berujung dengan berakhirnya agama Zoroaster di Persia.
Keruntuhan Persia, merupakan salah satu Bisyarah Kenabian, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan hal ini sebelumnya.
Sebagaimana di sebutkan dalam Hadits Musnad Ahmad 12/108,
“Dimana ketika Raja Kisra (Persia) menerima surat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia langsung merobek-robek suratnya, sehingga Nabi berdoa agar kerajaannya (Kisra) dirobek-robek oleh Allah. Maka terjadilah keruntuhan Kisra Persia Sassaniyah secara permanen.“
Abu Ja’far Al-Mansur memilih kawasan di persimpangan aliran dua sungai besar Eufrat dan Tigris yang bermuara ke teluk Persia sebagai ibukota Islam yang baru, dan diberinya nama kota Madinat As Salam.
Nama kota Madinat as salam ini kerap tercantum dalam koin cetakan era Bani Abbas berkuasa.
Pemilihan kota kecil yang lokasinya dekat dengan aliran sungai dan muara laut ini menarik untuk di cermati kembali.
Mengingat lokasinya sangat jauh dari pusat kekuasaan Islam sebelumnya di Damaskus, dan kali ini justru mendekati Pesisir laut.
Ibukota Islam Madinat As Salam (Baghdad) dibangun menjadi kota kosmopolitan baru yang memiliki akses mudah menuju pelabuhan-pelabuhan laut di Teluk Persia.
Sistem irigasi yang jauh lebih baik dan lebih padat dan heterogen penduduknya menjadikan Baghdad tumbuh menjadi kota metropolis layaknya Babilonia baru, sebagai pusat populasi, kemewahan dan Ibukota Peradaban Dunia.
Al-Ubullah dan Siraf adalah pelabuhan utama untuk kapal laut, tetapi kapal sungai dapat berlayar sampai ke Baghdad.
Kota Bashrah dan Siraf berkembang menjadi kota pelabuhan penting yang sangat besar memasuki awal abad ke 8 M.
Disebutkan dalam Al-’Arab wal Mallahah (Bangsa Arab dan Navigasi) karya Al-Hurani, dan ‘Uman wa Tarikhuhal Bahri (Oman dan Sejarah Maritimnya), jalur pelayaran terjauh yang ditempuh kapal-kapal Arab yaitu dari pesisir Teluk Arab hingga ke khanfu China.
Abu Ja’far Al Mansyur juga mendorong persatuan antara rakyat Arab (Jazirah) dengan Persia menjadi satu kesatuan Muslim menggunakan Bahasa Arab.
Khalifah-khalifah Abbasiyah era setelahnya juga sangat peduli dengan perkembangan dunia Ilmu pengetahuan
Banyak buku-buku ilmu pengetahuan dari Yunani dan Persia di terjemahkan kedalam Bahasa Arab.
Karenanya banyak kosa kata Persia, khususnya dalam kosakata bahari di Samudra Hindia yang masih di pakai hingga hari ini, seperti misalnya istilah Bandar yang berarti Pelabuhan, Dhow atau perahu kapal, huda menjadi nau-khuda atau yang berarti nakhoda kapal, rahmani yang berarti buku petunjuk bahari, sanbuq sejenis kapal layar, dan lain-lain.
Era ini menandai tumbuh berkembangnya kota-kota Pelabuhan kosmopolitan di sepanjang Pesisir Samudra Hindia. Dan menandai semakin kuatnya penguasaan Islam terhadap dunia Maritim di Samudera Hindia.
Era ini banyak terlahir para ‘Geographer’ Muslim dan penulis perjalanan pelayaran dari negeri Arab ke Hindia Timur hingga ke China bahkan telah mampir ke Nusantara.
Diantaranya Syaikh Al Baldhuri, Buzugh bin Shahriar, Sulaiman At Tajir atau Sulaiman As Sirafi, Ibn Khordadbih dan masih banyak lagi.
Penulis: Abu Bakar Ibnu Said