ISLAMTODAY ID — Jejak peninggalan Kesultanan Aceh Darusalam di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh terancam proyek pembuangan limbah dan tinja. Hal ini menyusul kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh yang memberi izin proyek pembangunan Instalasi Pembangunan Limbah (IPAL). Kebijakan ini diketahui pasca dikirimkannya surat Walikota Banda Aceh Aminullah Usman (16/2).
“Proyek IPAL di Gampong Pande Kota Banda Aceh dilanjutkan setelah ada kesepakatan bersama, disepakati dengan tetap menjaga situs sejarah yang ada di lokasi pembangunan,” kata Kepala Dinas PUPR Banda Aceh, T Jalaluddin dilansir dari Antara News (26/2/2021).
Alasan mengapa dengan mudahnya Pemkot mengabaikan keberadaan situs penting ini terungkap dalam Surat Walikota Banda Aceh, No.660/0253. Walikota dalam surat tersebut menyebut bahwa kawasan Gampong Pande bukan termasuk cagar budaya. Dengan alasan situs tersebut belum berstatus cagar budaya.
“Saat ini secara hukum situs tersebut belum ditetapkan menjadi cagar budaya sehingga keberadaan IPAL di sekitar situs tersebut tidak menyalahi aturan,” ungkap Aminullah Usman dalam surat walikota tertanggal 16 Februari 2021.
Kebijakan Walikota Banda Aceh ini pun segera disanggah organisasi Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA). Ketua MAPESA, Mizuar Mahdi dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi IslamToday pada Kamis malam (25/2) menegaskan bahwa hasil kajian arkelogi yang jadi landasan putusan Pemkot Banda Aceh tidak objektif.
Hasil Kajian Arkeologi Tak Objektif
Ia mengatakan bahwa hasil kajian arkeologi yang menjadi landasan pihak Pemkot tidaklah objektif. Sebab kajian terhadap kawasan cagar budaya Gampong Pande dilaksanakan oleh pihak yang tidak berwenang.
“Kajian arkeologi itu tidak dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang dan bertanggungjawab dalam persoalan cagar budaya, tapi justru dilakukan oleh pihak terkait dalam persoalan proyek IPAL yang dalam hal ini disebutkan adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI,” tutur Mizuar.
Mizuar menambahkan ketidakobjektifan ini terlihat pada hasil kajian tim arkeologi Kementerian PUPR yang menghasilkan adanya zonasi kawasan Kampung Pande. Pemerintah dalam hasil kajiannya terkait lokasi IPAL membagi zonasi atas empat kawasan. Zonasi inti di Desa Pande ini seluas 261,04 hektar (ha).
Dari zonasi inti tersebut terbagi atas dua zonasi inti I yang luasnya mencapai 237,19 ha dengan karakter lahan berupa rawa, tambak dan permukiman. Sementara zonasi inti II seluas 23,84 ha, lokasi proyek IPAL dan TPA berada pada zonasi inti II. Zonasi lainnya berdasarkan data pemerintah terdiri atas zonasi penyangga (87,52 ha), zonasi pengembangan (58,76 ha), zonasi penunjang, pemanfaatan (56,54 ha).
“Dalam pelaksanaan kajian dan zonasi itu, dengan demikian, terbuka peluang untuk hal-hal yang bersifat tidak objektif dan keilmuan, atau juga terbuka peluang untuk penggiringan hasil kajian dan zonasi kepada hal-hal yang selaras dengan kepentingan pihak-pihak terkait, yang dalam hal ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI dan Pemerintah Kota Banda Aceh,” tutur Mizuar Mahdi.
Fatwa Ulama Aceh Diabaikan
Ia mengungkapkan sejumlah pandangannya terkait isi surat Walikota Banda Aceh. Salah satunya berkaitan dengan tidak diindahkannya fatwa Majelis Pertimbangan Ulama (MPU) Aceh No.5/2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya dalam Perspektif Syari’at Islam, yang dalam salah satu ketetapannya adalah: Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami adalah haram.
Pernyataan Pemkot Banda Aceh yang menilai bahwa kawasan tersebut bukan termasuk makam raja era Kesultanan Aceh sehingga menjadi dalih bahwa proyek bisa dilanjutkan dinilai tidak obyektif. Sebab pada kenyataannya hingga kini memang belum ditemukan bukti keterangan pasti terkait Kesultanan Aceh. Namun tidak serta merta bisa dibenarkan menyebut makam tersebut sebagai pemakaman masyarakat umum.
“Selain terkesan sengaja untuk mengurangi nilai dan kepentingan kompleks pemakaman tersebut, juga memberikan sinyal bagi keterancaman kompleks-kompleks makam peninggalan sejarah Aceh yang tersebar di berbagai lokasi,” jelasnya.
Mizuar juga membantah pernyataan pemkot yang menyebut lokasi IPAL berada di sekitar makam. Kenyataan yang sebenarnya ialah lokasi IPAL justru berada di dalam kompleks makam-makam kuno Kesultanan Aceh Darusalam. Bahkan proyek tersebut dinilai telah mengganggu keberadaan situs sejarah di sana.
“Sepengetahuan kami, lokasi situs pemakaman itu telah terganggu lantaran telah dipindahkan dari lokasi aslinya (in situ) ke tempat lain,” tutur Mizuar.
“(Untuk itu) kami menilai Walikota Banda Aceh dalam hal ini telah memberikan pernyataan yang tidak akurat,” terangnya.
Dengan berbagai pertimbangan, Ketua Mapesa ini mengatakan bahwa berbagai argumen pernyataan yang disampaikan oleh pemkot sangat lemah. Atas dasar itu pula pihaknya bersama-sama dengan MAPESA menyatakan mosi tidak percaya kepada Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman.
“Kami memberitahukan bahwa dengan adanya surat Walikota Banda Aceh tersebut kami menyatakan mosi tidak percaya terhadap kemampuan Walikota Banda Aceh, H. Aminullah Usman, SE., Ak.,MM., dalam menangani persoalan-persoalan menyangkut warisan budaya Kota Banda Aceh,” pungkasnya.
Sebelumnya pada November 2019 silam, MAPESA juga telah mengeluarkan pernyataan sikapnya terkait penolakan proyek IPAL yang dijalankan oleh pemerintah pusat.
MAPESA menegaskan bahwa penempatan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), instalasi pengelolaan lumpur tinja (IPLT) dan IPAL di Gampong Pande adalah kebijakan ahistoris.
Selain itu, langkah ini juga sangat berseberangan pula dengan nilai-nilai yang dianjurkan dalam syariat Islam, terkait pemeliharaan sungai dan areal tepi sungai.
Bahkan, proyek IPAL sesungguhnya bertentangan pula dengan undang-undang (UU) Pelestarian Cagar Budaya No.10/2010. Proyek ini juga telah mengabaikan hal-hal yang memiliki nilai penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh. Termasuk juga mengabaikan tradisi meusaneut dan beu muslihat dalam etika kehidupan masyarakat Aceh yang Islami.
Penulis: Kukuh Subekti