ISLAMTODAY ID — Kebijakan pemerintah melanjutkan proyek pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Gampong Pande, Kutaraja, Banda Aceh menuai kecaman luas dari banyak tokoh, organisasi dan masyarakat Aceh.
Pasalnya di kawasan yang memuat lebih dari 40 situs makam kuno era Kesultanan Aceh ini dinilai ahistoris dan tidak obyektif. Penolakan proyek ini disampaikan oleh berbagai kalangan masyarakat di Aceh mulai dari kalangan ulama, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh, budayawan, anggota Pemantau Otsus Aceh hingga keturunan Raja Aceh, Tuanku Warul Waliddin.
Tuanku Wahrul Waliddin menilai tindakan Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh yang menyebut bahwa kawasan Gampong Pande hanya terdiri atas permakaman umum adalah tindakan sangat keliru. Ia menyebut berdasarkan ciri dari nisan yang ada menunjukan bahwa makam tersebut bukan bentuk nisan masyarakat umum, seperti dilansir dari portalsatu (26/2).
“Pernyataan itu sangatlah keliru, bentuk nisan masyarakat umum bukanlah demikian, namun edisi makam tersebut jelas edisi nisan makam orang penting setingkat Syahbandar di Kesultanan Aceh Darussalam di masa itu,” kata Tuanku Wahrul Waliddin.
“Ini yang perlu diketahui dan dipahami oleh pihak Pemkot Banda Aceh. Jangan sampai pihak Pemko Banda Aceh dianggap amatiran dalam menanggapi persoalan ini,” jelasnya.
Tuanku Wahrul mengungkapkan jika hingga saat ini belum ada satu pun pernyataan dari keturunan raja Aceh yang setuju dengan proyek IPAL tersebut. Ia bahkan meminta agar pemerintah terlebih dahulu melakukan kajian terhadap nisan-nisan yang ada. Sehingga bisa diketahui dengan pasti siapa saja yang berada di makam tersebut.
Ia mengatakan jangan sampai Pemkot Banda Aceh melakukan kesalahan yang sama. Sehingga Walikota Banda Aceh era kepemimpinan Aminullah Usman bisa dikenang sebagai walikota yang mengembalikan kegemilangan peradaban Aceh.
“Kami berharap Pemko Banda Aceh jangan sampai membuat kekeliruan sejarah yang berulang-ulang, semoga Pak Amin sebagai wali kota dikenang sebagai bapak pengembali kegemilangan peradaban Banda Aceh, bukan sebaliknya,” tuturnya.
“Mosi Tidak Percaya!”
Penolakan serupa juga turut disampaikan oleh organisasi MAPESA yang fokus dalam penyelamatan dan perlindungan situs dan artifak sejarah. Mereka menolak dilanjutkannya proyek pembangunan IPAL di lokasi makam para ulama era Kesultanan Aceh Darusalam. Mereka mengungkapkan mosi tidak percaya mereka terhadap Aminullah selaku Walikota Banda Aceh.
“Kami menyatakan mosi tidak percaya terhadap kemampuan Walikota Banda Aceh, H. Aminullah Usman, SE., Ak.,MM., dalam menangani persoalan-persoalan menyangkut warisan budaya Kota Banda Aceh,” ungkap Ketua MAPESA, Mizuar Mahdi kepada IslamToday dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (25/2/2021).
Mizuar mengatakan mosi tidak percayanya cukup beralasan setelah mempertimbangkan isi surat Walikota Banda Aceh kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Jakarta (16/2). Beberapa pernyataan walikota terkait kawasan Gampong Pande dinilai sangat lemah dan tidak bisa dibenarkan.
Ia membantah pernyataan walikota dalam surat Walikota Banda Aceh No.660/0253, terutama pernyataan yang menyebut bahwa kajian terkait proyek sudah berdasarkan kajian arkeologi. Sebab faktanya tim arkeologi yang dimaksud adalah tim arkeologi dari Kementerian PUPR.
“(Kajian arkeologi) justru dilakukan oleh pihak terkait dalam persoalan proyek IPAL yang dalam hal ini disebutkan adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI,” ungkap Muzair.
MAPESA merupakan komunitas yang telah mengkaji kawasan Gempong Pande selama lebih dari 10 tahun tentu sangat paham seluk beluk kawasan di sana. Maka wajar jika mereka sangat keberatan dengan kesimpulan-kesimpulan yang dijabarkan oleh walikota dalam suratnya. Mereka membagi penilaian tersebut dalam empat poin poin.
Poin pertama berkaitan dengan hasil kajian arkeologi Kementerian PUPR yang berhasil membagi kawasan Gampong Pande menjadi empat zonasi. Poin kedua ialah tentang pernyataan yang mendeskreditkan makam sebagai makam milik masyarakat umum bukan bagian dari Kesultanan Aceh sehingga timbul kesan kurang penting. Poin ketiga tentang status hukum situs yang belum juga berstatus cagar budaya meskipun kerap diajukan sejak 2013, 2016, 2017 hingga 2020. Poin keempat berkaitan dengan lokasi IPAL di zonasi II yang dianggap sebagai keterlanjuran dinilai tidak tepat.
Kebijakan Ahistoris, Abaikan Aspirasi Masyarakat
Hal senada juga disampaikan oleh Central of Information For Sumatra Pasai Heritage (CISAH). Mereka menyayangkan langkah yang diambil oleh Pemkot Banda Aceh. Pemkot dinilai tidak memiliki tata konsep kota yang jelas serta tidak memiliki keberpihakan yang jelas terhadap upaya penyelamatan sejarah.
“Kota Banda Aceh yang merupakan pusat dari peradaban Kerajaan Bandar Aceh Darussalam seharusnya memiliki konsep yang jelas dalam mengatur tata ruang kota. Di sini kami melihat pemerintah kota sangat acuh terhadap respons publik yang selama ini menyuarakan penyelamatan sejarah yang terdapat di Ibu Kota Provinsi Aceh tersebut,” tutur Ketua CISAH, Abdul Hamid dilansir dari portalsatucom (24/2/2021).
Abdul Hamid pun mengomentari isi dari surat Walikota Banda Aceh terkait dengan proyek IPAL di kawasan cagar budaya. Menurutnya rencana tersebut bertentangan dengan Undang-undang (UU) No.11/2010 tentang Cagar Budaya. Adapun makna dari cagar budaya sebagaimana isi UU ialah kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Jika dilihat dari tinggalan sejarah ini (di Gampong Pande, Banda Aceh) merupakan warisan penting peradaban yang tidak dapat ditawar penyelamatannya,” tutur Abdul Hamid.
“Hentikan Proyek, Selamatkan Situs Bersejarah “
Kritik keras juga datang dari Koordinator Tim Pemantau Otonomi Khusus (Otsus) Aceh Papua dan Keistimewaan Yogyakarta, H Firmandez. Ia mengatakan bahwa situs sejarah di kawasan Gampong Pande berkaitan erat dengan marwah Aceh.
“Bagaimana pun itu marwah Aceh, situs sejarah harus diselamatkan. Apa lagi sejumlah pihak termasuk Wali Nanggroe selaku lembaga adat dan keturuan raja-raja sudah meminta agar proyek itu dihentikan,” ungkap Firmandes dilansir dari portalsatucom (25/2/2021).
“DPRK Banda Aceh juga sudah merekomendasikan untuk dihentikan. Solusinya lebih baik direlokasikan saja ke tempat lain,” terangnya.
Fermandes menyebut bahwa pada tahun 2017, proyek tersebut telah disepakati untuk dihentikan. Rapat yang dilaksanakan di Kantor Gubernur Aceh yang juga dihadiri oleh Anggota DPR RI, Fadli Zon disepakati bahwa proyek IPAL dihentikan.
“Saat itu saya sebagai Koordinator Tim Pemantau Otsus bersama rekan-rekan di DPR RI sudah membahasnya dengan Pemerintah Aceh, proyek IPAL di kawasan situs sejarah Gampong Pande, Kecamatan Kutaradja, Kota Banda Aceh, saat itu diputuskan akan dihentikan, untuk melanjutkan proyek akan direlokasi ke tempat lain,” ucapnya.
Fermandes megatakan bahwa kawasan Gampong Pande sangat penting. Bahkan di tahun 2017 juga sudah ada Memorandum dari ahli waris raja-raja Aceh. Memorandum dari mereka menjadi pertimbangan mengapa proyek IPAL layak dihentikan.
Apalagi lokasi proyek merupakan kawasan yang diyakini sebagai tempat awal berdirinya kerajaan. Yaitu pada saat Sultan Johansyah pada tanggal 1 Ramadhan 601 H bertepatan dengan 22 April 1205 M mendirikan Kesultanan Aceh, jauh sebelum Kesultanan Aceh Darusalam.
“Hasil kajian arkeolog Lucas Partanda Goestoro juga menyebutkan Gampong Pande sebagai Important Sites in North Sumatera Island. Ini menunjukkan tempat tersebut merupakan sebuah bekas kota pusat peradaban Aceh masa lalu,” pungkasnya.
Fatwa Ulama Aceh Diabaikan
Ia mengungkapkan sejumlah pandangannya terkait isi surat Walikota Banda Aceh. Salah satunya berkaitan dengan tidak diindahkannya fatwa Majelis Pertimbangan Ulama (MPU) Aceh No.5/2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya dalam Perspektif Syari’at Islam, yang dalam salah satu ketetapannya adalah: Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami adalah haram.
Pernyataan Pemkot Banda Aceh yang menilai bahwa kawasan tersebut bukan termasuk makam raja era Kesultanan Aceh sehingga menjadi dalih bahwa proyek bisa dilanjutkan dinilai tidak obyektif. Sebab pada kenyataannya hingga kini memang belum ditemukan bukti keterangan pasti terkait Kesultanan Aceh. Namun tidak serta merta bisa dibenarkan menyebut makam tersebut sebagai pemakaman masyarakat umum.
“Selain terkesan sengaja untuk mengurangi nilai dan kepentingan kompleks pemakaman tersebut, juga memberikan sinyal bagi keterancaman kompleks-kompleks makam peninggalan sejarah Aceh yang tersebar di berbagai lokasi,” jelasnya.
Mizuar juga membantah pernyataan pemkot yang menyebut lokasi IPAL berada di sekitar makam. Kenyataan yang sebenarnya ialah lokasi IPAL justru berada di dalam kompleks makam-makam kuno Kesultanan Aceh Darusalam. Bahkan proyek tersebut dinilai telah mengganggu keberadaan situs sejarah di sana.
“Sepengetahuan kami, lokasi situs pemakaman itu telah terganggu lantaran telah dipindahkan dari lokasi aslinya (in situ) ke tempat lain,” tutur Mizuar.
“(Untuk itu) kami menilai Walikota Banda Aceh dalam hal ini telah memberikan pernyataan yang tidak akurat,” terangnya.
Dengan berbagai pertimbangan, Ketua Mapesa ini mengatakan bahwa berbagai argumen pernyataan yang disampaikan oleh pemkot sangat lemah. Atas dasar itu pula pihaknya bersama-sama dengan MAPESA menyatakan mosi tidak percaya kepada Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman.
“Kami memberitahukan bahwa dengan adanya surat Walikota Banda Aceh tersebut kami menyatakan mosi tidak percaya terhadap kemampuan Walikota Banda Aceh, H. Aminullah Usman, SE., Ak.,MM., dalam menangani persoalan-persoalan menyangkut warisan budaya Kota Banda Aceh,” pungkasnya.
Sebelumnya pada November 2019 silam, MAPESA juga telah mengeluarkan pernyataan sikapnya terkait penolakan proyek IPAL yang dijalankan oleh pemerintah pusat.
MAPESA menegaskan bahwa penempatan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), instalasi pengelolaan lumpur tinja (IPLT) dan IPAL di Gampong Pande adalah kebijakan ahistoris.
Selain itu, langkah ini juga sangat berseberangan pula dengan nilai-nilai yang dianjurkan dalam syariat Islam, terkait pemeliharaan sungai dan areal tepi sungai.
Bahkan, proyek IPAL sesungguhnya bertentangan pula dengan undang-undang (UU) Pelestarian Cagar Budaya No.10/2010. Proyek ini juga telah mengabaikan hal-hal yang memiliki nilai penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh. Termasuk juga mengabaikan tradisi meusaneut dan beu muslihat dalam etika kehidupan masyarakat Aceh yang Islami.
Penulis: Kukuh Subekti