ISLAMTODAY ID — Gampong Pande ialah sebuah desa di Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Kawasan ini merupakan titik nol Banda Aceh. Di lokasi inilah sejarah peradaban Islam pernah mencapai titik kejayaannya pada masa lampau.
Dilansir dari laman Mapesa Aceh (16/6/2020) kawasan ini memuat nama-nama sultan, dan raja dari sejumlah kerajaan penting di Aceh. Ada dua nama penting yang jarang terekspos di berbagai sejarah Aceh. Nama tersebut ialah Sultan ‘Ali Ri’ayat Syah bin Munawar Syah bin Muhammad Syah (wafat pada rabu 14 Sya’ban 947 H (1540 M), dan Sultan ‘Adilullah bin Munawar Syah (wafat pada 30 Jumadil Ula 947 H (1540 M).
“Sejauh bacaan saya, kedua nama sultan ini tidak pernah saya jumpai dalam apapun tulisan mengenai silsilah sultan-sultan Aceh. Para ahli sejarah tidak pernah mencantumkan nama mereka dalam silsilah-silsilah tersebut,” ungkap Epigraf terkemuka Aceh, Taqiyuddin Muhammad.
Dari lokasi tersebut juga berhasil ditemukan sejumlah koin-koin emas atau dirham era Kesultanan Utsmani di bawah kekuasaan Sultan Sulaiman bin Salim Syah dari Turki. Seorang sultan yang berkuasa cukup lama sejak tahun 926 H/1520 M sampai tahun 974 H/1566 M. Pada masa itu pula jalinan persahabatan antara Kesultanan Aceh Darusalam dan Kesultanan Turki sangat erat.
“Keduanya ibarat dua bersaudara yang telah menyumbangkan banyak kebaikan bagi umat Islam dalam abad ke-16 itu.” Demikian jelas Taqiyuddin Muhammad pada (21/6/2020).
Organisasi Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) sudah sejak 10 tahun lalu melaksanakan sejumlah aksi penyelamatan bukti-bukti sejarah di kawasan Gampong Pande. Selain berhasil mengungkap sejumlah nama-nama sultan era Kesultanan Aceh Darusalam dan kerajaan sebelumnya. Mereka juga berhasil mengungkap nama-nama ulama penting pada era tersebut.
Salah satu nama ulama era Kesultanan Aceh Darusalam yang berhasil diungkap oleh Mapesa ialah ulama Syaikhul ‘Askar dan Syaikh Tun Kamil. Identifikasi ini berdasarkan jenis batu nisan yang ada di Gampong Pande. Nisan yang ditemukan di sana merupakan nisan jenis plang-pleng yang diyakini berasal dari akhir abad ke 15 Masehi atau sekitar tahun 1460-an.
“Kita akan terus mencari, dan semoga Allah senantiasa memudahkan jalan,” ujar Taqiyuddin Muhammad pada (16/6/2020), dikutip dari laman Mapesa.
Proyek Limbah dan Tinja Gilas Tinggalan Sejarah Islam
Semangat dan tekad kuat dari masyarakat Aceh untuk mengungkap sejarah peradaban Islam di Aceh rupanya mengalami jalan terjal justru dari pemerintah. Terutama setelah pemerintah memaksakan diri untuk melaksanakan proyek di kawasan yang kini diyakini sebagai situs sejarah penting di Banda Aceh. Setelah proyek Tempat Pembuangan Akhir tahun 2006 pada beberapa tahun terakir proyek IPAL, pembuangan tinja pun menjadi ancaman serius bagi situs sejarah Kesultanan Aceh Darusalam di Gampong Pande.
Pada tahun 2017 proyek ini sempat dijanjikan akan diberhentikan oleh pemerintah Provinsi Aceh. Namun rupanya proyek ini terus berjalan, hal ini pun mengundang kritik keras dari sejumlah Ulama, Tokoh, dan Masyarakat Aceh.
Mapesa menilai proyek IPAL di kawasan situs sejarah tersebut adalah tindakan yang ahistoris dan bertentangan dengan syariat Islam.
Sebelumnya, Mapesa pada tahun 2019 juga kembali merekomendasikan agar proyek IPAL di kawasan tersebut dihentikan serta dipindahkan. Selain itu, mereka juga meminta agar pemerintah menata kawasan Kecamatan Kutaraja secara umum dengan dijadikannya kawasan pesisir di sana sebagai kawasan sejarah.
Rupanya pemerintah tidak mengindahkan protes-protes warga yang sudah disuarakan bertahun-tahun, bahkan sejak proyek TPA berjalan di 2006. Pemerintah Kota Banda Aceh bahkan akhirnya mengeluarkan surat yang mengizinkan kawasan tersebut dibangun IPAL. Izin dilanjutkannya proyek ini terungkap dalam Surat Keputusan Walikota Banda Aceh tertanggal 16 Februari 2021. Melalui surat dengan Nomor 660/0253, tertanggal 16 Februari 2021 tersebut Pemkot Banda Aceh memutuskan untuk tetap melanjutkan proyek IPAL.
Pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh pemkot di bawah pimpinan Aminullah Usman ini dibantah keras oleh Mapesa. Pernyataan pemkot yang menjadi alasan kuat dilanjutkannya proyek tersebut tidaklah akurat. Hal ini dilihat dari pijakan kebijakan yang menggunakan tim arkeologi dari pihak Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) bukan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Imbasnya, pemerintah pun membuat zonasi dengan pertimbangan yang dinilai tidak obyektif. Seperti dikutip dari isi surat Pemkot Banda Aceh, pemerintah membagi kawasan Gampong Pande dalam empat kawasan. Zonasi inti di Desa Pande ini seluas 261,04 hektar (ha).
Zonasi inti terbagi atas dua zonasi inti I yang luasnya mencapai 237,19 ha dengan karakter lahan berupa rawa, tambak dan permukiman. Sementara zonasi inti II seluas 23,84 ha, lokasi proyek IPAL dan TPA berada pada zonasi inti II. Zonasi lainnya berdasarkan data pemerintah terdiri atas zonasi penyangga (87,52 ha), zonasi pengembangan (58,76 ha), zonasi penunjang, pemanfaatan (56,54 ha).
“(Pernyataan tersebut) tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya yang dihormati dan dipraktikan oleh masyarakat Aceh,” tutur Ketua Mapesa, Mizuar Mahdi Al-Asyi kepada IslamToday pada Kamis malam (25/2/2021).
Mizuar menilai hasil kajian yang tidak obyektif tersebut mengancam cagar budaya penting di Gampong Pande. Ia bahkan tidak segan-segan mengungkapkan bahwa keluarnya surat dari Pemkot Aceh justru memicu keluarnya mosi tidak percaya pada Aminullah Usman selaku Walikota Banda Aceh.
“Kami memberitahukan bahwa dengan adanya surat Walikota Banda Aceh tersebut kami menyatakan mosi tidak percaya terhadap kemampuan Walikota Banda Aceh, H. Aminullah Usman, SE., Ak.,MM., dalam menangani persoalan-persoalan menyangkut warisan budaya Kota Banda Aceh,” pungkasnya.
Mizuar mengatakan mosi tidak percayanya cukup beralasan setelah mempertimbangkan isi surat Walikota Banda Aceh kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Jakarta (16/2). Beberapa pernyataan walikota terkait kawasan Gampong Pande dinilai sangat lemah dan tidak bisa dibenarkan.
Ia membantah pernyataan walikota dalam surat Walikota Banda Aceh No.660/0253, terutama pernyataan yang menyebut bahwa kajian terkait proyek sudah berdasarkan kajian arkeologi. Sebab faktanya tim arkeologi yang dimaksud adalah tim arkeologi dari Kementerian PUPR.
“(Kajian arkeologi) justru dilakukan oleh pihak terkait dalam persoalan proyek IPAL yang dalam hal ini disebutkan adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI,” ungkap Muzair.
MAPESA merupakan komunitas yang telah mengkaji kawasan Gempong Pande selama lebih dari 10 tahun tentu sangat paham seluk beluk kawasan di sana. Maka wajar jika mereka sangat keberatan dengan kesimpulan-kesimpulan yang dijabarkan oleh walikota dalam suratnya. Mereka membagi penilaian tersebut dalam empat poin poin.
Poin pertama berkaitan dengan hasil kajian arkeologi Kementerian PUPR yang berhasil membagi kawasan Gampong Pande menjadi empat zonasi. Poin kedua ialah tentang pernyataan yang mendeskreditkan makam sebagai makam milik masyarakat umum bukan bagian dari Kesultanan Aceh sehingga timbul kesan kurang penting. Poin ketiga tentang status hukum situs yang belum juga berstatus cagar budaya meskipun kerap diajukan sejak 2013, 2016, 2017 hingga 2020. Poin keempat berkaitan dengan lokasi IPAL di zonasi II yang dianggap sebagai keterlanjuran dinilai tidak tepat.
Kebijakan Ahistoris
Hal senada juga disampaikan oleh Central of Information For Sumatra Pasai Heritage (CISAH). Mereka menyayangkan langkah yang diambil oleh Pemkot Banda Aceh. Pemkot dinilai tidak memiliki tata konsep kota yang jelas serta tidak memiliki keberpihakan yang jelas terhadap upaya penyelamatan sejarah.
“Kota Banda Aceh yang merupakan pusat dari peradaban Kerajaan Bandar Aceh Darussalam seharusnya memiliki konsep yang jelas dalam mengatur tata ruang kota. Di sini kami melihat pemerintah kota sangat acuh terhadap respons publik yang selama ini menyuarakan penyelamatan sejarah yang terdapat di Ibu Kota Provinsi Aceh tersebut,” tutur Ketua CISAH, Abdul Hamid dilansir dari portalsatucom (24/2/2021).
Abdul Hamid pun mengomentari isi dari surat Walikota Banda Aceh terkait dengan proyek IPAL di kawasan cagar budaya. Menurutnya rencana tersebut bertentangan dengan Undang-undang (UU) No.11/2010 tentang Cagar Budaya. Adapun makna dari cagar budaya sebagaimana isi UU ialah kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Jika dilihat dari tinggalan sejarah ini (di Gampong Pande, Banda Aceh) merupakan warisan penting peradaban yang tidak dapat ditawar penyelamatannya,” tutur Abdul Hamid.
Keputusan melanjutkan proyek IPAL tersebut tak mengindahkan Fatwa Majelis Pertimbangan Ulama (MPU) Aceh No.5/2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya dalam Perspektif Syari’at Islam, yang dalam salah satu ketetapannya adalah: Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami adalah haram.
Bahkan, proyek IPAL sesungguhnya bertentangan pula dengan undang-undang (UU) Pelestarian Cagar Budaya No.10/2010. Proyek ini juga telah mengabaikan hal-hal yang memiliki nilai penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh. Termasuk juga mengabaikan tradisi meusaneut dan beu muslihat dalam etika kehidupan masyarakat Aceh yang Islami.
Penulis: Kukuh Subekti