ISLAMTODAY ID — Kebijakan Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh memberikan rekomendasi atas dilanjutkannya kembali proyek Instalasi Pembangunan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande dinilai sebagai kebijakan sepihak dan sembunyi-sembunyi.
Penilaian ini disampaikan oleh salah seorang anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Banda Aceh. Bahkan dalam rekomendasi tersebut juga dibarengi dengan aksi pencatutan nama TACB oleh pihak Pemko Banda Aceh.
Rekomendasi Sepihak dan “Sembunyi-Sembunyi”
“Pihak Pemko (Banda Aceh) dengan dinas terkait yaitu PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) disini, mencatut nama TACB dalam hal ini itu memang keputusan yang yang sepihak,” kata anggota TACB Banda Aceh, Yusri Ramli kepada redaksi IslamToday, Ahad (28/2/2021).
Yusri sangat menyayangkan dan mengaku kecewa dengan aksi pencatutan nama TACB dalam rekomendasi yang dikeluarkan oleh Walikota Banda Aceh Aminullah Usman. Rekomendasi yang dikeluarkan dalam surat Pemko Banda Aceh tertanggal 16 Februari 2021 sangat tidak bisa dibenarkan. Sebab rekomendasi yang berdasarkan hasil rapat pada 3 Februari 2021 itu hanya dihadiri oleh satu dua orang anggota TACB.
“Padahal (rapat) yang dihadiri itu satu dua orang yang dengan beraninya mengambil keputusan tanpa ada pemberitahuan apa pengumuman rapat di tanggal tersebut,” tuturnya.
“Saya cek di grup WA tidak ada yang rapat yang diumumkan untuk tanggal tersebut,” jelas Yusri Ramli.
Ia mengungkapkan terkait keputusan dan rekomendasi yang disampaikan oleh TACB Banda Aceh selama ini selalu berdasarkan hasil musyawarah bersama. Bukan keputusan yang ditetapkan sepihak oleh satu, dua orang perwakilan dari TACB.
“Tidak ada pemberitahuan undangan rapat ke Group WhatsApp TACB untuk pengambilan rekomendasi lanjutan pembangunan IPAL. Memang ada anggota yang hadir dua orang, tapi saya tidak mengetahui dari mana mereka dapat undangan itu, dan anggota TACB yang hadir ini tidak bermusyawarah dengan semua anggota TACB. Sehingga rekomendasi dalam surat Wali Kota yang sudah diberitakan itu bukan atas dasar keterlibatan TACB atau hasil musyawarah TACB keseluruhan,” ungkap Yusri Ramli.
Menurutnya, seharusnya anggota TACB yang hadir dalam rapat itu bermusyawarah terlebih dahulu dengan seluruh tim TACB.
“Apa butir-butir rapat kalau mau mencatut nama TACB keseluruhan, karena tim kami tujuh orang, sedangkan yang hadir dua orang. Jadi, pihak Pemko Banda Aceh menganggap mewakili. Padahal, pada kasus IPAL pertama itu, pengambilan keputusan atas dasar rapat keseluruhan TACB baru bisa diambil rekomendasi. Sekarang muncul kontroversi di tengah masyarakat, seolah-olah TACB mengeluarkan rekomendasi untuk pembangunan IPAL di Gampong Pande. Saya atas nama anggota TACB tidak terima akan keputusan tersebut,” tegasnya.
“Padahal hal-hal lain selain IPAL tentang register, pemeringkatan situs itu dibicarakan bersama. Tapi dalam hal ini kesannya sembunyi-sembunyi. Dan mengatasnamakan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banda Aceh,” ucap Yusri Ramli.
Yusri menjelaskan bahwa dirinya merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam penelitian sejarah sejak awal proyek IPAL Gampong Pande mencuat. Saat itu ia bersama tim dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Utara melakukan kajian awal di Gampong Pande. Bahkan keterlibatannya ini terjadi hingga pembuatan mapping dan zonasi terhadap tiga titik situs di sana.
“Saya terlibat dari penelitian tahap satu bersama Balar, Balai Arkeologi Sumatera Utara, kemudian mapping dan terakhir juga ada zonasi kemarin itu yaitu 3 titik situs,” ujarnya.
Namun dalam kesempatan terakhir pihaknya bahkan Ketua TACB Banda Aceh, Nurdin AR pun tidak dilibatkan dalam memutuskan dikeluarkannya rekomendasi Pemko Banda Aceh. Sebagai ketua ia tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan apakah setuju atau tidak setuju dengan rekomendasi yang ditetapkan oleh pemko.
“Bahkan Ketua TACB di Kota Banda Aceh, Nudrin AR itu tidak ditanyakan pendapatnya. Apa beliau setuju atau tidak,” ungkap Yusri Ramli.
“Biasanya apapun apapun masalahnya kita membicarakan bersama. Sepakat bersama baru kita tetapkan itu mulai dari pemeringkatan, pendaftaran situs namun dalam hal ini rekomendasi untuk melanjutkan IPAL itu tidak ada pemberitahuan,” terangnya.
Atas kekacauan yang ditimbulkan pasca keluarnya rekomendasi Pemko Banda Aceh tersebut pihaknya mengancam akan mengundurkan diri dari keanggotaan TACB Banda Aceh. Bahkan kemunduran Yusri ini dimungkinkan akan diikuti pula oleh ketua TACB Banda Aceh.
“Kemungkinan besar saya akan mengundurkan diri, mungkin ikut juga pak ketua Pak Nurdin AR,” ucap Yusri Ramli.
Status Cagar Budaya Dan Laboratorium Sejarah
Yusri Ramli menuturkan pula mengenai status Gampong Pande yang sebenarnya telah layak ditetapkan oleh TACB Banda Aceh sebagai cagar budaya. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ia dan tim dari TACB Banda Aceh. Ia menyebut bahwa Gampong Pande telah memenuhi syarat-syarat sebagai situs cagar budaya. Dalam hal ini cagar budaya Kerajaan Aceh Darusalam.
“Perlu ditekankan bahwa itu memang mencukupi syarat bahwa itu adalah kawasan cagar budaya, dan secara khusus itu adalah benda cagar budaya yang mana itu sama persis makamnya bertipologi Aceh Darussalam Abad 18,” ungkap Yusri.
Ia pun menjelaskan alasan mengapa lokasi proyek IPAL di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh ini layak dijadikan cagar budaya. Hal ini terlihat dari jenis nisan-nisan yang ditemukan di sana yang memiliki tipologi era Kesultanan Aceh Darusalam di abad ke-18.
Hasil kajian terhadap nisan tersebut bahkan berhasil diidentifikasi jika makam-makam di Gampong Pande bukan makam orang sembarangan. Mereka memiliki jabatan dan pangkat serta keterkaitan langsung di dalam Kesultanan Aceh Darusalam. Misalnya munculnya seorang ahli fiqih atau Sang Faqih Syaikh Muhannad Al-Farnawi yang wafat pada 940 H / 1536 M. Selanjutnya makam putri Sultan ‘Alauddin Al-Qahar Riayat Syah yang bernama Sitti Ula Syah.
“Kita menemukan Syaikhul ‘Askar Jamaluddin yaitu pengarah peperangan kerajaan Aceh Darussalam abad 16. Kemudian kita menemukan penanggungjawab kemaritiman kerajaan Aceh abad 18 yaitu Syahbandar Mu’tabar Khan,” ungkap Yusri.
Pada kesempatan tersebut Yusri juga memaparkan tentang alasan mengapa keberlanjutan proyek IPAL di Gampong Pande layak untuk dihentikan. Alasan tersebut ialah terkait dengan keadaan geomorfologis tanahnya selalu mengalami penurunan setiap tahunnya. Bahkan hal ini sudah diperingatkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banda Aceh.
“Pesisir pantai yang dari laporan BPBD Kota Banda Aceh itu setiap tahun melalui (mengalami) penurunan yang buktinya kita melihat permukaan yang di saat ditemukan nisan makam-makam tersebut di kawasan IPAL itu dalam kedalaman beberapa meter,” paparnya.
Mengingat kondisinya yang sangat riskan terhadap bencana tersebut maka Pemko Banda Aceh pernah mengeluarkan kebijakan khusus. Pada era kepemimpinan Walikota Illiza Saaduddin Djamal di Banda Aceh telah menobatkan Kawasan Gampong Pande sebagai kawasan cagar budaya. Sebuah kawasan yang ditetapkan menjadi laboratorium penelitian sejarah.
“Kita perlu menjadikan kawasan tersebut adalah kawasan laboraturium lapangan untuk penelitian sejarah sebelum kita menggunakan lahan tersebut untuk pembangunan yang lain,” pungkas Yusri.
Penulis: Kukuh Subekti