ISLAMTODAY ID — Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) mengungkapkan bahwa kawasan Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh adalah kawasan yang penting. Hasil penelitian dan kajian di sana menunjukan bahwa Gampong Pande berada pada grade pertama atau kawasan inti jejak Kesultanan Aceh Darusalam.
“Kita telah menjadikan kawasan dari temuan-temuan di lokasi itu. Dia (Gampong Pande) berada di grade pertama yaitu untuk kawasan penting yaitu kawasan inti daripada bekas hunian masa Kesultanan Aceh Darusalam,” kata Ketua MAPESA, Mizuar Mahdi Al-Asyi dilansir dari Puja TV, Senin (01/03/2021).
Mizuar Mahdi mengatakan bahwa dengan adanya kesimpulan tersebut secara otomatis MAPESA menolak pembangunan proyek pembuangan tinja di Gampong Pande. Penolakan MAPESA ini pun bersifat tegas dan tidak akan berubah sekalipun pemerintah berusaha mengajak mereka untuk melakukan mediasi.
“Mapesa dari awal memang sudah menolak, jadi mau kapan pun apakah pemerintah ingin mengajak untuk mediasi macam-macam dan kita sudah jelas menolak,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa kawasan tersebut tidak bisa diganggu gugat sebelum proses kajian di sana tuntas. Mengingat statusnya yang diyakini berada di ring utama sejarah Kesultanan Aceh Darusalam, keberadaan proyek pembuangan tinja dinilai sebagai tindakan pelecehan dan tidak bisa dibenarkan.
“(Gampong Pande), lokasi penting dan tidak boleh dilecehkan ataupun diturunkan gradenya dari bekas kota Islam menjadi lokasi pembuangan tinja,” tegasnya.
Sebelumnya pada (25/2) MAPESA telah mengeluarkan pernyataan resminya terkait surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Walikota Banda Aceh Aminullah Usman pada (16/2). MAPESA menilai keluarnya surat rekomendasi walikota akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial budaya masyarakat Kota Banda Aceh. Bahkan tindakan yang mengizinkan aktivitas pembangunan saluran pembuangan tinja tersebut akan menjadi contoh buruk.
“Pengubahan fungsi ruang seperti itu juga bisa menjadi contoh buruk dalam pengurusan dan penanganan peninggalan sejarah bagi generasi muda Aceh secara khusus dan Indonesia secara umum,” ungkap Mizuar dalam keterangan tertulisnya kepada IslamToday pada Kamis (25/2/2021).
Pandangan MAPESA
Mizuar mengemukakan sejumlah pandangan MAPESA berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan oleh MAPESA. Mereka berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh walikota sangat tidak akurat. Mulai dari penyebutan tim arkeologi hingga mengenai lokasi proyek instalasi pembuangan air limbah (IPAL). Selain itu mereka juga memberikan kritik terkait status hukum Gampong Pande yang dijadikan pembenaran bahwa proyek tersebut bisa dilanjutkan.
“Pernyataan seperti tersebut dalam poin b (surat rekomendasi Walikota Banda Aceh) itu dalam waktu yang sama dapat memberikan sinyal bagi keterancaman benda, bangunan, struktur, lokasi atau satuan geografis yang diduga sebagai cagar budaya, terutama oleh karena pengabaian amanah (undang-undang),” jelasnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut mengenai pandangan MAPESA terkait isi surat yang ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pertama berkaitan dengan hasil kajian arkeologi yang ternyata bukan dilakukan oleh pihak yang berwenang. Ada kekhawatiran jika hasil kajian tersebut bersifat tidak obyektif dan ilmiah.
“Terbuka peluang untuk hal-hal yang bersifat tidak objektif dan keilmuan, atau juga terbuka peluang untuk penggiringan hasil kajian dan zonasi kepada hal-hal yang selaras dengan kepentingan pihak-pihak terkait,” ucap Mizuar.
“Yang dalam hal ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI dan Pemerintah Kota Banda Aceh,” terangnya.
Mizuar menuturkan pula jika hasil kajian yang disimpulkan oleh tim arkeologi yang diklaim oleh Pemko Banda Aceh tersebut tidak mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku di Aceh.
Fatwa Ulama
Ironisnya pemko juga mengabaikan fatwa haram yang disampaikan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). MPU adalah sebuah lembaga yang sangat dihormati oleh masyarakat Aceh.
“Fatwa MPU Aceh No. 05 Tahun 2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya dalam Perspektif Syariat Islam, yang dalam salah satu ketetapannya adalah: Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami adalah haram,” ujarnya.
Pertimbangan kedua MAPESA ialah berkaitan dengan hasil kajian tim arkeologi yang menyebut bahwa makam di sana milik masyarakat umum. Pernyataan ini mendiskreditkan makna kawasan tersebut sebagai kawasan cagar budaya yang juga memiliki hak untuk dilindungi oleh negara. Meskipun belum ditemukan bukti pasti apakah yang dimakamkan di sana apakah raja atau siapa, namun keberadaannya bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
“Merupakan sebuah pernyataan yang tidak objektif dan ilmiah. Sebab, fakta yang sesungguhnya adalah kita tidak tahu atau tidak dapat memastikan apakah itu makam raja, keluarga raja, atau lainnya, dari masa Kesultanan Aceh,” ungkap Mizuar.
Berikutnya pandangan ketiga mengoreksi pernyataan walikota yang menyebut bahwa makam-makam kuno berada di sekitar proyek IPAL. Kesimpulan yang benar ialah proyek IPAL terletak di dalam kawasan cagar budaya. Bahkan lokasi situs justru telah mengalami gangguan akibat dipindahkan dari lokasi semula.
“Lokasi situs pemakaman itu telah terganggu lantaran telah dipindahkan dari lokasi aslinya (in situ) ke tempat lain,” ucap Mizuar.
Poin terakhir yang juga mendapat kritik pedas ialah ‘keterlanjuran proyek IPAL’. MAPESA menilai tindakan melanjutkan proyek dalam keterlanjuran yang memang diakui oleh pemerintah adalah tindakan amoral dan tidak beradab. Sebab menyandingkan situs peninggalan sejarah dengan lokasi pembuangan tinja.
“Singkatnya, lokasi pemakaman bersejarah dan lokasi pengolahan air limbah, yang dalam Bahasa Aceh disebut aden atau leubeung, adalah dua hal yang tidak dapat dikombinasi dalam cita rasa masyarakat Aceh yang beradab, berbudaya dan religious,” pungkas Mizuar.
Penulis: Kukuh Subekti