ISLAMTODAY —- Salah satu elemen utama dalam penerapan syariat Islam adalah adanya sistem peradilan. Di Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagai penerus generasi Mataram diketahui memiliki sistem peradilan yang berdasar syariat Islam, yaitu Pengadilan Surambi.
Mengapa dinamakan Pengadilan Surambi ?, dikarenakan aktivitas sidang pengadilan dilakukan di dalam kompleks atau lingkungan Masjid Agung Kraton biasanya di halaman masjid atau serambi.
Pengadilan Surambi merupakan pengadilan tertua di Kasunanan yang dipimpin seorang pengulu, dibantu empat ulama, dan delapan khatib. Pengadilan ini berpedoman pada kitab Al Qur’an, Al Hadits dan kitab-kitab Islam lainnya.
Adapun, Pengadilan Surambi sebagai pengadilan tertinggi berhak memutuskan masalah yang bersifat kompleks meliputi pengadilan untuk perkara hukum terkait perkawinan, talak, warisan, dan juga hukum pidana. Hukum Pidana yang ditangani biasanya berkaitan dengan tindak kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, dan lain sebagainya. Sementara itu, penanganan Pidana yang berkaitan dengan administrasi dan persoalan Agraria (pasiten) dilaksanakan oleh Pengadilan Bale Mangu.
Sebelum masa kepemimpinan Islam, kerajaan-kerajaan di Jawa yang oleh beberapa ahli disebut dengan istilah negara kosmis, selalu memeiliki hubungan erat dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu anggapan bahwa raja adalah titisan dewa atau keturunan dewa. Konsep dewa-raja atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam tidak menempatkan raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai Khalifatullah, Wakil Allah di dunia. Namun penurunan derajat ini tidak mengubah atau mengurangi kekuasaan raja terhadap rakyat. Dalam hal ini rakyat tetap dituntut untuk tunduk kepada rajanya.
Konsep ratu-binthara sendiri memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwuah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan; wahyu kukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wenang murba wasesa, artinya berkuasa dan bertindak dengan kekuasaan; wahyu wilayah, yang melengkapi dua wahyu yang telah disebutkan di atas, memberi pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya.
Pengadilan Surambi yang dilaksanakan di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, pada dasarnya hanya melanjutkan praktik pengadilan yang telah diterapkan di Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Pada masa itu perkara dibagi menjadi dua yaitu (1) Perkara yang menjadi urusan raja yang biasanya disebut sebagai pradata yang cakupannya meliputi perkara yang berhubungan dengan stabilitas negara seperti keamanan, ketertiban umum, penganiayaan, perampokan, pencurian dan lain-lain; dan (2) Perkara yang yang tidak menjadi urusan raja atau disebut padu yang mencakup perkara atau perselisihan yang terjadi diantara rakyat yang tidak bisa didamaikan oleh lingkungannya.
Perkara pradata yang pada masa sebelumnya menggunakan Hinduisme sebagai sumber hukumnya, di era Sultan Agung mulai diubah dengan menggunakan hukum Islam. Pengadilan inilah yang menjadi cikal bakal Pengadilan Surambi.
Sumber Hukum Dan Tata Pelaksanaan Pengadilan
Dalam pengadilan tersebut, Kedua keraton Mataram ini telah menggunakan kitab Undang-Undang yang disebut Kitab Angger-angger. Kitab ini sengaja disusun secara bersama oleh kedua kerajaan untuk memenuhi kebutuhan Kraton akan pelaksanaan hukum Islam di wilayahnya.
Kitab Angger-angger ini disusun dari sejumlah kitab antara lain kitab Moharrar (maksudnya: kitab Muharrar fi al-Fiqh al-Syafi’i karya Syaikh al-Islam al-Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim al-Rafi-‘iy al-Qazwini (Imam Ar-Rafi’iy)), kitab Mahalli, kitab Topah (maksudnya: kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Ibn Hajar al-Haitamiy), kitab Patakulmungin (Maksudnya: kitab Fathul Mu’in karya Zainuddin Abdul Aziz al-Malibariy), dan kitab Patakulwahab (Maksudnya: kitab Fathulwahab karya Syaikh Abu Yahya Zakaria Al-Anshoriy).
Pelaksanaan Pengadilan Surambi melalui beberapa tahap. Tahap yang pertama adalah pemeriksaan terhadap terdakwa, jika ada seorang yang melaporkan tindak kejahatan. Proses pemeriksaan ini pihak pengadilan akan mencari bukti-bukti dan para saksi. Jika bukti dan saksi telah ditemukan akan diajukan ke persidangan untuk mencari penyelesaian masalah. Tahap pemberian hukuman akan dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan setelah terpenuhinya bukti dan saksi yang memberatkan terdakwa.
Proses pengajuan gugatan atau perkara pengadilan harus disertai surat gugatan yang disebut sahid. Dalam surat tersebut harus disebutkan secara jelas nama pihak penggugat dan yang digugat, untuk memudahkan pengecekan suatu perkara. Sebelum suatu perkara hukum diputuskan, sudah semestinya diadakan pemeriksaan-pemeriksaan terhadap pelanggar hukum, yang dalam lembaga pengadilan disebut sebagai terdakwa. Demikian halnya dengan pengadilan Surambi.
Dalam pemeriksaan terhadap terdakwa, meskipun secara tidak langsung, Kumpeni juga ikut memeriksa. Apabila dalam proses pemeriksaan pengadilan, seseorang terbukti bersalah, ia akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kesalahannya itu.
Di dalam lembaga pengadilan di Kasunanan Surakarta terdapat beberapa jenis hukuman, diantaranya ialah hukuman denda, hukuman buang, hukuman cambuk dan hukuman fisik lainnya yang juga dikenal dengan hukuman kisas. Hukuman terberat adalah hukuman mati.
Sementara itu, petugas utama dari pelaksanaan pengadilan ini adalah para pejabat yang langsung diangkat oleh Raja atau Sunan. Mereka adalah Pengurus pengadilan ini terdiri 10 (sepuluh) orang antara lain Kyai Penghulu sebagai ketua, anggota Pathok Nagari yang terdiri 4 (empat) orang, seorang Penghulu Hakim, dan sisanya terdiri dari para Ketib (panitera).
Adapun untuk eksekusi dari hasil-hasil putusan dari perkara-perkara kelas berat, pihak kraton juga mengangkat sejumlah abdi dalem yang bertugas sebagai pelaksana hukuman antara lain: Nirbaya, Martalulut, dan Singanagara.
Nirbaya adalah abdi dalem yang bertugas melaksanakan hukuman mati terhadap terdakwa yang dihukum gantung. Martalulut adalah abdi dalem yang bertugas melaksanakan hukuman mati dengan menggunakan keris, tombak, atau pedang. Selanjutnya, Singanagara adalah abdi dalem yang bertugas melaksanakan hukuman penggal, potong tangan, atau dalam kondisi tertentu juga melakukan hukuman secara fisik lainnya. Jenis-jenis hukuman ini tentu saja disesuaikan dengan rasa keadilan dan jenis pelanggaran yang dilakukan.
Dalam perkembangannya,Pengadilan Surambi banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi dan disesuaikan dengan kebijakan raja yang memimpin maupun pengaruh politik VOC.
Pada masa kepemimpinan Pakubuwana IV, pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi atau pada masa sekarang bisa diidentikkan dengan pengadilan banding atau setingkat Mahkamah Agung. Namun pada akhir masa pemerintahan Sunan Pakubuwono VII (1830-1861) tugas dan wewenang pengadilan Surambi hanya menangani masalah-masalah keluarga, seperti salaki-rabi, talak, warisan, wasiat dan sebagainya yang ditimbulkan oleh perkara tersebut.
Penulis: Muh Sidiq HM / Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Susiyanto. 2016. Pengadilan Surambi: Hukum Islam di Tanah Jawa.
Katno, Penerapan Hukum Islam Di Keraton Kasunanan Surakarta Masa Pakoe Boewono IV (Tahun 1788-1820 M), Jurnal Studi Islam PROFETIKA, Vol. 16.