ISLAMTODAY ID — Berbincang mengenai evolusi pendidikan Islam tak bisa lepas dari Pesantren. Pesantren memiliki sejarah panjang dan sangat berdampak pada perubahan dinamika soasial masyarakat. Di Ponorogo, terdapat pesantren yang dahulunya memiliki peranan sosial politik yang penting dalam perjalanan sejarah Kraton Kasunanan Surakarta yaitu Pondok Pesantren Gebang Tinatar atau Pondok Tegalsari Ponorogo.
Pesantren Gebang Tinatar, berdiri pada tahun 1700 M dengan pendiri Kyai Ageng Muhammad Besari. Kyai Ageng Muhammad Besari merupakan murid dari Kyai Donopuro Setono. Berkat kecerdasan, keuletan dan kemamupannya yang sangat baik dalam bidang agama dan soaial masyarakat, oleh gurunya tersebut Muhammad Besari kemudian diutus untuk membuka dakwah di timur sungai Setono Ponorogo. Wilayah ini adalah Desa Tegalsari.
Wilayah Tegalsari di masa sekarang secara administratif merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo. Desa Tegalsari berada di sebelah selatan dengan jarak 12 km dari pusat kabupaten. Luas desa Tegalsari yaitu 203 Hektar yang terbagi ke dalam tiga dusun; Gendol, Jinontro dan Setono. Masing-masing dusun dipimpin oleh seorang kawituwo atau kepala Dusun.
Mematuhi titah sang guru, kemudian dirinya segera berangkat ke wilayah yang dimaksud dan kemudian mendirikan sebuah pusat pendidikan Islam yang diberi nama Pesantren Gebang Tinatar. Oleh karena desa tempat berdirinya pesantren tersebut bernama Tegalsari, maka pada kemudian hari Pesantren Gebang Tinatar lebih akrab disebut dengan Pesantren Tegalsari.
Sejak berdirinya, Pondok Tegalsari sudah menerapkan sistem belajar sepanjang hari dengan pengajaran kitab yang beragam. Metode yang digunakan adalah Wetonan dan Sorogan. Adapun, Wetonan dan sorogan memiliki definisi yang sama, yaitu metode belajar yang berpusat pada individu, seorang atau beberapa orang santri duduk di depan kiai dan membaca kitab-kitab keagamaan. Bedanya, sorogan dilakukan berdasarkan permintaan dari santri kepada kiai, sementara wetonan dilakukan berdasarkan inisiatif dari kiai.
Hal ini berbeda dengan sistem yang sebelumnya yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja, biasanya usai Shalat Ashar dan Maghrib. Selain itu, Pondok Tegalsari juga menerapkan klasifikasi terhadap para santrinya, antara lain santri yang baru dengan santri yang sudah memiliki pengetahuan lanjut. Santri yang masih baru akan diberikan pelajaran membaca dan menulis dalam bahasa arab. Sedangkan, santri yang sudah berpengetahuan lanjut akan diberikan pelajaran membaca dan menjelaskan kitab-kitab kuning (keagamaan) bahasa Arab. Proses pembelajaran dilakukan secara wetonan dari pukul 07.00-16.00 dan sorogan ketika malam hari, biasanya setelah sholat isya.
Pesantren Tegalsari dan Kasunanan Surakarta
Sejarah kebesaran Pesantren Tegalsari sendiri tak luput dari peran besar Kyai Ageng Muhammad Besari yang berjasa pada masa pergolakan di tanah Mataram. Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan bahwa Sunan Paku Buwono II pernah nyantri di Pondok Tegalsari.
Dikisahkan disana pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura sedang terjadi pemberontakan besar oleh orang-orang Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning). Serbuan yang dilakukan oleh para laskar China dan dibantu oleh itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Oleh karena itu, Paku Buwono II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke Timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu, dia sampai di Desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buwono II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Muhammad Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai Wara` itu, dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buwono II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buwono II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buwono II mengambil Kyai Muhammad Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula, desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah wafat Kyai Ageng Muhammad Besari Kepemimpinan digantikan oleh Kyai Khasan Ilyas dan seterusnya digantikan oleh Kyai Khasan Yahya. Setelah tahun 1797 Kyai Khasan Yahya turun dan digantikan oleh Kyai Ageng Khasan Besari. Kyai Ageng Khasan Besari menjadi Pengageng Pondok Pesantren Gebang Tinatar selama kurang lebih 70 tahun.
Kyai Khasan Besari selain sebagai pengageng Pondok Pesantren Gebang Tinatar juga sebagai Lurah di Desa Tegalsari. Dan dari data yang terdapat di Ndalem Agung Tegalsari, Kyai Khasan Besari menerapkan hukum yang sesuai dengan hukum Islam. Sebuah keberhasilan Kyai Khasan Besari menerapkan hukum Islam di Desa Tegalsari membuat Desa Tegalsari menjadi kiblat desa-desa di sekitar Tegalsari.
Sampai akhirnya kabar tentang pengaruh Kyai Khasan Besari terdengar oleh telinga penguasa di Kasunanan Surakarta. Merasa khawatir dengan kabar tersebut Kyai Khasan Besari ditangkap dan dibawa ke Surakarta. Di Surakarta beliau tidak serta merta diperlakukan layaknya tahanan kriminal, namun beliau ditempatkan di Masjid Agung Surakarta dan bebas melakukan kegiatan apapun.
Kyai Khasan Besari & Pakubuwono IV
Setelah beberapa saat tinggal di Surakarta nampaknya Kyai Khasan Besari dapat menarik hati salah satu putri dari Pakubuwono IV. Ketertarikan putri raja tersebut lantaran dirinya setiap ba’da maghrib sering mendengar lantunan ayat suci yang dibacakan oleh Kyai Khasan Besari. Mengetahui hal ini, Sinuhun PB IV tidak merasa marah, justru sebaliknya dirinya merasa amat senang dan memutuskan untuk menikahkan putrinya tersebut dengan Kyai Khasan Besari. Pernikahan Kyai Khasan Besari dengan RA. Murtosiah tersebut terjadi pada tahun 1939 M.
Dengan menikahnya Kyai Khasan Besari dengan Putri Pakubuwono IV. Maka pengaruh serta perkembangan Pondok Pesantren Gebang Tinatar semakin terkenal banyak masyarakat dan para punggawa kerajaan yang memondokkan putranya ke Tegalsari. Sebagai contoh yaitu R. Ng.Ronggowarsito merupakan salah satu putra dari pujangga Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang menuntut Ilmu di Pondok Pesantren Gebang Tinatar. Dan terbukti dapat mengubah sosok Raden Bagus Burhan (nama kecil Ronggowarsito) yang bandel dan suka beradu ayam menjadi seorang pemuda yang tangguh dan pandai, baik dalam ilmu agama maupun ilmu sastra. Selama 70 tahun kepengasuhannya (1797-1867 M), Kyai Khasan Besari berhasil membawa Pondok Tegalsari mencapai masa keemasannya, bahkan menurut beberapa catatan peneliti diperkirakan santri Pondok Tegalsari bisa mencapai 16.000 orang.
Penulis: Muh Sidiq HM / Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Zamakhsyari.1990. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Para Kyai. Jakarta: LP3ES
Muhammad Hasyim.2019.Ketokohan Syekh Hasan Besari Dalam Bidang Keagamaan, Kebudayaan Dan Kebangsaan. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Sam’ani, Muhammad Sam’ani. 2017. Kyai Khasan Besari; Biografi dan Perannya Bagi
Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo (1797-1867). Institut Agama Islam Negeri Salatiga