ISLAMTODAY ID — Peradaban Islam rupanya tidak hanya mewariskan tradisi ilmu saja melainkan juga bagaimana cara ‘menjaga ilmu’. Hal ini terbukti dengan pemberian sebuah ijazah untuk mereka yang dinilai layak menjadi seorang pengajar, guru, ulama dalam bidang keilmuan tertentu.
Terbukti dengan adanya tradisi periwayatan hadist yang dijaga dengan sangat ketat oleh para ulama, hal ini pula yang nantinya berpengaruh pada status dari hadist tersebut.
Metode Ijazah
Prof. Dr. Raghib As Sirjani melalui bukunya yang berjudul Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia mengungkapkan bahwa metode ijazah sudah ada sejak awal penyebaran ilmu dalam peradaban Islam.
Sebab, pemberian ijazah adalah bagian dari bentuk pemeliharaan dari kesalahan yang terjadi dalam penyebaran ilmu melalui hadist-hadist nabi Muhammad. Pemberian ijazah ini juga bermakna sebagai bentuk imbal balik sebuah kepercayaan antara guru dan murid.
“Karena itu, yang dimaksud ijazah adalah ketetapan pusat untuk para pengajar bahwa muridnya mempunyai kapasitas untuk mengajar di halaqah sendiri, pada bagian ilmu tertentu dari aneka macam ilmu,” tulis Prof. Raghib As Sirjani.
Pemberian ijazah dalam peradaban Islam akhirnya menjadi sesuatu yang men-tradisi. Sebab pada saat yang bersamaan ijazah merupakan bentuk persaksian yang kuat yang dihasilkan oleh seorang penuntut ilmu. Ijazah pada juga akhirnya menjadi sebuah syarat pokok untuk menentukan seseorang ulama di suatu tempat dimana mereka berada.
Salah satu contoh pemberian ijazah yang terjadi dalam peradaban Islam dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal serta Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri. Keduanya sama-sama memberikan ‘ijazah’ untuk sang anak. Imam Ahmad misalnya memberikan ijazah untuk putranya yang bernama Abdullah yang telah meriwayatkan Kitab Al-Musnad. Sementara Imam Muhammad bin Syihab memberikan ijazah untuk putranya yang bernama Ibnu Juraij atau Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraiz Ar-Rumi.
Pemberian ijazah juga berlaku bagi seorang ulama perempuan. Salah satu ulama perempuan yang memperoleh ijazah ialah saudari sepersusuan dari Imam Adz-Dzahabi atau Abu Abdullah Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz yang mendapatkan ijazah dari Abi Yasar, Jamaluddin bin Malik dan Zuhair bin Umar Az-Zarai.
Pelopor Pemberian Ijazah Tenaga Profesional
Pemberian ijazah dalam sejarah peradaban Islam rupanya tidak hanya berlaku bagi mereka yang pakar dalam hal ilmu tentang hadist namun juga bagi mereka yang ahli di bidang sains. Dan yang mengagumkan pemberian ijazah di Barat (Eropa) baru dilakukan sepuluh abad kemudian. Peristiwa ini terekam saat Sinan bin Tsabit memberikan ijazah dokter untuk mereka yang ingin bekerja sebagai dokter pada abad ke-4 Hijriyah.
Selain Sinan bin Tsabit, sekolah Ad-Dakhrawiyah di Damaskus, merupakan sekolah dari sosok intelektual muslim ternama Ibnu Khaldun juga telah memberikan ijazah kedokteran. Ijazah ini diberikan kepada Alauddin bin Nafis, ijazah tersebut akhirnya mengantarkannya sebagai dokter di rumah sakit terbesar di Damaskus yakni Rumah Sakit An-Nuri.
Hal ini pun dibenarkan oleh Tokoh Kedokteran Muslim, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar–Razi (Rhazes). Seperti dikutip dari buku milik Prof. Raghib As Sirjani, Imam Ar-Razi dalam kitabnya Al-Hawi berkata, “Seorang dokter harus lebih dulu memberikan ijazah kedokteran dalam penjelasan awal. Jika tidak diketahui, maka kami tidak butuh kepada Anda untuk memberikan wewenangnya mengobati orang sakit.”
Pioner Pemberian Ijazah Tingkat Universitas
Dilansir dari Republika (14/2/2019), disebutkan bahwa Universitas Qairuwan yang didirikan oleh Fatimah al-Fihri di Maroko pada tahun 859 M merupakan pionir dalam pemberian ijazah, di tingkat perguruan tinggi. Walaupun bangunan universitas masih sangat sederhana dan menyatu dengan masjid, namun kepeloporannya patut diapresiasi.
Ijazah yang dikeluarkan oleh Universitas Qairuwan berfungsi sebagai bentuk sertifikasi bagi kelulusan sekaligus menjadi standar kompetensi para pelajarnya. Tradisi pemberian ijazah ini kemudian menginspirasi institusi pendidikan di dunia Islam, termasuk Al-Azhar Kairo yang berdiri pada 970 M.
Tradisi pemberian ijazah tersebut juga meluas hingga daratan Eropa yang dibawa oleh muslim Spanyol. Seprti yang berlaku di Universitas Bologna Italia yang berdiri pada abad ke-11 dan Oxford Inggris di abad ke-12 M.
Simbol Kebanggaan Sepanjang Hayat
Prof. Raghib menyebut pemberian ijazah bagi setiap ulama adalah sebuah simbol kebanggaan seorang murid yang akan dikenang sepanjang hayat. Fakta ini dikatakan oleh seorang ilmuan muslim bernama Al-Qasyandi setelah ia memperoleh gelar, dari Al-‘Alamah pada masanya, Sirajuddin bin Al Mulaqqan dalam bidang fikih Madzhab Syafi’i.
Kepakaran Al-Qasyandi dalam bidang fikih Madzhab Syafi’I ini terdapat dalam kitabnya yang berjudul Al-Mausu’i (Shabul A’sya). Berikut kutipan isi dari ijazah Al-Qasyandi,
“Telah meminta pilihan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tuan dan syaikh kami dengan keberkahan kami hamba yang fakir kepada Allah Ta’ala Imam Al-Alamah tinta kepahaman yang tiada duanya, dari saya/ tulisan tangannya sebaik-baik ulama, salah seorang termulia, tiang penyanggah fuqaha dan kebaikan, Sirajuddin mufti Islam dan kaum Muslimin Abu Hafsh Umar… Telah memberikan izin dan ijazah kepada si fulan yang disebutkan namanya di sini (Al-Qasyandi)- semoga Allah mengekalkan ketinggiannya-yang telah belajar madzhab imam Al-Mujatahid Mutlak alim Rabbani Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al-Muthalibi Asy-Syafi’i dan menjadikan surga yang dimasuki sebagai balasannya. Dia telah membaca sesuatu dari kitab yang ditulis di madzhab tersebut. Supaya dengan itu, dapat dimanfaatkan oleh para muridnya sehingga dapat digunakan sebagaimana semestinya, kapan saja, dimana saja. Dia juga berhak memberikan fatwa, baik tulisan maupun lisan sesuai kapasitas madzhabnya yang mulia sebagai penyebaran ilmunya dengan agama dan penuh amanat, pengetahuannya dan keahliannya, kepakarannya tentang masalah itu dan kecukupan kapasitasnya…”
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza