ISLAMTODAY ID — Rupanya sejak awal kemerdekaan para buruh-buruh di Indonesia sudah terlibat aktif dalam memperjuangkan hak mereka. Mereka juga melakukannya dengan cara berserikat seperti yang dilakukan oleh para buruh Indonesia saat ini.
Saat itu gerakan buruh di Indonesia juga dibarengi dengan adanya pertarungan ideologi. Tentu saja pertarungan ideologi paling sengit yang pernah ada di Indonesia tidak jauh-jauh dari Islam dan Komunis.
Berikut ini merupakan kisah sejarah lahirnya salah satu organisasi gerakan buruh yang anggotanya beragama Islam. Sebuah organisasi sayap partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Sebuah serikat buruh yang keberadaanya pernah mewarnai perjuangan kaum buruh di Indonesia, dan patut kita perhitungkan.
Kehadiran pekerja yang berstatus sebagai buruh sudah ada di Indonesia sejak era kolonial Belanda. Pada 1870 Belanda mulai mendatangkan para pemodal asing dengan dalih investasi, dan memperkerjakan rakyat Indonesia sebagai buruhnya.
Namun semangat perjuangan buruh untuk membela haknya baru bergelora pasca Indonesia merdeka. Salah satunya kehadiran organisasi buruh bernama Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang didirikan oleh tokoh Masyumi, Dr. Soekiman Wirdjosandjojo.
Peristiwa penting dalam sejarah perburuhan di Indonesia ini diungkapkan oleh Pegiat Studi Wawasan Islam (SWI), Agfa Adityo Satriyo Kuncoro dalam artikelnya yang dimuat di Wartamuslimin (1/5/2018).
Mogok Sebagai Jalan Terakhir
Agfa yang juga alumni Ilmu Sejarah UNS menyebut jika SBII pada dasarnya termasuk organisasi yang menentang perayaan hari buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei. Menurutnya para tokoh Masyumi berpendapat jika sumber perayaan hari buruh ialah ajaran Karl Marx (Perumus Manifesto Komunis).
“Perayaan tersebut bersumber dari ajaran Marx dan sering digunakan untuk propaganda kepentingan politik tertentu. Oleh karenanya SBII menanggapinya dengan santai dan tetap terus bekerja dengan produktif,” kata Agfa.
Agfa menambahkan selain tidak setuju dengan perayaan May Day atau hari buruh, para aktivis di SBII juga tidak setuju dengan aksi mogok. Mereka menilai selama ini aksi mogok justru berimbas pada semakin membuat para buruh makin menderita.
SBII menilai ada beberapa pertimbangan serius yang harus dilakukan oleh serikat buruh sebelum melakukan aksi mogok kerja. Mulai dari pendapatan pengganti bagi buruh yang mogok kerja, belum lagi terganggunya jalur distribusi produksi.
“(Misalnya) di bidang kesehatan SBII tidak menghendaki adanya pemogokan,” ujar Agfa.
“Terlalu gegabahnya buruh terhadap pemogokan justru membunuh dirinya sendiri,” jelasnya.
Meskipun begitu, pemogokan oleh SBII bukannya tidak dilakukan. Misalnya, pada Oktober 1951, SBII Kring Super Motor Jakarta melakukan aksi mogok untuk menuntut premi beras dan libur tahunan. Pada tahun yang sama, Kring Kapal Willems Nugs melakukan mogok untuk menuntut tunjangan lebaran.
Pada masa dipimpin oleh Jusuf Wibisono, pemogokan-pemogokan juga dilakukan terutama dalam rangka aksi solidaritas antar organisasi buruh baik nasional maupun internasional walaupun pemogokan yang dilakukan oleh SBII sangat sedikit dan jarang dilakukan ketimbang SOBSI.
Dalam pandangan SBII, pemogokan merupakan senjata tertajam organisasi buruh yang dapat dilakukan sebagai langkah terakhir apabila lobi dan tawar-menawar tidak berhasil. Selain juga memperhatikan keselamatan buruh dan pihak konsumen selama tidak bekerja.
Berseteru Dengan SOBSI
Sikap SBII ini pun menuai kecaman dari organisasi buruh tandingan mereka, Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). SOBSI menuding SBII sebagai organisasi buruh yang lebih berpihak pada kepentingan majikan.
“Keputusan SBII mendapat kecaman dari SOBSI yang menuduh SBII sebagai organisasi buruh yang anti mogok dan cenderung membela majikan” tuturnya.
Namun demikian SBII tidak diam saja dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Terbukti mereka mampu menyampaikan aspirasi para buruh kepada pemerintah.
Agfa menjelaskan bagaimana upaya pemerintah saat itu dibawah Kabinet Sukiman-Suwiryo dan menteri perburuhan Iskandar Tedjasukmana bersedia menyepakati perjanjian perburuhan. Yang artinya pemerintah mengakui keberadaan serikat buruh, ada pengaturan waktu dan jam kerja, masalah upah serta perlunya jaminan sosial.
Selain itu SBII juga serius dalam melakukan advokasi terhadap para buruh yang menjadi anggotanya. Berbagai saluran aspirasi baik nasional maupun internasional mereka lakukan.
Secara nasional mereka sangat memanfaatkan sejumlah jaringan media massa di bawah Partai Masyumi. Sedangkan dalam dunia internasional mereka melakukan kerjasama dengan organisasi-organisasi buruh internasional.
Suarakan Keresahan Buruh
SBII bisa dikatakan memperjuangkan kepentingan para buruh lewat jalur-jalur intelektual. Baik itu melalui tulisan-tulisan mereka yang dimuat di media massa maupun kerjasama dengan organisasi buruh berskala internasional.
Kemampuan mereka dalam menuangkan gagasannya di media menjadi salah satu hal yang patut diacungi jempol. Setidaknya mereka telah mampu membangun narasi di kalangan anggota SBII.
Sejumlah tokoh dan pimpinan SBII seperti Ketua Umum SBII, Muhammad Dalyono dan Sekretaris Jenderal SBII, S. Narto sangat aktif dalam menyuarakan keresahan-keresahan para buruh. Mereka berdua secara bergantian mengisi rubrik khusus buruh di Majalah Himah milik Masyumi.
Dalyono pada tahun 1952, lebih dulu menulis tentang keresahan-keresahan dan problem yang dialami oleh kalangan buruh. Selain itu ia juga memberikan strategi dalam mengatasi problem-problem tersebut.
Salah satunya pemberian tunjangan hari raya (THR) oleh para pengusaha kepada para buruh mereka setiap Idul Fitri tiba.
Agfa mengisahkan bagaimana S. Narto merasa prihatin akan fenomena mogok kerja buruh setiap jelang lebaran. Persoalan tersebut tidak seharusnya didiamkan begitu saja sebab kegiatan mogok justru hanya akan merugikan banyak pihak.
“S. Narto merekomendasikan agar dari pengusaha yang kaya dibagikan zakat fitrah kepada buruh yang dapat dimasukkan ke dalam golongan penerima zakat,” ungkapnya.
Tulisan S. Narto yang terdokumentasikan dengan baik dalam Majalah Hikmah edisi tahun 1952 no 24-25. Lewat majalah itu pula Narto menyuarakan tentang perlunya jaminan kesejahteraan bagi para buruh.
S. Narto termasuk tokoh SBII yang aktif menulis, ia tidak hanya menulis di satu media saja. Selain di Majalah Hikmah, S. Narto juga menulis di Suara Partai Masyumi.
“(Dia) menulis seri ilmu perburuhan di Suara Partai Masyumi hingga 7 jilid,” terang Agfa.
Afiliasi Organisasi Buruh Internasional
Selain aktif menyuarakan gagasan mereka dalam media massa, mereka juga aktif berkolaborasi dan bersinergi dengan organisasi buruh luar negeri. Misalnya pada tahun 1957, SBII berafiliasi dengan organisasi dunia yang juga kontra pada gerakan komunis.
“SBII berafiliasi dengan International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU). ICFTU merupakan organisasi persatuan serikat-serikat buruh “non-komunis” internasional,” ungkap Afga.
“Merupakan (organisasi) tandingan dari World Federation of Trade Unions (WFTU) yang berhaluan komunis,” tegasnya.
Agfa menambahkan SBII bahkan aktif berkolaborasi dengan serikat buruh muslim yang ada di negara-negara muslim di dunia.
Penulis: Kukuh Subekti