ISLAMTODAY ID — Peristiwa perang mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Republik Indonesia nyatanya tidak hanya berlangsung di Jawa. Berbagai perlawanan sengit melawan kolonialisme Belanda pun banyak dilakukan di luar Jawa.
Peristiwa bersejarah demi utuhnya negeri yang kita cintai ini juga terjadi di Sulawesi Tengah (Sulteng). Tepat pada 6 Mei 1950 tiga kerajaan kecil di kawasan Sulteng menyatakan diri bergabung kembali dengan Republik Indonesia.
Tiga kerajaan kecil yang terdiri dari Kerajaan Kulawi, Kerajaan Palu dan Kerajaan Sigi Dolo memiliki arti penting bagi mosi integral Mohammad Natsir pada 3 April 1950. Ketiga kerajaan Islam tersebut memutuskan untuk keluar dari Negara Indonesia Timur (NIT), negara boneka buatan Belanda.
Kali ini kita akan menelusuri jejak-jejak peradaban dari tiga kerajaan yang terletak di dua di Sulteng yakni Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala. Ketiganya adalah kerajaan yang pernah melakukan peperangan melawan kolonialisme Belanda di provinsi terluas Sulawesi ini.
Dari sejumlah penelusuran yang dilakukan belum ditemukan terkait status kerajaan apakah kerajaan Islam atau bukan. Namun kita bisa memiliki sedikit gambaran yang pas untuk menggambarkan tiga kerajaan di Sulteng tersebut.
Kesultanan Gowa
Pada masanya ketiga kerajaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Kesultanan Gowa yang notabenenya merupakan kerajaan Islam yang besar di kawasan timur Indonesia. Sebuah kerajaan yang menjadi pusat kegiatan islamisasi di Sulawesi.
Khusus untuk Sulteng kekuatan Islam di sana bisa dilihat dari sejumlah fakta tentang peran ulama lokal. Ulama lokal memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan rakyat Sulteng melawan penjajahan.
Sebuah sumber berjudul “Sejarah Perjuangan Tadulako dari Tahun 1745 – 1942 di Sulawesi Tengah” karya Andi Gunu Lolo menjelaskan tentang seorang ulama lokal bernama Lasadindi. Ia adalah ulama yang berdakwah kepada suku Kaili.
Suku Kaili merupakan suku yang cukup besar. Mereka tersebar di beberapa kabupaten dan kota di Sulteng seperti Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kota Palu.
Perjanjian Bongaya
Kedatangan Belanda di tanah Kaili tidak bisa dilepaskan dari perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada Jum’at 18 November 1667. Perjanjian dilakukan oleh Sultan Hasanudin (Kesultanan Gowa) dan Kolonel Speelman dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
VOC dalam perjanjian Bongaya mengeluarkan aturan khusus kepada Belanda. Belanda menjadi negara Eropa satu-satunya yang diizinkan melakukan monopoli perdagangan di wilayah Kesultanan Gowa.
Salah satu imbas dari perjanjian tersebut adalah dilepaskannya kawasan Teluk Kaili di Sulteng. Teluk Kaili sempat dikuasai Kesultanan Ternate hingga akhirnya direbut paksa oleh VOC.
Dampak lainnya yang juga terjadi sebagai akibat dari Perjanjian Bongaya adalah proses migrasi besar-besaran orang-orang Bugis. Mereka menyebar ke berbagai kawasan di Nusantara misalnya Bali orang Bugis melakukan Islamisasi di sana.
Selain ke luar pulau Sulawesi, migrasi masyarakat Bugis juga dilakukan di Palu. Bukan tidak mungkin mereka juga melakukan islamisasi sebagaimana yang terjadi di Pulau Dewata.
Beberapa informasi dan keterangan tentang tiga kerajaan ini jumlahnya masih sangat terbatas. Padahal ketiganya menjadi saksi penting dinamika sosial yang terjadi di Sulawesi Tengah.
Berikut ini kiprah dan semangat juang tiga kerajaan kecil di Sulawesi Tengah yang memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) daripada menjadi negara bagian dibawah RIS.
- Kerajaan Kulawi
Ismail Syawal seorang penelti sejarah dari Pusat Penelitian Sejarah Universitas Tadulako menyebut bahwa hingga 2020 belum banyaknya rekonstruksi sejarah Sulawesi Tengah dilakukan. Terutama mengenai kiprah Kerajaan Kulawi yang dalam perkembangannya turut memberi andil penting bagi sejarah Sulawesi Tengah.
Kerajaan Kulawi merupakan kerajaan kecil yang terletak di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Ia terletak di Kecamatan Kulawi, sebuah kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Secara geografis kerajaan ini terletak di pedalaman Sigi sebab banyak dikepung oleh daerah dataran tinggi atau pegunungan. Mengingat lokasinya yang susah dijangkau membuat Belanda tidak leluasa melakukan serangan.
Salah satu sejarah penting di Kerajaan Kulawi yang dikemukakan oleh Ismail ialah Perang Kulawi terhadap Belanda pada awal-awal abad 20. Perang melawan Belanda tidak lepas dari upaya Belanda melakukan intervensi kekuasaanya yang menyeluruh di Nusantara.
Seluruh kerajaan baik besar maupun kecil masing-masing berusaha mempertahankan kekuasaannya. Hal ini pula yang terjadi di Kerajaan Kulawi.
“Perubahan itu tidak serta merta dapat diterima dengan baik oleh penguasa-penguasa lokal dan terkadang mereka melawan, memberontak, dan melakukan perjuangan untuk membebaskan diri dari perubahan yang ditimbulkan oleh kolonial Belanda,” kata Ismail dalam sebuah artikel berjudul Perang Kulawi: Wilayah Vorstenlanden di Sulawesi Tengah Abad 20.
“Perang Kerajaan Kulawi dengan Kolonial Belanda di awal abad XX merupakan bukti otoritas tradisional melawan pembaharuan yang dibawa oleh Kolonial Belanda,” jelas Ismail.
Ismail dalam jurnal ilmiahnya mengungkapkan sebuah fakta bahwa Kerajaan Kulawi sejak awal berdiri adalah kerajaan yang menentang kekuasaan Belanda di Sulawesi Tengah.
Raja pertama Kulawi adalah seorang perempuan bernama Hangkalea. Ismail menjelaskan pentingnya figur perempuan sebagai pemimpin atau raja di masyarakat Kulawi.
Pemimpin perempuan biasanya disebut dengan istilah Tina Ngata (Ibu Kampung).
Sosok Tina Ngata yang paling termasyhur dan disegani oleh semua kalangan termasuk Belanda ialah Hangkalea.
Ismail juga menjelaskan tentang penyebutan raja di kawasan Sulawesi Tengah, ia akan diberi gelar Magau, maka jika ia raja di Kulawi, Magau Kulawi.
Pada masa Hangkalea berkuasa ia dibantu oleh sang adek bernama Towoalangi. Ia adalah seorang panglima perang di Kerajaan Kulawi. Penyebutan seorang pemimpin perang juga ada istilah khas Sulawesi Tengah yakni Tadulako.
Ismail menjelaskannya dengan mengambil keterangan dari sebuah Kamus Kaili Ledo ‘Tadulakon panglima perang, kepala tentara, pahlawan. Warrior, hero, military leader.’
Peristiwa peperangan antara Kulawi dan Belanda dipimpin Towoalangi ini terjadi pada tahun 1904-1905. Sebanyak 1.500 pasukan Kulawi di bawah pimpinan Towoalangi melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Peristiwa bersejarah ini kemudian dikenang dengan perang Bulu Momi, (Bulu = Gunung, dan Momi = Potong). Gunung Potong merupakan benteng pertahanan bagi para pasukan Kerajaan Kulawi.
Peperangan berlangsung kurang lebih selama tiga bulan lamanya dan berujung pada ditandatanganinya perjanjian pendek pada 1908. Perjanjian ini terpaksa disetujui oleh Towoalangi setelah Belanda berhasil masuk ke ibukota kerajaan Kulawi pada 18 Januari 1905.
Ismail menjelaskan pula tentang dokumen Belanda tahun 1907 yang belum mencantumkan Kulawi sebagai daerah kekuasaanya. Dokumen berupa Lembaran Negara Hindia Belanda No.27 dan keputusan pemerintah No. 21, tertanggal 14 Januari 1907 hanya menyebutkan beberapa daerah seperti Banawa, Tawaeli, Palu, Biromaru, Sigi, dan Dolo.
Setelah Belanda sampai di ibukota pemerintahan Kulawi, raja Kulawi yang ketika itu dipimpin oleh Towoalangi menyerahkan diri pada Belanda. Baru setelah itu dilakukan penandatanganan perjanjian pendek.
“Towoalangi (Raja Kulawi) yang menandatangani Korte Verklaring pada tanggal 30 November 1908. Kontrak ini diperbarui oleh Raja Tomampe alias Tomai Masi 6 Desember 1917, dan terakhir Djiloi 8 April 1921,” ungkap Ismail.
Penandatanganan perjanjian ini seolah menandai awal mula kekuasaan Belanda di Kulawi dan Sigi pada umumnya. Bahkan Sulawesi Tengah dalam lingkup yang lebih luas.
- Kerajaan Palu
Kerajaan ini terletak di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Sebelum berdiri menjadi kerajaan kecil Palu merupakan kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.
Dikutip dari situs palukota.go.id kerajaan Palu ada sejak tahun 1796 dengan raja pertamanya Pue Nggari dan raja terakhirnya Tjatjo Idjazah pada 1960.
Tjatjo Idjazah adalah raja yang nantinya membacakan maklumat 6 Mei 1950. Sebuah maklumat bergabungnya mereka ke dalam NKRI.
Tjatjo Idjazah juga raja terakhir yang memiliki peninggalan sejarah berupa institusi pendidikan Islam di Kota Palu. Ia bersama Sayed Idrus bin Salim Al-Jufri seorang ulama dari Taris, Hadramaut di Arab Selatan mendirikan Perguruan Islam Al-Khairaat pada 1930.
Interaksi antara Kerajaan Sigi Dolo dan Belanda terjadi pada masa kekuasaan raja Maili (Mangge Risa) yang berkuasa pada tahun 1868-1888. Pada tahun 1888 bala tentara Belanda dan kapal-kapalnya tiba di wilayah kekuasaan Kerajaan Palu.
Dikutip dari buku Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) edisi tahun 2015 yang berjudul Citra Kota Palu dalam Arsip, kerajaan ini merupakan kerajaan dari suku Kaili. Interaksi pertama bangsa Eropa dan Kerajaan Palu ialah dengan bangsa Portugis.
Setelah Portugis, bangsa Belanda masuk dan melakukan serangan terhadap Kerajaan Palu.
Akibat perang yang berlangsung di Kayumalue, Raja Maili dari Kerajaan Palu pun gugur.
Ia digantikan oleh sang adik yang bernama Jodjokodi. Namun sang adik pun akhirnya tak bisa berbuat banyak dan menyetujui perjanjian pendek dengan Belanda.
“Tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek dengan pemerintah Belanda,” disalin dari buku Citra Kota Palu dalam Arsip halaman 4.
- Kerajaan Sigi Dolo
Kerajaan Sigi Dolo merupakan salah satu kerajaan yang berada di Kabupaten Donggala yang didirikan oleh suku bangsa Kaili. Peristiwa sejarah tentang kerajaan ini juga tidak banyak.
Salah satu rajanya yang terkenal sebagai pejuang melawan pihak kolonial Belanda adalah Raja Datu Pamusu. Ia adalah salah seorang aktivis Sarekat Islam (SI) organisasi pada masa HOS Tjokroaminoto.
Hal ini berdasarkan artikel ilmiah yang ditulis oleh Haliadi-Sadi seorang dosen prodi Sejarah, FKIP Universitas Tadulako dalam jurnalnya yang berjudul ‘Mandar dan Kaili: Korelasi Kekerabatan Kerajaan Islam dan Kerajaan Mandar’.
Haliadi menuliskan Kerajaan Sigi Dolo dengan Kerajaan Dolo. Ia menjelaskan sosok raja Datu Pamusu adalah seorang raja Dolo yang lahir pada tahun 1864 di Pesaku, wilayah Kerajaan Sigi Dolo.
Datu Pamusu naik tahta sebagai Magau Dolo menggantikan sang paman, Gantoelemba atau Tomai Kadundu yang meninggal dunia pada 15 November 1905. Sang paman meninggal akibat pertempuran kerajaan Sigi Dolo dengan pihak Belanda.
Haliadi menambahkan Datu Pamusu sebagai seorang raja yang telah mengenal perang dengan kolonial sejak usia 15 tahun. Saat itu ia ikut bersama sang ayah, Yolulemba dalam perang rakyat di Kayumalue (Kerajaan Palu).
“Kerajaan Dolo ikut membantu pasukan Kayumalue karena adanya ikatan kekeluargaan antara Penguasa Kayumalue dan Penguasa Dolo,” kata Haliadi dalam jurnalnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan sebab terjadinya perang Kayumalue ialah ketika mereka dipaksa menyetujui perjajian yang dibuat Belanda. Yakni perjanjian Acte van Bevestiging yang dilakukan oleh Kerajaan Tawaeli.
Penguasa Kayumalue merupakan salah seorang anggota Dewan Pitunggota (anggota dewan adat) di Kerajaan Tawaeli.
Perlawanan terhadap kolonial makin mendapat wadah ketika Datu Pamusu mendengar organisasi SI. Ia pun resmi menjadi anggota SI pada bulan Agustus tahun 1916, ketika Abdul Muis diutus oleh Tjokroaminoto ke Donggala untuk mengurus Pengurus SI Cabang Donggala.
Penulis: Kukuh Subekti