ISLAMTODAY ID — Jalur perdagangan internasional khususnya rempah-rempah merupakan bukti adanya Islamisasi Nusantara pada periode awal sebelum terbentuknya Kesultanan Islam. Diketahui, Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber alam terutama dari jenis rempah-rempah.
Rempah-rempah khas Nusantara seperti pala, cengkeh, kayu manis, lada, cendana, kemiri adalah komoditas dagang internasional yang banyak diburu oleh berbagai bangsa di dunia. Dari pulau Sumatera di bagian Barat Indonesia hingga Maluku di bagian Timur Indonesia adalah kawasan penghasil rempah.
Jalur perdagangan rempah merupakan jalur yang melintasi kawasan pesisir dan melahirkan banyak pelabuhan-pelabuhan dagang berskala internasional. Jika di Aceh ada Selat Malaka, di Jawa ada Pelabuhan Banten, Sunda Kelapa, Jepara, Cirebon dan Gresik maka hal senada juga terjadi di Bali.
Salah satu pelabuhan yang dimaksud adalah pelabuhan Julah, sebuah pelabuhan yang ada di pesisir Bali Utara. Tepatnya di Desa Julah, Kec. Tejakula, Kab. Buleleng.
Rochtri Agung Bawono, Pengajar Arkeologi Udayana yang juga Pendiri Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) mengungkapkan tentang sumber-sumber informasi terkait interaksi Islam dan Bali. Salah satunya dibuktikan dengan hadirnya pelabuhan internasional Julah.
Rochri menjelaskan sejak awal abad Masehi beberapa kawasan di Bali, khususnya Buleleng sudah memiliki bandar pelabuhan internasional. Pelabuhan itu bahkan menjadi saksi interaksi dari berbagai bangsa di dunia seperti India, China dan Timur Tengah.
“Bahwa sebenarnya Bali itu sudah bersentuhan dengan dunia luar khususnya adalah wilayah Bali Utara. Ada situs Julah, Sembiran, Pacung, Pangkungparuk, Gilimanuk, Tanjung Pasir, banyak sekali situs-situs yang ada di wilayah utara itu pada awal Masehi itu menunjukan adanya sebuah komunitas,” kata Rochri dikutip dari kanal youtube Ali Akbar berkabar (6/8/2020).
“Dari bukti-bukti arkeologis. Asalnya dari India, China bahkan Timur Tengah,” terangnya.
Buleleng merupakan kabupaten yang secara geografis terletak di Bali bagian utara memanjang dari sisi barat ke timur. Selain itu, Buleleng juga berbatasan langsung dengan Laut Utara Jawa dan Selat Bali (selat antara Jawa dan Bali).
Sementara pada saat yang sama kita memahami bahwa kawasan Pantai Utara Jawa adalah kawasan yang memiliki kaitan erat dengan dakwah Islam. Aktivitas dakwah Islam di Nusantara erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan yang berlangsung di bandar-bandar atau kota pelabuhan.
Berikut ini adalah bukti-bukti arkeologis yang menunjukan bahwa Bali memiliki bandar pelabuhan internasional yang diyakini ada sejak tahun 200 M. Sementara bukti arkeologis terkait interaksi Islam dan Bali sudah ada pada abad ke 11 Masehi.
Bukti-Bukti Arkeologis
- Gerabah, Cermin Perunggu dan Manik-manik
Rochri menyebutkan berbagai temuan arkeologis di Buleleng. Benda-benda arkeologis itu terdiri dari gerabah arikamedu (India) ditemukan di Sembiran dan Julah, lalu cermin perunggu era dinasti Han dari Cina di Pangkungparuk.
Sementara barang bukti arkeologis dari Timur Tengah ditemukan di Pangkungparuk. Benda arkeologis di sana dalam bentuk manik-manik yang berlapis emas yang berasal dari Persia.
- Prasasti Sembiran Abad 11 M
Bukti lainnya yang menjelaskan bahwa Bali merupakan bandar pelabuhan internasional adalah temuan prasasti. Bahkan ia berani mengatakan Julah merupakan pelabuhan internasional yang sudah ada pada abad ke 9-10 Masehi.
Hal ini ditandai dengan banyaknya kapal-kapal yang bersandar di kawasan Julah.
“Jadi Julah itu sebagai bandar internasional dengan berbagai jenis perahu (kapal). (Dikatakan) mereka (kapal) cumunduk-cumunduk artinya bersandar. Bersandar di Julah,” tutur Rochri.
Ia menduga pada masa itu para saudagar muslim juga singgah di Bali. Sebab pada abad, 9 dan 10 Masehi merupakan abad-abad kejayaan peradaban Islam.
Dia pun meyakini bahwa pada masa itu para saudagar muslim telah singgah di Julah. Dari bukti-bukti artefak yang ada di Buleleng tersebut sangat dimungkinkan untuk dijadikan bukti bahwa Islam pun telah ada di Bali sejak awal peradaban Islam.
“Apakah tidak ada indikasi bahwa saudagar-saudagar muslim itu mengunjungi Julah juga karena itu periodenya periode Sembilan dan periode sepuluh itu masa-masa keemasan di dunia Islam,” tegas Rochri Agung Bawono.
Bukti dugaan adanya interaksi para saudagar-saudagar muslim, dan masyarakat Bali juga ditemukan di dalam Prasasti Sembiran. Sebuah prasasti yang berangka tahun 987 Saka bertepatan dengan tahun 1065 Masehi.
“Berdasarkan Prasasti Sembiran A yang lempeng keempat, disana tahunnya 987 Saka atau abad sebelas, 1065 Masehi,” tuturnya.
Rochri menjelaskan dalam prasasti tersebut terdapat keterangan tentang komunitas Pesisir yang ditulis dalam bahasa Bali.
“Ada kata-kata rowangnya pasisi, pasisi itu artinya pesisir (pantai),” ujar Rochri.
“Rowangnya itu adalah model komunitas yang tinggal di pesisir itu sebenarnya merujuk pada adanya penyerangan dari pihak luar itu menyerang komunitas pesisir yang ada di Julah,” jelasnya.
Rochri lantas menyebutkan tentang siapa yang dimaksud dengan komunitas pesisir yang mendapat serangan. Komunitas itu ialah para pedagang muslim yang memang terkenal dan terbiasa tinggal di kawasan pesisir pantai.
Dugaan ini merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh antropolog Jerman Brigitta Hauser-Schaublin. Dimana ia menyimpulkan berdasarkan tren pada waktu itu komunitas yang terkenal kerap mendiami kawasan pesisir adalah komunitas saudagar Islam.
“Jadi ibu Brigitta mengindikasikan bahwa yang tinggal di wilayah pesisir periode-periode itu kemungkinan ada komunitas-komunitas Islam,” ucap Rochri.
“Kenapa, karena mereka sebagai saudagar. Kita lihat bahwa Sembiran dan Julah itu adalah desa yang bersebelahan. Ini yang menjadi indikasi (interaksi Islam dan Bali,” tuturnya.
- Seni Tradisional Melayu
Bukti-bukti yang menunjukan bahwa Islam telah singgah di Bali pada awal abad masehi juga terdapat dalam hasil sendratari tradisional di Desa Julah, Buleleng. Dalam salah satu adegan sendratari dihadirkan sosok tokoh Melayu.
Rochri menuturkan tokoh Melayu dalam salah satu adegan teater tradisional tersebut dicirikan dengan busana khas umat muslim di Melayu. Yakni menggunakan sarung, dan kopiah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk di Desa Julah diketahui bahwa orang Melayu memiliki jasa yang cukup besar dalam hal pengobatan.
Kesenian itu merupakan bentuk penghormatan masyarakat Julah kepada saudagar muslim yang dianggap mereka sebagai tabib.
“Sehingga dalam sendratari tradisional itu sampai sekarang masih ada adegan-adegan orang Melayu dan itu tidak bisa dihapus dari teater tradisional itu,” pungkas Rochri.
Penulis: Kukuh Subekti