ISLAMTODAY — Kesultanan Banten dan ulama bagaikan sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Kedekatan keduanya bahkan diakui oleh orientalis Barat seperti Snouck Hurgronje.
Ahmad Ginanjar Sya’ban seorang peneliti Naskah-Naskah Islam Nusantara menjelaskan tentang naskah karya ulama Banten yang tersimpan di negeri Belanda. Naskah yang berjudul Raf’u al-Hijab ‘an ‘Ara’is al-Khamsah al-Abwab karya Syekh Muhammad b. ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i al-Makki.
Naskah Raf’u al-Hijab kini tersimpan di Belanda tepatnya di kampus tempat Snouck menjadi salah satu guru besar, yakni Universitas Leiden.
“Teks kitab ini terhimpun dalam bundel naskah-manuskrip bernomor kode Or. 5660 koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dalam kumpulan C. Snouck Hurgronje,” kata Ginanjar yang juga Dosen Pasca Sarjana Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Jakarta di laman facebooknya pada (8/5/2020).
Pada tahun 1889, Snouck adalah orang Belanda yang sengaja didatangkan khusus oleh pemerintah kolonial. Ia diundang untuk menjadi penasihat khusus bagi pemerintah Belanda.
Selama beberapa tahun, Snouck sengaja ditugaskan untuk melakukan penelitian tentang Islam di Indonesia. Belanda mengakui untuk menghadapi kaum muslimin Indonesia tidak cukup hanya dengan senjata.
Berdasarkan misi khususnya itu, Snouck fokus pada dua kawasan yang dinilai miliki pengaruh kuat Islam yakni Aceh dan Banten. Hasilnya tentu sangat jelas bagaimana ikatan ulama dan pemimpin Islam menjadi tantangan berat bagi Belanda.
Hal ini bahkan dibuktikan dengan tata letak makam raja dan sultan sebagaimana riset terbaru yang dilakukan oleh Arkeolog UI, Ghilman Assilmi. Dilansir dari republika (19/6/2020) disebutkan bagaimana posisi makam raja selalu bersanding dengan makam para ulama.
Ulama dan Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda
Pada masanya Kesultanan Banten memang sangat lekat dengan ulama. Sejumlah aksi perlawanan Kesultanan Banten terhadap kolonialisme Belanda juga atas dorongan dari para ulama.
Sejak awal berdiri, ulama menjadi penopang jalannya pemerintahan di Kesultanan Banten. Para ulama yang memiliki kedekatan dengan Sultan Banten tak terhitung jumlahnya.
Mulai dari Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (utusan Sultan Demak), dan Syekh Yusuf Al-Makassari keduanya memimpin langsung aksi perlawanan kepada Belanda.
Begitu juga sosok Syekh Nawawi Al-Bantani (1813-1879), ulama abad ke-19 yang memompa semangat juang melawan kolonialisme Belanda. Ia guru dari sejumlah tokoh bangsa, sebut saja Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari.
Sosok Guru Dua Sultan
Kali ini kita akan secara khusus membahas sosok ulama abad ke 17, berjarak tidak jauh dari Syekh Al-Makassari. Ia adalah Syekh Muhammad b. ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i al-Makki.
Syekh Muhammad b. ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i al-Makki adalah ulama yang hidup pada masa Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, Sultan ke-4 (1596-1647 M) dan puteranya Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad, sultan ke-5 (1647-1651). Hal ini berdasarkan dua naskah hasil karyanya yang masing-masing berjudul berjudul al-Mawahib al-Rabbaniyyah fi Jawab al-As’ilah al-Jawiyyah dan Raf’u al-Hijab ‘an ‘Ara’is al-Khamsah al-Abwab.
Dua naskah di atas merupakan naskah yang sengaja ditulis khusus sebagai hadiah untuk dua sultan. Ia adalah guru ngaji dari dua penguasa Banten tersebut yang notabenenya kedua sultan adalah ayah dan anak.
Hadiah Untuk Sultan
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang kitab Raf’u al-Hijab ‘an ‘Ara’is al-Khamsah al-Abwab. Sebuah kitab keagamaan yang dipersembahkan khusus untuk Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad.
“Karya ini ditulis secara khusus oleh Syaikh Muhammad b. ‘Allan untuk menjawab beberapa buah pertanyaan seputar masalah-masalah keislaman yang diajukan Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad,” tutur Ginanjar.
Ginanjar lebih lanjut menjelaskan tentang latar belakang penulisan kitab tersebut pada halaman mukkadimah. Berikut ini kutipan dalam mukadimah (pembuka) pada Kitab Raf’u al-Hijab ‘an ‘Ara’is al-Khamsah al-Abwab.
“Di antara penyebab dari ditulisnya kitab ini adalah datangnya sebuah pertanyaan dari seorang pemilik kedudukan yang tinggi, seorang yang telah mencicipi minuman suci para Arif Billah, yang aku mencintainya, dan ia pun dicintai oleh kaumnya, seorang yang menjadi penghulu para cerdik pandai, yang menjadi pengalir mata air ilmu pengetahuan, yang mengabarkan akan tulus kehendaknya, sebagaimana tersurat dalam surat-suratnya, yaitu (Pangeran Anom) Abu al-Ma’ali Ahmad, putra seorang arif, raja (sultan) pemilik keluhuran, makna dan pengetahuan, saudaraku yang seumpama purnama dalam ilmu kemakrifatannya atas Allah SWT, yaitu [Sultan] Abu al-Mafakhir sang penguasa Banten. Semoga Allah memperlakukan keduanya dengan luapan kebaikan, dan melimpahi keduanya dengan kebajikan.”
“Maka aku pun menjawab pertanyaan darinya, juga memenuhi harapannya dengan menulis kitab ini. Dan aku namakan kitab ini dengan Raf’u al-Hijab ‘an ‘Ara’is al-Khamsah al-Abwab,” tulis Syaikh Muhammad b. ‘Allan dalam mukadimahnya.
Kitab ini termasuk dalam manuskrip sebab ditulis langsung dengan tangan. Seperti lazimnya manuskrip kuno lainnya di Nusantara, naskah warisan intelektual ulama abad ke-17 ini ditulis dalam bahasa Arab, aksara Jawa (ha na ca ra ka) dan Pegon (Jawa aksara Arab).
Ginanjar memaparkan alasan yang melatarbelakangi penulisan kitab Raf’u al-Hijab ‘an ‘Ara’is al-Khamsah al-Abwab oleh Syekh Muhammad b. ‘Allan. Bermula dari beberapa pertanyaan sang sultan yang tidak bisa dilepaskan dari tren perkembangan Islam saat itu.
“Di antara pertanyaan yang paling banyak disorot oleh Syaikh Muhammad b. ‘Allan adalah seputar masalah konsep ‘insan kamil’ (manusia sempurna) dalam wilayah kajian ilmu tasawuf sebagaimana yang dikembangkan oleh Syekh ‘Abd al-Karim al-Jili,” tutur Ginanjar.
Puncak Kejayaan Kesultanan Banten
Ginanjar menyebut pada abad ke-17 tersebut Kesultanan Banten mencapai masa puncak kejayaannya. Banten telah mampu menjalin hubungan diplomatik dengan sejumlah negara besar di Eropa dan Timur Tengah.
Banten juga mengalami kemajuan dan perkembangan dalam pemikiran dan keilmuan Islam. Hal ini didukung oleh jejaring intelektual ulama yang luas.
“Kesultanan Banten menjadi salah satu episentrum perkembangan pemikirian dan tradisi keilmuan Islam di Nusantara yang penting, selain banyak memiliki sejumlah ulama besar yang terhubung dengan jaringan intelektual yang kosmopolit yang menghubungkan wilayah Nusantara dengan dunia Islam secara lebih luas,” pungkasnya.
Salah satu kemajuan yang terjadi di era Kesultanan Banten abad ke-17 ialah berkembangnya aliran tasawuf di sana. Pada saat yang sama ilmu tasawuf sedang berkembang pesat di dunia Islam.
Wajar jika kemudian ulama yang juga guru ngaji dua sultan di atas menuliskan sebuah manuskrip khusus sebagai jawaban atas dinamika pemikiran yang sedang terjadi kala itu. Raf’u al-Hijab ‘an ‘Ara’is al-Khamsah al-Abwab menjelaskan mengenai konsep insan kamil yang disebarkan oleh Syekh ‘Abd al-Karim al-Jili.
Sebuah gagasan yang pernah dibawa oleh filsuf muslim, Ibnu Arabi pada abad ke-13 dengan istilah ‘manusia ideal’. Gagasan itu kemudian kembali digelorakan oleh para sufi beberapa abad-abad kemudian, salah satunya konsep insan kamil oleh Syekh ‘Abd al-Karim al-Jili seorang ulama asal Baghdad.
Dilansir dari banteninfo (15/4/2019) pada saat itu Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, Sultan ke-4 di Banten melakukan penyalinan kitab tasawuf karya Syekh ‘Abd al-Karim al-Jili. Sang sultan melakukan penyalinan dan penerjemahan kitab Insan Kamil ke dalam bahasa Jawa (khas Banten).
Penulis: Kukuh Subekti