ISLAMTODAY ID — Organisasi perempuan Aisyiyah milik Muhammadiyah yang diresmikan pada 19 Mei 1917 merupakan organisasi penting bagi kepentingan dakwah Islam. Lahirnya sekaligus jadi pembaharu bagi gerakan perempuan Islam pada masa itu.
Mendobrak Tradisi Pingitan
Salah satu tradisi yang berlaku bagi kalangan perempuan di Jawa khususnya era kolonial adalah tradisi pingitan. Tradisi ini membatasi ruang gerak perempuan termasuk mengakses pendidikan.
Alwi AS dalam bukunya ‘Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat yang Keliru Tentang Islam’ tahun 1981 mengatakan bahwa hingga abad 20 perempuan memiliki dua masalah serius. Pertama terkait tradisi pernikahan dan kedua terkait akses pendidikan.
Tradisi pingitan berlaku di kalangan bangsawan seperti yang dialami oleh Kartini. Selain Kartini pada masanya Siti Walidah masih melihat fenomena serupa.
Siti Walidah yang tumbuh dikalangan ulama dan bangsawan memiliki hak istimewa. Sejak remaja sudah diberikan kesempatan untuk mengajar di langgar milik sang ayah Muhammad Fadil yang kelak menjadi modal dalam pendirian Aisyiyah.
Kehadiran Siti Walidah dan organisasi Aisyiyah tentu menjadi oase bagi kejumudan kehidupan perempuan akibat tradisi pingitan. Aisyiyah mampu memberikan pengetahuan-pengetahuan baru bagi muslimah di Indonesia, terutama dari sisi memabaca dan menulis.
“Siti Walidah mengadakan pengajian-pengajian yang diperuntukan bagi kaum perempuan, seperti pengajian remaja putri, para orang tua, juragan (majikan/ pengusaha) batik dan tidak terabaikan para buruh batik. Para orang tua yang tidak berkesempatan mengeyam pendidikan di usia muda diajar membaca dan menulis Arab, ditambah tulisan latin. Waktu belajar dipilih setelah Maghrib, menyesuaikan waktu luang mereka sehingga diberi nama Maghribi School. Jumlah pesertanya dikisaran 20 orang, usianya sebaya dengan Siti Walidah,” dikutip dari Buku Covering Aisyiyah: Dinamika Gerakan Perempuan Islam Berkemajuan hlm. 66-67 tahun 2020.
Lewat Aisyiyah Ki Haji Ahmad Dahlan mendobrak tradisi pingitan dengan mempermudah akses pendidikan bagi perempuan. Aisyiyah memperluas pendidikan agama untuk perempuan, membangun masjid, membentuk kelompok membaca Al-Qur’an dan menerbitkan majalah, jurnal keagamaan.
Aktif Dakwah
Sebagai organisasi dakwah, Aisyiyah menjalankan fungsinya dengan baik. Sejak resmi berganti nama dari Sopo Tresno (kelompok pengajian) pada 19 Mei 1917, organisasi ini mulai aktif bergerak membersamai Muhammadiyah.
Kisah ini diungkapkan oleh Nasirudin, Sekretaris Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Magelang. Menurutnya Ki Haji Ahmad Dahlan kerap mengajak Aisyiyah yang diketuai oleh Siti Bariyah.
“Seorang Siti Bariyah itu mampu menguasai bahasa Belanda dengan fasih dan mulai tahun itu (1917) kemudian sering (diajak) oleh Ki Haji Ahmad Dahlan untuk melakukan perjalanan pengajian dakwah di kantor-kantor pemerintah serta sekolah-sekolah di jaman Belanda,” kata Nasirudin dilansir dari kanal youtube KajianMU MGL (14/3/2021).
Pada kesempatan Siti Bariyah dan temannya Siti Wasilah kerap membersamai safari dakwah Ki Haji Ahmad Dahlan. Mereka mendapat tugas untuk membacakan ayat Al-Qur’an beserta terjemahnya dalam bahasa Belanda.
“Biasanya Ki Haji Ahmad Dahlan memanggil Siti Wasilah. Siti Wasilah diminta untuk membaca Al-Qur’an dengan lagu yang bagus kemudian diminta Siti Bariyah menerjemahkannya dalam bahasa Belanda,” Nasirudin.
“Kemudian baru diterangkan oleh Ki Haji Ahmad Dahlan tentang makna (ayat Al-Qur’an) itu,” jelasnya.
Prestasi Aisyiyah
Nasirudin juga menjelaskan sejumlah kiprah Aisyiyah pada masa Siti Bariyah selama menjabat (1917-1927). Dalam waktu yang cukup cepat, selang dua tahun setelah berdiri, Aisyiyah mendirikan sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD).
Pada 24 Agustus 1919 itu, berdirilah sekolah paud pertama di Indonesia milik Aisyiyah yang bernama Froubel Kindergarten Aisyiyah.
“Ini merupakan Paud yang pertama di negara Indonesia yang dikelola oleh pribumi tahun 1919 di Kauman, Yogyakarta,” ungkap Nasirudin.
Lalu pada 1920, Aisyiyah mampu mendirikan Siswa Praja Wanita (SPW) yang selanjutnya berubah nama menjadi Nasyiatul Aisyiyah (NA) pada 1931.
Prestasi yang tak kalah mengagumkan ialah kemampuannya dalam hal literasi. Pada tahun 1923 ia telah mampu menempatkan posisinya sebagai sosok intelektual Muhammadiyah.
Gagsan intelektualnya dimuat dalam koran Suara Muhammadiyah edisi No.IX Tahun ke-4 bulan September 1923 dengan judul Tafsir Maksud Muhammadiyah.
Ia juga mendedikasikan dirinya dalam bidang jurnalistik. Hal ini dibuktikan dengan usahanya merintis pendirian Majalah Suara Aisyiyah pada September 1926.
Dedikasi dan karyanya yang besar di atas kepada umat sangat patut diapresiasi. Namanya mungkin tak seterkenal sang kakak yang juga tokoh Muhammdiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Fachruddin, Muhammad Syujak.
Ia wafat pada usia 27 tahun ketika melahirkan puteranya yang ketiga.
Penulis: Kukuh Subekti