ISLAMTODAY ID — Setiap tanggal 19 Mei, diperingati sebagai hari lahir Aisyiyah. Sebuah organisasi perempuan pertama milik Muhammadiyah.
Kelahiran Aisyiyah pada perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari visi misi kelahiran Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan ormas yang berdiri di tengah ancaman kristenisasi sistematis yang mengancam kawasan Yogyakarta dan Solo.
Berikut ini situasi sosial kelahiran Muhammadiyah (1912) dan Aisyiyah (1917). Awal abad 20 dunia Islam khususnya Indonesia tengah hadapi ancaman serius.
Ancaman tersebut meliputi kebijakan politik etis Belanda (1901) dan agenda penginjilan dunia yang disusun secara ilmiah dengan penelitian-penelitian di negara-negara Islam sejak 1911.
Pada tahun 1912 di kawasan hinterland atau kota penyangga dari kedua pusat kekuasaan Kesultanan tersebut, telah berdiri pusat-pusat pendidikan Kristen yang bisa kita lihat hingga hari ini. Kawasan yang dimaksud adalah Ungaran, Salatiga, Magelang, Kebumen, Boyolali.
Kehadiran pusat pendidikan Kristen pada saat itu dipandang sebagai bentuk ancaman serius bagi kaum muslimin di tanah Jawa. Sebab, pada saat yang sama penguasa keraton diminta mencabut aturan tentang larangan melakukan penginjilan kepada masyarakat Jawa (Alwi Shihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen).
Kebijakan politik etis yang paling berbahaya bagi kalangan muslim adalah di bidang pendidikan. Pemerintah kolonial secara resmi mulai mengembangkan sekolah-sekolah zending di Indonesia.
Tokoh Zending ternama pada masa itu ialah Dr. Samuel Marinus Zwemer, seorang keturunan Yahudi berkebangsaan Amerika.
Melawan Propaganda Samuel Zwemer
Pada tahun 1911 di Amerika Serikat (AS), satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330H/18 November 1912, Samuel Zwemer merintis berdirinya majalah tiga bulanan The Muslim World.
Sebuah majalah yang memuat berbagai hasil analisis ilmiah mereka tentang agama Islam di negara-negara Islam di dunia.
Zwemer pada masanya juga dikenal sebagai sosok misionaris yang berpengaruh di dunia. Dilansir dari biokristisabda, Zwemer menghabiskan waktu hingga 38 tahun lamanya sebagai misionaris di kawasanTimur Tengah.
Di sela-sela tugasnya sebagai misionaris untuk negara-negara teluk itu, pada tahun 1922 ia sempat singgah ke Indonesia untuk mengisi ceramah di sejumlah gereja (Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar).
Saat itu di tanah air, Kiai Haji (KH) Ahmad Dahlan tengah semangat melawan kristenisasi dengan mengundang para pendeta untuk melakukan debat terbuka.
Undangan debat pun dikirim kepada Samuel Zwemer. KH Ahmad Dahlan sangat paham siapa sosok Zwemer.
Ia adalah misionaris ternama Kristen Protestan. Sebuah agama yang juga merupakan agama resmi Kerajaan Belanda.
Zwemer adalah pihak yang menyerukan agar organisasi Kristen di dunia bersatu padu melakukan penginjilan. Seruan ini disampaikannya dalam sejumlah forum Konferensi Kristen Internasional.
Dikutip dari laporan Hidayatullah (7/5/2003), konferensi tersebut diadakan dibeberapa negara mulai dari Kairo (1324 H/1906 M), lalu di Edinburg, Skotlandia (1328 H/1910 M). Termasuk konferensi di India (1339 H/1911 M).
Dalam sumber lainnya diungkapkan juga bahwa Zwemer tidak cukup nyali untuk memenuhi undangan debat KH Ahmad Dahlan. Sebab dalam beberapa kesempatan debat yang sudah-sudah tidak seorang pun pendeta yang bisa melawan argumentasi sang kiai.
Kisah ini kemudian diabadikan oleh Ki Hajar Dewantara dalam artikelnya di koran Darmokondo (Solo). Ia memberikan judul artikelnya dengan judul “Dr. Zwemmer tidak mampu menghadapi KH Ahmad Dahlan”.
Tepis Tudingan Misionaris
Lahirnya Aisyiyah sebagai wadah kegiatan para muslimah juga sebagai bantahan atas pernyataan Zwemer. Dilansir dari buku berjudul K.H. Ahmad Dahlan yang diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional edisi 107 tahun Kebangkitan Nasional disebutkan bahwa Zwemmer menuduh Islam tidak berpihak pada perempuan.
“Ia (K.H. Ahmad Dahlan) membantah pendapat Mr. Zwemer bahwa Islam tidak banyak memperhatikan wanita dan anak-anak.” Hlm.118.
Tudingan yang disampaikan oleh Zwemer terhadap Islam tentu sangat tidak beralasan. Jauh sebelum kedatangannya ke Indonesia pada 1922, Kiai Ahmad Dahlan telah memberikan perhatian serius pada anak-anak dan kaum perempuan.
Beberapa bukti kepeduliannya juga terdokumentasi dengan baik dalam produk pers saat itu. Tersirat dari dua artikel berita yang dimuat kala itu.
KH Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah itu memberikan hak yang sama pada perempuan.
Santri Perempuan
Koran Bromartani di Solo yang terbit pada 15 September 1915 M memberitakan tentang sosok K.H. Ahmad Dahlan (Ketib Amin Djokja) yang mengajak santrinya baik laki-laki maupun perempuan pergi berwisata.
Artikel yang kedua masih dari Bromartani terbit pada 2 Dzulkaidah 1345 H (1915 M) menyebutkan bahwa Ki Haji Ahmad Dahlan tengah memberikan pengajaran kepada santri perempuan di rumah Mas Kaji Muhammad Kalil yang terletak di kawasan Masjid Kauman Solo.
Pangajian Sopo Tresno, Embrio Aisyiyah
Sebelum berita itu tayang, ia dan sang istri Siti Walidah telah lebih dulu merintis berdirinya kelompok pengajian Sopo Tresno (Siapa Cinta) khusus bagi perempuan.
Pada kelompok kajian Sopo Tresno para muslimah diberikan pengajaran tentang agama dan umum. Mereka dibekali dengan pelajaran membaca dan menulis Arab serta menulis latin.
“Siti Walidah mengadakan pengajian-pengajian yang diperuntukan bagi kaum perempuan, seperti pengajian remaja putri, para orang tua, juragan (majikan/ pengusaha) batik dan tidak terabaikan para buruh batik. Para orang tua yang tidak berkesempatan mengeyam pendidikan di usia muda diajar membaca dan menulis Arab, ditambah tulisan latin. Waktu belajar dipilih setelah Maghrib, menyesuaikan waktu luang mereka sehingga diberi nama Maghribi School. Jumlah pesertanya dikisaran 20 orang, usianya sebaya dengan Siti Walidah,” dikutip dari Buku Covering Aisyiyah: Dinamika Gerakan Perempuan Islam Berkemajuan hlm. 66-67 tahun 2020.
Satu hal yang harus digarisbawahi pada masa itu perempuan belum memiliki hak yang istimewa dalam dunia pendidikan. Sejak umur 9 tahun ia sudah memasuki masa pingitan, tentu situasi ini adalah persoalan serius yang sangat diperhatikan oleh kedua tokoh utama Muhammadiyah.
Dari Sopo Tresno inilah tiga tahun kemudian, tepatnya pada 19 Mei 1917 lahir Aisyiyah. Aisyiyah terinspirasi pada sosok Siti Aisyah, istri Rasulullah yang cerdas, berilmu dan mendukung dakwah Rasulullah.
Kelahiran Aisyiyah tentu dalam rangka mendukung dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Aisyiyah menempatkan perempuan sebagai subyek dakwah untuk membendung arus Kristenisasi.
Hal ini terbukti dengan kerap dilibatkannya Aisyiyah dalam kegiatan dakwah keliling Muhammadiyah. Baik itu di kantor-kantor maupun sekolah-sekolah milik pemerintah pada era kolonial.
“Siti Bariyah (Ketua Aisyiyah pertama) itu mampu menguasai bahasa Belanda dengan fasih dan mulai tahun itu (1917) kemudian sering (diajak) oleh Ki Haji Ahmad Dahlan untuk melakukan perjalanan pengajian dakwah di kantor-kantor pemerintah serta sekolah-sekolah di jaman Belanda,” ungkap Nasirudin, Sekretaris Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Magelang dilansir dari kanal youtube KajianMU MGL (14/3/2021).
Penulis: Kukuh Subekti