ISLAMTODAY ID —- Sultan Mehmed II melakukan sejumlah perubahan setelah sukses menaklukkan Imperium Romawi Timur, Bizantium. Perubahan paling mencolok ialah beralih fungsinya Gereja Hagia Shopia sebagai masjid, dengan ditandai oleh Shalat Jum’at.
Peristiwa Shalat Jum’at perdana di Masjid Hagia Shopia tersebut berlangsung pada 1 Juni 1453. Shalat Jum’at perdana di Konstantinopel ini bahkan dipimpin langsung oleh sultan yang bergelar Al-Fatih (Sang Pembebas).
Ketika akan dilaksanakan ibadah shalat Jum’at perdana ini timbul permasalahan tentang siapa yang layak menjadi imam.
Dikisahkan bahwa sang sultan segera berdiri dihadapan para pasukan dengan berdialog tentang kriteria calon imam mereka. Sultan Al-Fatih mengajukan tiga pertanyaan mendasar dan esensial bagi calon imam Shalat Jum’at di Hagia Shopia.
Pertama, sultan bertanya tentang siapa diantara para pasukan yang semenjak usia baligh selalu menjaga shalat lima waktunya.
“Siapakah di antara kalian yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan salat wajib lima waktu, silakan duduk,” kata Sultan Al-Fatih.
Saat itu seluruh pasukan kaum muslimin berdiri semua, tidak ada seorang pun dari mereka yang duduk. Artinya mereka semua lulus pada tahap pertama.
Kedua, sultan bertanya juga tentang ibadah shalat, namun kali ini shalat sunah rawatib.
“Siapa diantara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan salat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat rawatib sekali saja silakan duduk,” ucapnya.
Pada tahap ini satu persatu pasukan kaum muslimin sudah mulai ada yang duduk.
Ketiga, sultan bertanya perihal shalat bagaimana ibadah qiyamul lail atau shalat tahajud mereka.
“Siapa di antara kalian yang sejak masa akhil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajjud di kesunian malam?” Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk” tegas Sultan Mehmed II.
Pada pertanyaan ini yang tersisa hanyalah sang sultan, yang kala itu masih berusia belia yakni 21 tahun.
Dari hasil dialog antara sang pemimpin dan para anggota pasukan Islam itulah, Sultan Muhammad Al-Fatih menjadi satu-satunya orang yang layak menjadi imam dan khatib Jum’at.
Riwayat Hagia Shopia
Hagia Shopia sebelum dimanfaatkan sebagai masjid oleh kaum muslimin dari Turki Utsmani merupakan sebuah gereja. Tepatnya gereja dari Kristen Ortodoks (661 tahun) sempat pula menjadi Gereja Katolik (57 tahun, 1204-1261).
Selanjutnya hingga penaklukkan Konstantinopel, fungsi Hagia Shopia kembali menjadi gereja milik Kristen Ortodoks. Pada masanya Haga Shopia merupakan gereja terbesar di dunia.
Setelah Sultan Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel fungsi dari gereja ini kemudian diubah dengan menjadikannya masjid. Status Hagia Shopia sebagai masjid bertahan sejak 1453 hingga 1931.
Setelah itu di tangan pemerintahan yang sekuler, Mustafa Kemal, Hagia Shopia tidak lagi difungsikan sebagai masjid. Sejak saat itu hingga 23 Juli 2020, Hagia Shopia berubah status menjadi bangunan museum.
Satu hari berikutnya di tengah-tengah suasana pandemi Covid-19 tepat pada 24 Juli 2020, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengembalikan fungsi Hagia Shopia sebagai masjid. Lagi-lagi ibadah pertama kali yang dilakukan oleh umat Islam adalah Shalat Jum’at.
Pusat Studi Islam di Eropa
Seperti namanya Hagia Shopia atau Ayasofya yang bermakna matahari. Masjid ini kemudian memberikan pengaruh bagi dakwah Islam era Utsmani di Eropa mulai menyebar. Sejarah persebaran Islam di tanah Eropa salah satunya terjadi pasca penaklukkan Konstantinopel di tahun 1453.
Dikutip dari jurnal Tarbiyah Islamiyah edisi No.2 Juli-Desember 2016 disebutkan bahwa masuknya Islam ke Eropa sudah ada sejak era Daulah Umayyah (711). Islam menyebar dan masuk ke Eropa dari beberapa titik di Eropa seperti Barat (Andalusia dan Cordoba), Tengah (Sicilia, Italia Selatan), dan Timur (Konstantinopel).
Sementara itu dari laman Hidayatullah (29/7/2020) dijelaskan bahwa Masjid Hagia Shopia pada masa Utsmani merupakan pusat studi Islam. Hal ini ditandai dengan turut didatangkannya para ulama-ulama terkemuka masa itu.
Sultan Al-Fatih mendatangkan sosok Allamah Khasru bin Muhammad Al Hanafi yang selanjutnya juga menjadi qadhi di Istanbul (Konstantinopel). Ulama berikutnya ialah Alauddin Al Qawusyji (879 H) seorang fuqaha Madzhab Al Hanafi.
Tidak hanya dua ulama di atas, nama berikutnya yang juga merupakan ulama ternama di Masjid Hagia Shopia ialah Syeikh Muhyiddin Muhammad An Niksari Al Hanafi (901 H). Ia merupakan salah satu guru di madrasah yang ada di Istanbul.
Syeikh Muhyidin kerap kali mengingatkan kepada para jamaah masjid khususnya dalam mimbar khutbah jum’at. Bahkan ia juga menjadi guru tafsir khusus tafsir Al Baidhawi, metode tafsir Al-Qur’an dengan menyesuaikan urutan ayat dan surat dalam Al-Qur’an.
Pada masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni (Sultan ke-10 Turki Utsmani) berkuasa, terdapat ulama terkemuka bernama Abdul Karim. Ia mengajarkan tentang ilmu tasawuf, sama seperti pendahulunya sultan juga menunjuk ulama di Hagia Shopia sebagai mufti.
Madrasah dan Murid Berbagai Negeri
Banyaknya ulama juga disertai dengan banyaknya pembangunan madrasah di Istanbul. Misalnya Zawiyah Al Khalwatiyah (Syeikh Abdullah Al-Quraimi).
Pada masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni berdirilah Madrasah As Sulaimaniyah. Sebuah madrasah yang kelak menjadi induk dari madrasah-madrasah As Sulaimaniyah di beberapa kota penting Islam seperti Damaskus, Kairo dan Makkah.
Banyak murid-murid asing pun berdatangan ke Konstantinopel dari berbagai kawasan di dunia Islam. Misal Al Muhaddits Asy Syihab Ahmad Ali Al Ghazi Asy Syafi’i (Mesir), Ahmad bin Abdul Qadi Ad Dimasyqi Al Hanafi (Damaskus), Alauddin Al Qawusyji (Samarkand).
Penulis: Kukuh Subekti