ISLAMTODAY ID — Jamaah Haji asal Aceh memprotes tindakan kesewenang-wenangan Belanda terhadap mereka. Protes ini disampaikan langsung kepada Kesultanan Turki Utsmani.
Aksi protes ini terungkap dalam secarik naskah yang memuat protes para jamaah haji asal Aceh, naskah tersebut diyakini telah ada sejak tahun 1289 H/1872 M.
Dalam surat yang ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Arab tersebut dijelaskan bahwa penulis surat tersebut adalah jamaah haji asal Aceh.
“Kami yang mengajukan laporan ini kepada tuan adalah adalah jama’ah haji Baitullah Al-Haram dari rakyat Aceh,” tulis mereka dalam surat yang sudah diterjemahkan dan dimuat di laman resmi mapesa aceh (7 Oktober 2018).
Dalam surat tersebut terungkap bahwa para jamaah haji menjadi korban aksi pemerasan yang dilakukan oleh pihak Belanda. Masing-masing jamaah ditarik uang sebesar tiga riyal, selain itu mereka juga mendapatkan perlakuan yang kasar.
Awalnya para jamaah haji asal Aceh menolak untuk memenuhi perintah Belanda, namun Belanda tidak kehabisan akal. Mereka dengan angkuhnya mengatasnamakan penguasa Utsmani untuk memuluskan aksi jahatnya itu.
“Ketika berada di laut dan setelah kami turun ke kapal, Konsul Belanda dan bajak lautnya, mehadang kami dan memberhentikan kami berkali-kali seolah-olah kami ini tawanannya. Ia juga bertindak kasar dan mencoba memungut paksa dari kami tiga riyal per-orang,” tulis jamaah haji asal Aceh dalam suratnya.
“Mula-mula, kami menolak untuk menyerahkannya dengan alasan kami bukanlah rakyat dia, dan dia tidak punya hak apapun terhadap kami. Tapi kemudian dia menjawab bahwa itu adalah perintah dari Daulah ‘Aliyyah (Utsmani). Lantaran kami adalah rakyat Daulah Al-‘Aliyyah, maka kami turuti perintah Daulah,” imbuh mereka.
Jamaah haji asal Aceh tersebut meminta agar penguasa Daullah Utsmani turun tangan menangani permasalahan itu.
“Maka paparan ini datang ke Jenjang Tangga Daulah ‘Utsmaniyyah meminta supaya seorang pejabat Daulah hendaknya sampai ke Aceh.”
Para jamaah haji Aceh beharap penguasa Daullah Utsmani selaku pelindung bagi rakyat Aceh bersedia untuk mengirimkan pejabatnya untuk datang langsung ke Aceh. Sehingga mereka merasakan hadirnya penguasa yang membawa rasa adil bagi kaum muslimin di Aceh.
Selain itu Daullah Utsmani juga harus melarang Belanda melakukan tindakan merampas harta milik jamaah haji Aceh.
Surat Jamaah Haji Aceh ke Turki Utsmani
Berikut ini kutipan lengkap isi surat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
Laporan Jakarleri Darkoh (Persia; kurang lebih artinya “Pelayan Istana Tuan”)
Setelah doa yang wajib selesai amal-amal yang wajib dan sunat, kami yang mengajukan laporan ini kepada Tuan adalah jama’ah haji Baitullah Al-Haram dari rakyat Aceh di mana kami telah datang ke negeri-negeri tanah Al-Haram yang berada dalam naungan kesultanan yang bercahaya.
Maka ketika berada di laut dan setelah kami turun ke kapal, Konsul Belanda dan bajak lautnya (?) mehadang kami dan memberhentikan kami berkali-kali seolah-olah kami ini tawanannya. Ia juga bertindak kasar dan mencoba memungut paksa dari kami tiga riyal per-orang. Mula-mula, kami menolak untuk menyerahkannya dengan alasan kami bukanlah rakyat dia, dan dia tidak punya hak apapun terhadap kami. Tapi kemudian dia menjawab bahwa itu adalah perintah dari Daulah ‘Aliyyah. Lantaran kami adalah rakyat Daulah Al-‘Aliyyah, maka kami turuti perintah Daulah.
Sebagaimana pada kenyataannya, dan sudah dimaklumi oleh semua orang bahwa rakyat Aceh adalah orang-orang yang merdeka. Pemerintahnya dari mereka sendiri, dan mereka semua adalah rakyat dan vasal dari Daulah Al-‘Aliyyah sejak zaman yang lampau yang mana rakyat Aceh mengibarkan bendera-berdera Daulah Al-‘Aliyyah di negeri mereka serta bernaung di bawahnya dalam menghadapi musuh-musuh.
Tidak pernah Belanda dan kaki tangannya (kaki tangan itu kiranya adalah pribumi di bawah jajahan Belanda—penj.) punya hak apapun bentuknya terhadap rakyat Aceh, dan rakyat Aceh sama sekali tidak pernah mengizinkan seorang Belanda dan kaki tangannya pun tinggal di negeri mereka sekalipun untuk berdagang.
Bahkan, rakyat Aceh dengan sebab bernaung di bawah naungan kesultanan yang bercahaya senantiasa menjaga negeri mereka dari seluruh musuhnya, dan dengan karunia Allah, musuh tidak pernah dapat menguasai apapun yang merupakan miliknya.
Sementara itu, tugas-tugas Daulah Al-‘Aliyyah yang di atasnya terdapat tanda tangan Daulah Al-‘Utsmaniyyah masih dalam pegangan rakyat Aceh sampai sekarang dan seolah menjadi benteng yang kokoh bagi mereka. Maka paparan ini datang ke Jenjang Tangga Daulah ‘Utsmaniyyah meminta supaya seorang pejabat Daulah hendaknya sampai ke Aceh untuk menerima tugas-tugas tersebut sehingga dapat menjadi ancaman bagi Belanda sebab mereka tahu bahwa rakyat Aceh dan tanah air mereka adalah bagian dari Daulah Al-‘Aliyyah.
Oleh karena Tuan adalah salah seorang dari mereka yang mengokohkan pilar-pilar Daulah Al-‘Utsmaniyyah serta seorang yang menjaga dan menjauhkan marabahaya dari seluruh rakyat dan semua kerajaan serta seluruh pihak yang bernaung di bawah kesultanan yang bercahaya, maka kami beranikan diri untuk mengajukan laporan ini kepada Tuan agar kami mendapatkan dari keadilan dan ketinggian tekad Tuan suatu keadilan supaya dikembalikan apa yang telah diambilnya secara semena-mena dari kami sekaligus melarangnya mencerobohi rakyat Aceh. Pengeluaran larangan tersebut adalah untuk menjaga agar jangan sampai rakyat Aceh tahu di suatu hari kemudian bahwa pengambilan tiga Riyal itu adalah atas perintah Konsul Belanda, sehingga masalah akan berkembang kepada hal-hal yang tidak baik. Dan persoalan ini akhirnya terpulang kepada hadarat yang kepadanya dipulangkan persoalan. Afandim.
Sentimen Penjajah Terhadap Haji
Sejak awal kedatangan kolonialis Barat ke Nusantara, baik Belanda maupun Inggris menganggap bahwa haji sebagai ‘ancaman’ politik mereka. Mereka berusaha membatasi dan melarang umat Islam di Nusantara melaksanakan ibadah haji.
Aturan larangan haji yang diterapkan pemerintah kolonial secara resmi bernama ordonansi agama. Peraturan ini dikeluarkan dan berlaku sejak Gubernur Jenderal Reyneirs pada 7 Maret dan 28 November 1651.
Bahkan aturan yang melarang aktivitas agama apappun kecuali Protestan ini berlaku hingga 1691 era Gubernur Jenderal Campoeijs.
Selanjutnya pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808) dan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Rafles (1811) para calon jamaah haji diharuskan memiliki surat ijin perjalanan atau paspor.
Tidak cukup sampai di situ, khusus Jawa dan Madura Belanda sangat memperketat aturan haji, keluarnya Resolusi 1825. Aturan yang memberlakukan sistem kuota haji ini bermula sejak adanya laporan dari Residen Batavia tentang 200 calon jamaah haji yang mengurus paspor.
Resolusi Gubernur Jenderal No.9 yang dikeluarkan pada 18 Oktober 1825 tersebut menetapkan sejumlah aturan dengan maksud membatasi jumlah calon jamaah haji. Pertama para calon jamaah dikenai biaya 110 gulden.
Bagi mereka yang tidak memiliki paspor akan dikenai denda hingga 1000 gulden. Pada masa itu 1000 gulden merupakan jumlah uang yang sangat besar.
Enam tahun kemudian (1831) denda 1000 gulden oleh Belanda dikurangi menjadi 220 gulden atau dua kali lipat biaya pembuatan paspor haji.
Penulis: Kukuh Subekti