ISLAMTODAY — Kedudukan ilmu sains di bawah naungan Islam telah mencapai sebuah posisi yang sangat hebat. Bahkan menempatkan kaum muslimin sebagai pelopor di dunia.
Kaum muslimin menguasai puncak-puncak ilmu pengetahuan seperti mereka menguasai ubun-ubun dunia. Banyak kalangan yang akhirnya mengakui kepeloporan kaum muslimin dalam memajukan ilmu pengetahuan.
Pendapat pertama yang membuktikan kehebatan kaum muslimin disampaikan oleh Martin Bernal yang dikutip dari buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia yang ditulis oleh Prof. Raghib As-Sirjani.
Martin Bernal berkata, “Karya kaum muslimin terus merambah dalam bidang geografi yang menjelaskan kedudukan amat penting bagi kaum muslimin sampai hari ini. Pengetahuan dalam temuan ini menambah wawasan ilmu kita terhadap geografi sejarah yang berkaitan dengan negara-negara dalam karya tersebut. Peninggalan Islam dalam bidang ini mempunyai peranan khusus dan sangat penting.”
Pendapat kedua yang juga mengungkapkan kekaguman pemikir-pemikir Barat terhadap ilmuwan muslim disampaikan oleh Gustave Le Bon dalam bukunya berjudul The Arab Civilization yang dikutip oleh Prof. Raghib.
Gustave Le Bon mengatakan, “Geografi merupakan ilmu yang lahir sebelum Islam. Pengetahuan mereka tentang ilmu astronomi sesuai dengan ilmu geografi yang lebih dahulu dan penting. Tidak diragukan lagi bahwa bangsa Arab menjadikan permulaan ilmu Yunani khususnya Ptolomeus, sebagai petunjuk dalam ilmu geografi. Namun mereka tak berhenti pada apa yang dicapai oleh guru mereka di bidang itu menurut kebiasaan mereka.”
Prof. Raghib pun menyimpulkan bahwa perjalanan ilmu geografi kaum muslimin bermula dari pendapat bangsa Yunani yang menyebut bahwa bumi itu bulat. Hektatius (500 SM) misalnya seorang tokoh berkebangsaan Yunani yang ditetapkan sebagai Bapak Geografi Bangsa Yunani telah menggambarkan sebuah peta dengan dasar bulat pipih melingkar. Selain Hektatius, Plato (348 SM) juga membuat sebuah teori tentang bumi bulat namun sayang ia tidak menyertakan argumentasi yang kuat untuk mendukung teorinya.
Sementara itu, bangsa Romawi ialah bangsa yang menolak pemikiran yang mengatakan bahwa bumi itu bulat. Seorang Bapak Geografi Romawi pada tahun 547M saat itu menulis, “Alam semesta ini menyerupai roda. Airnya menyelimuti sekelilingnya dari setiap arah…”. Namun teori tersebut justru ditentang oleh pihak gereja.
“Akhirnya masalah ini memuncak saat gereja dibangun berikut pendetanya yang pertama dipimpin oleh Liktansyius yang menentang keras teori ini,” ujar Prof. Raghib.
Di kalangan kaum muslimin, Prof. Raghib menyebut sosok ilmuan bernama Ibnu Khardzabah (242 H/885 M) dengan sebuah teorinya yang mengatakan, “Bumi itu berputar sebagaimana perputaran bola, tempatnya seperti muhhah atau kuning telur.”
Ilmuwan kedua Ibnu Rustah (290 H/903 M) yang mengatakan bahwa, “Allah meletakan galaksi berputar seperti berputarnya bola, tengah-tengah perputaran, bumi juga berputar dan tempat diamnya di tengah galaksi tata surya.”
Berikutnya di kalangan kaum muslimin muncul sosok bernama Abu Ubaidah Al-Falaki atau Abu Ubaidah Muslim bin Ahmad (295 H). Seorang pakar dalam pergerakan bintang-bintang serta perjalanan orbit-orbitnya. Ia juga seorang ahli fikih dan hadist. Bahkan ia juga menguasai ilmu hisab dan perbintangan, nahwu dan bahasa, cerita dan perdebatan.
“Abu Ubaidah adalah ilmuan abad kedua hijriyah atau abad kesembilan masehi. Ia merupakan di antara orang pertama yang menggunakan ilmu falak di Spanyol,” ungkap Prof. Raghib.
Prof. Raghib mengatakan bahwa fakta dan temuan yang muncul dalam dunia Islam tidak membantah temuan ilmiah tersebut. Meskipun mungkin pada masa-masa itu temuan tersebut terbilang aneh dan tidak masuk akal. Sekalipun terjadi pertentangan hal tersebut tidak berujung pada vonis untuk menghukum siapa yang pendapatnya salah.
Disinilah yang menurut Prof. Raghib penting untuk dicacat, bagaimana perkembangan, perjalanan sains dalam Islam sangat berbeda dengan perkembangan sains di Barat. Yang tak jarang pertentangan ilmu yang ada justru berujung pada pertumpahan darah, pembakaran, dan penghakiman. Bahkan banyak ilmuan di Eropa pada abad kelima yang akhirnya dimasukan penjara.
Pelopor “Bumi Bulat”
‘Nash’ tentang bentuk bumi bulat juga diungkapkan oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya yang berjudul Al-Fashlu fi Al-Milal. Ibnu Hazm menuliskan hasil kesepakatan para ulama, “Mereka mengatakan, “Sesungguhnya petunjuk-petunjuk telah membenarkan bahwa bumi itu bulat. Sementara orang secara umum mengatakan selain itu. Jawaban kami dengan petunjuk Allah: ‘Sesungguhnya dari kalangan para ulama kaum muslimin yang berhak disebut sebagai pioner dalam ilmu, tidak mengingkari bumi ini bulat. Tidak salah seorang di antara mereka yang menolak pendapatnya. Bahkan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah datang dengan menunjukkan bentuk bulatnya. Sebagaimana firman Allah dalam Az-Zumar , “Dia menutupkan malam ini atas siang dan menutupkan siang atas malam.”
Berikutnya ialah sosok Syarif Al-Idrisi, selain menjelaskan tentang bumi itu bulat ia juga telah ia menggambarkan sebuah peta. Bahkan atas karya peta yang ia buat Will Durrant dalam bukunya yang berjudul The Story of Civilization berpendapat, “Peta ini paling hebat dari nilai-nilai pemikiran ilmu gambar peta pada abad pertengahan. Belum pernah ada peta yang digambar lebih sempurna sebelum itu, lebih detail, lebih luas, dan besar secara terperinci. Al-Idrisi salah seorang yang menguatkan teori tentang bumi bulat dan dapatlah diketahui bahwa fakta ini merupakan sesuatu yang dapat diterima kebenarannya.”
“Namun yang aneh, setelah pengetahuan ini bahwa sebagian buku dan rujukan bangsa Arab masih merujuk ke referensi asing, seolah kaum muslimin tidak mengetahui teori tentang bumi ini bulat. Mereka menganggap teori ini tidak pernah diumumkan kecuali oleh Copernicus,” tutur Prof. Raghib prihatin.
Penulis: Kukuh Subekti