ISLAMTODAY — Perang Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan Belanda jelang akhir abad XIX Masehi adalah peperangan paling dahsyat. Perang yang resmi berakhir pada 1904, namun ternyata baru selesai pada 11 Maret 1942, ini pertama kali diumumkan Belanda pada 26 Maret 1873.
Perang melawan Kesultanan Aceh Darussalam merupakan perang pertama yang diumumkan resmi oleh pihak Belanda. Perang ini bahkan menjadi perang terlama sepanjang sejarah perang Belanda.
Paul van’t Veer, seorang wartawan Belanda dalam bukunya Perang Aceh ‘De Atjeh Oorlog’ (1969) juga menyebut Perang Aceh selama 69 tahun lamanya itu menempatkan Aceh sebagai daerah pertama yang terlepas dari usaha ‘invasi’ Belanda. Artinya Aceh satu-satunya daerah yang tidak bisa ditaklukkan oleh Belanda.
Dari perang yang berlangsung hingga puluhan tahun lamanya lahir sejumlah pejuang Aceh. Nama-nama mereka kemudian melegenda dalam ingatan kita sebut saja Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Teungku Chik Di Tiro, dan Teuku Umar.
Penandatanganan Traktat Sumatra (Inggris -Belanda) pada 2 November 1871 menjadi salah satu penyebab perang Aceh dan Belanda. Pengkhianatan Inggris dan Belanda ini dinilai sebagai ancaman serius bagi kedaulatan Aceh, sebab Inggris memberikan kuasa pada Belanda untuk mengintervensi Aceh.
Melihat hal ini Aceh berupaya untuk menjalin kerjasama militer dengan sejumlah negara sahabat seperti Turki Utsmani, Amerika dan Italia. Melihat usaha Aceh, Belanda khawatir salah satunya disampaikan oleh Fransen Van de Putte tokoh dalam Kabinet Liberal Belanda (22/2/1873), ia mengingatkan kepada para pejabat Belanda di Hindia Belanda tentang ancaman di balik upaya Aceh.
Kekaguman Barat
Totalitas perjuangan pejuang Aceh menuai kekaguman Bangsa Barat. Mereka mengungkapkan kekagumannya pada para pejuang Aceh yang totalitas berperang dengan bergerilya bahkan ketika Kesultanan Aceh Darussalam telah disebut Belanda berhasil ditaklukkan.
Paul van’t Veer dalm buku yang sama ‘De Atjeh Oorlog mengungkapkan kekagumannya pada semangat jihad rakyat Aceh, “Apa bila kita baca buku-buku yang membahas perjuangan rakyat Aceh kita akan bangga akan suatu yang mereka perjuangkan. Perjuangan yang dilakukan tanpa mengenal kata menyerah. Yang mereka kenal hanya menang atau syahid. Sebagai contoh, pertempuran yang terjadi pada masa perang kolonial Belanda di Kota Reh, daerah Gayo-Alas pada tahun1904 yang telah menewaskan tidak kurang dari 189 wanita disamping 313 lakilaki dan 59 anak-anak. Selama tiga bulan pertempuran disana akibat keganasan tentara kolonial Belanda 2252 pejuang Aceh menjadi suhada sedangkan 829 di antaranya terdiri dari atas para wanita dan anak-anak.”
Selain Veer, jurnalis Barat lainnya seperti H.C. Zentgraaff dalam bukunya berjudul Atjeh juga mengungkapkan hal serupa.
“Dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita mendengar bahwa tidak ada suatu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik di dalam peperangan kecuali bangsa Aceh, para wanitanya pun memiliki keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita lain.”
Anthony Reid dalam bukunya The Contest for North Sumatra, The Netherlands Britain 1858-1 898 juga mengungkapkan kekagumannya pada para pejuang Aceh yang bertempur mati-matian di Perang Aceh.
“Selama berabad-abad Aceh telah membuktikan kemampuan, baik dalam hal perdagangan, pertanian, maupun dalam bidang peperangan, selama tahun-tahun pertama melawan Belanda mereka telah membuktikan bahwa mereka layak memperoleh perhatian besar dari orang-orang Eropa dan kaum muslimin di dunia. Dalam hubungan ini Aceh juga telah memberikan sumbangan kepada pertumbuhan kesetiaan yang lebih tebal di Indonesia.”
Aceh Darussalam, Penguasa Selat Malaka
Kerajaan Islam yang berdiri sejak 1514 dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah ini merupakan penguasa Selat Malaka. Sebuah jalur perdagangan paling strategis dan tersibuk di dunia yang dilintasi oleh berbagai bangsa (Timur Tengah, Eropa, Asia Selatan hingga Asia Timur).
Jalur perdagangan ini dalam sejarahnya merupakan jalur perdagangan rempah yang banyak diperebutkan negara-negara Barat. Belanda, Inggris, Perancis bahkan Amerika sangat tertarik untuk menguasai jalur ini.
Bangsa Barat selalu berusaha mendekati para penguasa muslim yang menguasai Selat Malaka. Mereka melakukan berbagai cara untuk bisa menguasai Selat Malaka mulai dari jalur diplomasi hingga konfrontasi.
Kesultanan Aceh Darussalam adalah salah satu kerajaan Islam terkuat yang mampu menguasai Selat Malaka hingga beberapa abad lamanya. Tak jarang kerajaan ini harus berkonfrontasi dengan upaya perebutan Malaka.
Sebagai penguasa jalur strategis perdagangan di Samudra Hindia, ia adalah kesultanan yang kuat dalam hal maritim. Hal ini terbukti dengan kemampuannya menghancurkan armada laut Portugis di Malaka pada 1575.
Insiden ini banyak disebut dalam sejarah sebagai insiden Kabut Hitam di Malaka.
Paul Van’t Veer mengunkapkan jika Kesultanan Aceh merupakan kesultanan yang banyak memiliki hubungan ekonomi dan politik internasional. Hal ini dikuatkan oleh sejarawan Aceh, M Nur El Ibrahimy dalam bukunya berjudul Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh (1993).
Ia mengungkapkan bahwa hingga tahun 1784 memiliki kekuasaan politik yang besar di Sumatra.
Kesultanan Aceh dalam sejarahnya dikatakan satu-satunya kerajaan yang menolak keinginan bangsa Eropa membangun benteng di wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh.
Bahkan pada periode sebelumnya, Kesultanan Aceh tidak mengizinkan utusan Kerajaan Inggris, Sir James Lancaster untuk datang menemui Sultan sebelum ada surat resmi yang menyatakan mereka ingin bekerja sama dengan Kesultanan Aceh.
Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1588-1604). Pada masa itu Aceh lewat diplomat ulungnya bernama Laksamana Keumalahayati.
Ia pun lebih dulu melakukan diplomasi perundingan dengan Lancaster. Sehingga setibanya utusan Inggris pada 6 Juni 1602 tersebut lebih dulu ditemui oleh diplomat perempuan sekaligus laksamana perempuan pertama dunia.
Setelah Inggris, Perancis juga mengirimkan utusan untuk menjalin kerjasama dengan Kesultanan Aceh. Pada tahun 1620, Kerajaan Perancis mengutus utusannya Jenderal Agustine Beaulieu untuk datang ke Aceh.
Sebelum kedatangan dua kerajaan Eropa (Inggris dan Perancis), Belanda adalah kerajaan Eropa pertama yang singgah di Aceh.
Aksi Curang dan Licik Belanda
Hubungan kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda dalam perjalanannya merupakan hubungan pasang surut. Jauh sebelum perang terjadi kedua kerajaan ini adalah mitra dagang.
Kisah relasi dagang Aceh dan Belanda dimulai sejak kedatangan de Houtman bersaudara, Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman pada 21 Juni 1599. Namun sayang kedatangan kedua penjelajah Belanda ini justru berakhir dengan pertempuran selain sempat menahan mereka, Cornelis de Houtman tewas akibat ditikam oleh Laksamana Keumalahayati.
Penikaman ini terjadi dalam pertempuran yang berlangsung pada 11 September 1599. Pertempuran Aceh dan Belanda dipicu oleh aksi curang dan licik pihak Belanda yang kerap memanipulasi perdagangan, mengacaukan keamanan dan menghasut rakyat untuk melawan kerajaan.
Kisah ini ditulis oleh Marie van C. Zeggelen seorang penulis berkebangsaan Belanda dalam bukunya berjudul Oude Glorie. Ia menuliskan dalam bukunya tersebut, “Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis Houtman oleh Hayati sendiri,sedang Frederick de Houtman ditawan.”
Rombongan kedua Belanda pun datang kembali pada 21 November 1600 yang dipimpin oleh Paulus van Caerden. Karena aktivitasnya yang gemar merampok, membuat pihak kerajaan marah kepada Belanda.
Semenjak saat itu kerajaan Aceh dipimpin oleh Keumalahayati banyak melakukan pengawasan di perairan Malaka. Dari operasi laut yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh ini membuat kapal Belanda dipimpin oleh Jacob Van Neck harus ditahan, pada 31 Juni 1601.
Sementara itu utusan Belanda yang terdiri atas Gerard de Roy, Laurens Bicker dan Cornelis Bastiaenszoon pada tahun 1602 datang ke Aceh. Mereka datang dengan misi untuk menjalin persahabatan dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kedatangan para utusan tersebut membawa surat dari Pangeran Maurist van Nassau yang ditulis dalam bahasa Spanyol tertanggal 11 Desember 1600. Sebuah surat yang menyebut bahwa Cornelis de Houtman adalah korban fitnah dari pihak Portugis.
Pangeran Belanda dalam surat tersebut juga minta maaf atas tindakan yang dilakukan oleh Paulus van Caerden. Bahkan pangeran membawa kasus tersebut ke Mahkamah di Amsterdam, oleh Mahkamah mereka diputuskan bersalah dan wajib membayar denda kepada Aceh senilai 50.000 mata uang Belanda.
Itikad baik Belanda ini pun disambut baik oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil pun mengirimkankan utusan ke Belanda, Abdul Hamid pada Agustus 1602.
Ambisi Penjajah Belanda
Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Belanda mulai memburuk pada abad ke XIX Masehi. Belanda mulai takut akan kehilangan pengaruhnya di Aceh, pasalnya Inggris dan Amerika begitu rapat dengan Aceh Darussalam.
Upaya invasi Belanda terhadap Kesultanan Aceh tidak lepas dari ambisi Belanda menguasai seluruh kawasan di Pulau Sumatra. Namun pada saat yang sama Belanda harus lebih dulu menyingkirkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada saat yang sama Aceh sempat berhubungan dengan Inggris (Traktat Pidie 1819) termasuk Amerika.
Ambisi Belanda menjadi makin sulit untuk diwujudkan. Hingga akhirnya Belanda melakukan beragam siasat curangnya.
Mula-mula Belanda mendekati Inggris. Inggris sejak awal memiliki perjanjian khusus dengan Aceh dalam Traktat Pidie.
Komitmen Inggris pada Aceh belum pudar dalam Traktat London (18 Maret 1824). Perjanjian antara Inggris dan Belanda tersebut misalnya masih memberikan ruang khusus bagi kedaulatan Aceh.
Saat itu Inggris memiliki kepentingan agar Aceh bersedia membatasi pengaruh Amerika di Aceh.
Namun dalam perjalanannya kedua perjanjian tersebut dikhianati oleh Inggris dengan penandatanganan Traktat Sumatra (Inggris -Belanda) pada 2 November 1871.
Sementara Aceh dan Amerika mulai akrab sejak 1789. Bahkan kedua penguasa (Aceh dan Amerika) sempat melakukan penandatanganan Proposal of Atjeh-America Treaty, sebuah dokumen sejarah misterius yang memicu kecemburuan dan pernyataan perang oleh Belanda pada 26 Maret 1873.
Maka sejak saat 1873-1942 rakyat Aceh berperang melawan Belanda. Meskipun di tengah jalan Belanda sempat mengajukan genjatan senjata dikarenakan musim hujan.
Permintaan Belanda tersebut disampaikan pada 7 Juni 1873. Agresi Militer Belanda di Aceh selanjutnya dimulai pada 19 Desember 1873.
Sejak saat itu perang Aceh melawan Belanda terus bergelora di seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Dari perang yang berlangsung hingga puluhan tahun lamanya inilah lahir sejumlah pejuang Aceh.
Nama-nama mereka kemudian melegenda dalam ingatan kita sebut saja Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Teungku Chik Di Tiro, dan Teuku Umar.
Penulis: Kukuh Subekti