“Baik orang-orang Indonesia yang menyaksikan perjuangan Haji Agus Salim, maupun para pejabat Mesir kala itu, mengakui kehebatan Haji Agus Salim dalam cara meyakinkan orang terhadap perjuangan kemerdekaan serta memperkenalkan negara baru yang bernama Indonesia ke dunia internasional. Maka wajar, apabila tanggal 10 Juni 1947 dapat diabadikan sebagai “Hari Diplomasi Republik Indonesia’’ atau sebagai ‘’Hari Kebangkitan Diplomasi RI’’ yang setiap tahunnya diperingati oleh Departemen Luar Negeri maupun oleh perwakilan-perwakilan RI di luar negeri.” (Historia, Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah Vol.II No.2, April 2019).
ISLAMTODAY ID — Tanggal 10 Juni 1947 bertepatan dengan 21 Rajab 1366 Hijriyah adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari yang sesungguhnya pantas dikenang sebagai Hari Kebangkitan Diplomasi RI ini menandakan tonggak sejarah keberhasilan Haji Agus Salim menjalankan misi diplomasi pengakuan kemerdekaan di Timur Tengah.
Peristiwa tersebut merupakan momentum bersejarah diakuinya secara de facto dan de jure (hukum) negara Indonesia oleh berbagai negeri Arab. Mesir adalah negara pertama yang memberikan pengakuan de facto dan de jure untuk kemerdekaan Indonesia.
Pemberian pengakuan kedaulatan dari negara lain merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi Indonesia sesuai dengan sistem Hukum Internasional yang diatur dalam Konvensi Montevideo pada 27 Desember 1933.
Hasil konvensi mengisyaratkan ketika suatu negara dibentuk hanya berdasarkan wilayah, penduduk dan pemerintah saja maka akan kesulitan dalam pergaulan internasional. Maka pengakuan atau recognition negara lain menjadi hal mutlak yang harus dipenuhi oleh negara baru, termasuk Indonesia.
Pada saat yang sama pemberian pengakuan bukan hal yang mudah bahkan terkesan mustahil di tengah-tengah sikap arogansi Belanda dan pasca penetapan perjanjian Linggarjati.
Namun misi diplomatik Timur Tengah yang ditulis dalam tiga bahasa yakni, Perancis, Arab dan Indonesia ini pun mendapat pujian dari Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta. Bung Hatta pun memuji kemampuan Haji Agus Salim dalam meyakinkan para pemimpin Timur Tengah.
Berikut pujian Hatta untuk keberhasilan Haji Agus Salim dalam meyakinkan para pimpinan negara-negara Timur Tengah, terutama Mesir.
“Kemenangan diplomasi Indonesia dimulai di Kairo. Karena dengan pengakuan Mesir dan negara-negara Arab lainnya terhadap Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, segala jalan tertutup bagi Belanda untuk surut kembali atau memungkiri janji sebagai selalu dilakukannya di masa-masa lampau.” [Hatta]
Setelah Mesir, negara Timur Tengah berikutnya yang mengakui Indonesia ialah Lebanon (29 Juni 1947), Suriah (2 Juli 1947), Afghanistan (23 September 1947), Yaman (20 November 1947), Saudi Arabia (21 November 1947). Sementara itu, Yordania dan Irak memilih menangguhkan pemberian pengakuan karena masih dibawah pengaruh kolonialisme Inggris.
Sahabat Dari Timur
Haji Agus Salim adalah sosok yang cerdas dan pandai dalam berkomunikasi. Ia sangat cakap dalam berdiplomasi hal ini didukung dengan sejumlah kemampuan yang memang memenuhi harus dipenuhi seorang diplomat.
Ia merupakan seorang hiperpoliglot (menguasai bahasa asing lebih dari enam), Haji Agus Salim menguasai sembilan bahasa asing. Hal ini semakin sempurna dengan pengalamannya di dunia kewartawanan seperti pengetahuan umum yang luas, pengetahuan sejarah, budaya dan peradaban bangsa-bangsa, hukum internasional, hingga penguasaan bahasa asing.
Di samping itu ia dikenal ramah dan memiliki senyum wajah yang simpatik. Ia sosok yang tenang dihadapan lawan-lawan politiknya.
Wajar jika kemudian dalam pergaulannya ia banyak diterima oleh banyak kalangan, dalam konteks ini ialah perjuangan diplomasi di Timur Tengah.
Haji Agus Salim dalam perjuangannya meraih pengakuan kemerdekaan banyak bersinggungan dengan sejumlah tokoh dan pejabat penting dari berbagai negara.
Dalam dokumentasi foto bersejarah pada tahun 1946 silam, Haji Agus Salim, Mufti Besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, dan Pengusaha Media asal Palestina Muhammad Ali Taher nampak sangat akrab satu sama lain.
Sementara itu, dalam forum resmi resepsi kenegaraan di Mesir pada 9 Juni 1947 nampak Haji Agus Salim dan Syekh Amin Al-Husaini duduk di meja yang sama. Dalam sebuah dokumentasi juga terlihat mereka berdua duduk bersama dengan Pangeran Faisal.
Sahabat dari Timur Tengah lainnya ialah Muhammad Abdul Mun’im seorang Konsul Jenderal Mesir di Mumbay (India). Dia merupakan sosok penting yang membantu Indonesia dalam mengurus pengakuan kedaulatan di Mesir.
Melalui Abdul Mun’im pertemuan delegasi Indonesia yang dipimpin Haji Agus Salim menjadi mudah dilakukan. Setelah hampir tiga bulan lamanya sejak tiba di Kairo pada 10 April 1947, mereka akhirnya bisa menemui Raja Farouk, Perdana Menteri Mesir, Mahmoud Fahmi Nokrasyi Pasha, dan Sekjen Liga Arab Abdurrahman Azzam Pasya.
Para pimpinan Mesir memiliki jasa-jasa penting bagi pengakuan kedaulatan Indonesia. Pemerintah Mesir dalam rapat kabinetnya (1/6/1947) memutuskan untuk memberikan pengakuan kedaulatan untuk Indonesia.
Rapat tersebut merupakan tindak lanjut dari nota yang dikirim oleh Kementerian Luar Negeri Mesir tertanggal 22 Mei 1947. Menindaklanjuti hasil rapat kabinet tersebut maka pada 10 Juni 1947, Mesir resmi mengakui kedaulatan Indonesia.
Mesir menjadi negara pertama yang tidak ragu-ragu dalam memberikan pengakuan secara de facto dan de jure. Bahkan Mesir langsung menjalin hubungan diplomatik dalam bidang ekonomi dengan Indonesia.
Perjuangan Diplomasi
Perjuangan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara di Asia-Afrika bagi Indonesia bukan hal yang mudah. Haji Agus Salim telah membuktikan ini, ia membutuhkan waktu kurang lebih empat bulan lamanya.
Namun perjuangan ini pun diakui dunia sebagai sesuatu yang hebat. Seperti halnya pengalaman Haji Agus Salim selama di Mesir yang membutuhkan waktu tiga bulan lamanya.
Indonesia pada masa-masa Revolusi Kemerdekaan ialah negara yang baru saja diproklamirkan dan wajar jika belum banyak diketahui oleh dunia internasional.
Dunia hanya mengenal Indonesia berdasarkan narasi yang dibawa oleh Belanda yakni Hindia-Timur. Pengalaman ini diakui langsung oleh Sekjen Liga Arab, Abdurrahman Azzam Pasya.
Dalam Peta yang terdapat di meja kerjanya saat itu hanya menyebut, Juzur al Hindi al Hulandiyyah as Syarqiyyah yang artinya Kepulauan Hindia Belanda Timur.
“Saya akui bahwa ketika ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab pada 1945, saya tidak tahu banyak tentang Indonesia. Pengetahuan saya mengenai Indonesia sangat terbatas.Tidak lebih dari yang saya baca dari buku-buku atau koran-koran internasional,” kata Azzam dalam buku terbitan KBRI Kairo, Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir.
Alhasil berkat perjuangan tim yang dipimpin oleh Haji Agus Salim, Indonesia berhasil menempatkan kantor perwakilannya di beberapa negara sahabat. Indonesia berdasarkan data Departemen Luar Negeri tahun 1971 telah berhasil membuka kantor-kantornya di sejumlah negara seperti Kairo (Mesir), New Delhi (India), London (Inggris), Canberra (Australia), Karachi (Pakistan), dan Singapura.
Berikut ini pernyataan Haji Agus Salim tentang perjuangan, pengakuan kedaulatan Indonesia,
“Oesaha memperloeas perwakilan negara kita di loear negeri madju pesat. Di Bangkok akan diangkat Dr. Soedarsono sebagai wakil Indonesia….Bekas menteri agama, Hadji Rasjidi, wakil Repoeblik oentoek negaranegara Arab…Betapa besarnya perhatian Siam terhadap perdjoeangan Indonesia. Besar kemoengkinan akan dimoelai perdagangan dengan negeri itoe. Di Manila, Pemerintah Repoeblik poenja staf dari 16 orang, dipimpin oleh Bretel Soesio…Wakil Repoeblik di Australia ialah Mr. Oesman Sastroamidjojo’’ (Berita Indonesia, 30 Oktober 1947, hlm. 1).
Penulis: Kukuh Subekti