ISLAMTODAY ID — Sikap reaksi perlawanan selalu ditampilkan Aceh ketika ia berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari riwayat kelam perlawanan Aceh terhadap penjajahan Belanda selama 1873 hingga 1942.
Belanda adalah negara yang mempraktikan kolonialisme dan imperialismenya di Aceh. Bagi bangsa Aceh sikap antagonisme mereka terhadap kolonial dalam rangka menjaga eksistensi kedaulatan mereka sebagai bangsa yang merdeka.
“Di antara para pendatang asing tersebut dalam perkembangannya telah mempraktekkan sistem kolonialisme dan imperialisme di kawasan tersebut. Maka oleh karenanya telah menimbulkan reaksi/antagonisme dari pihak Aceh berupa perlawanan-perlawanan terhadap bangsa-bangsa yang mempraktekkan sistem tersebut, dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka.” (Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperalisme di Daerah Aceh, Ibrahim Alfian: 2)
Resolusi Umat Islam
Sikap anti-kolonialisme Belanda, bahkan masih ditampilkan mereka pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Salah satunya ditunjukan dengan sikap kritis mereka terhadap hasil perundingan antara Indonesia dan Belanda yang cenderung merugikan Indonesia.
Umat Islam di Aceh menyalurkan sikap kritis mereka melalui berbagai organisasi dan gerakan Islam. Berbagai organisasi gerakan modern mulai dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Gerakan Pelajar Islam Indonesia (GPII), Muslimat, GPII Puteri, Mujahidin dan Majelis Syura.
Dilansir dari Buku Kronik Revolusi Indonesia 1947, pada tanggal 16 Juni 1947 Masyumi Karesidenan Aceh menutup acara Konferensi Kedua Masyumi Karisidenan Aceh. Forum ini ditutup dengan menghasilkan sejumlah resolusi dan pandangan umat Islam di Aceh terkait isu-isu terkini nasional terutama merespon kehadiran kembali Belanda.
Partai Masyumi bersama dengan berbagai organisasi Islam di Aceh tersebut diantaranya mengkritisi masih maraknya keberadaan tentara Belanda di Indonesia.
“Dengan cara diplomasi dan jika perlu dengan kekerasan, mengusahakan Pemerintah Belanda segera menarik tentaranya dari Indonesia dan Pemerintah Belanda segera mengembalikan daerah-daerah republik yang didudukinya kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia.”
Resolusi di atas diambil berdasarkan beberapa pertimbangan di antaranya keberadaan pasukan Belanda di Indonesia. Padahal saat itu antara kedua belah pihak (Indonesia dan Belanda telah menandatangani Perjanjian Linggarjati.
“Walaupun Naskah Linggarjati telah ditandatangani, namun pemerintah Belanda sampai hari ini masih juga belum dapat membuang jauh hafa nafsu imperalismenya.” (Kronik Revolusi Indonesia III: 189)
Umat Islam di Aceh mencatat ada lima sikap arogan Belanda pasca perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 15 November 1946 dan diratifikasi oleh dua negara pada 25 Maret 1947:
Pertama, pengiriman balatentaranya terus-menerus ke Indonesia.
Kedua, menambah memperkuat kedudukannya di daerah-daerah Republik yang dikuasainya.
Ketiga, melakukan blokade ekonomi terhadap Republik Indonesia.
Keempat, tindakannya memperlebar isu-isu yang merugikan pihak Indonesia.
Kelima, mendirikan negara-negara baru di Indonesia tanpa berembuk lebih dahulu dengan pemerintah Negara Republik Indonesia.
Resolusi umat Islam Aceh tersebut dikirimkan kepada tiga pimpinan Indonesia mulai dari Residen Aceh, Gubernur Sumatera dan Presiden Republik Indonesia.
Belanda Kapok
Pasca meninggalkan Aceh pada tahun 1942 hingga Indonesia merdeka, Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak lagi didatangi Belanda.
Pertempuran sengit keduanya selama berpuluh-puluh tahun rupanya membuat Belanda kapok, selama 1873 hingga 1942.
“Rupanya Belanda agak kurang bernafsu untuk menundukkan Aceh… Sikap demikian barangkali berkaitan erat dengan pengalaman yang mereka alami baik dalam perang Aceh maupun tatkala menjelang pendudukan Jepang di Aceh,” kata Ibrahim Alfian dkk dalam bukunya berjudul Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh 1945-1949.
Laskar Pejuang Aceh Siap Siaga
Meskipun Belanda menyerah untuk menaklukkan Aceh, namun Belanda berupaya untuk merebut Kota Medan dari tangan Indonesia. Melihat hal ini tentu rakyat Aceh tidak diam saja mereka bersatu padu melawan tentara Belanda yang saat itu bergabung dengan tentara Sekutu.
Pejuang-pejuang Aceh yang ikut berperang mempertahankan kemerdekaan di Pertempuran Medan Area bahkan tidak hanya mereka yang berasal dari satuan angkatan bersenjata resmi di bawah Divisi Gajah atau Divisi X TRI yang berpusat di Bireun. Turut bergabung mereka dari kalangan rakyat Aceh yang bergabung dalam laskar-laskar Islam di Aceh.
Ibrahim Alfian dkk menyebutkan beberapa nama kelaskaran yang bergabung pada saat itu. Mereka ialah laskar kesatria Pesindo/Divisi Rencong, Divisi Teungku Chiek Ditiro, Divisi Teungku Chiek Paya Bakong (TPR), dan Mujahiddin.
“Pasukan bersenjata yang terdapat di Aceh baik TRI maupun lasykar-lasykar bersenjata tersebut di atas, ikut ambil bagian untuk menghadang tentara sekutu, tatkala mereka mendarat di Medan (bulan Desember 1946),” jelas Ibrahim Alfian.
Bahkan jumlah pejuang Aceh yang bergabung untuk ikut berperang melawan Belanda kian hari jumlahnya terus bertambah. Hingga akhirnya terbentuk Resimen Istimewa Medan Area (RIMA).
“Meskipun Belanda belum memasuki daerah Aceh, namun rakyat Aceh telah menggerakkan/mengerahkan pasukan dan lasykar bersenjata ke daerah Sumatera Timur, bukan hanya untuk membantu perlawanan di sana, tetapi juga sekaligus untuk menutup pintu bagi Belanda masuk ke Aceh,” tegas Ibrahim Alfian.
Kesiapsiagaan para laskar pejuang Aceh beserta tentara (TRI) ini juga ditunjukan dengan kemampuan mereka menghalau serangan Belanda di Kutaraja (Banda Aceh-sekarang). Satu hari menjelang Agresi Militer Belanda I tepatnya tanggal 26 Juli 1947, pasukan telah siap siaga.
Di lapangan terbang Lhok Nga, sebelah Banda Aceh telah disiapkan beberapa perlengkapan tempur yang kuat. Mulai dari senjata berat dan ringan, meriam penangkis udara, meriam pantai, hingga bengkel persenjataan.
Maka ketika serangan udara dari Belanda datang pada hari Agresi Militer Belanda I, 27 Juli 1947 pejuang Aceh mampu menghalau mereka. Pertempuran pun terjadi dengan pasukan Belanda yang terbang dari Sabang melalui Ulee Lhuee selama 30 menit lamanya.
Penulis: Kukuh Subekti