ISLAMTODAY ID — Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Dr. Adian Husaini mengemukakan tentang fakta di balik lahirnya Piagam Djakarta. Sebuah simbol persatuan yang ternyata turut diwarnai oleh berbagai dialektika.
Berbagai dialektika datang dari segenap anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Mereka yang mewakili elemen Islam, Kristen hingga Kebatinan mengungkapkan sikap dan pandangan mereka.
Dialektika yang paling kentara terkait Piagam Djakarta ialah Ketuhanan dengan kewajiban menlankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Dialektika Piagam Jakarta
Dialektika perdebatan tentang Piagam Jakarta rupanya terjadi diantara sesama anggota BPUPK. Beberapa tokoh secara tegas menyatakan menolak hasil Piagam Djakarta, sementara sebagian yang lain mengusulkan susunan redaksional baru terkait Piagam Djakarta, 22 Juni 1945 itu.
Penolakan tujuh kata dalam Piagam Djakarta ini disampaikan langsung oleh perwakilan dari pihak Kristen dan Kebatinan. Kalangan Islam juga menanggapi serius keberadaan Piagam Jakarta, mereka tak segan-segan menunjukan sikap kritisnya.
“Dari Mr. (Johannes) Latuharhary itu menolak, kemudian dari kebatinan, Wongsonegoro menolak,” ungkap Ustadz Adian.
“Dari kalangan Islam juga sama, mengkritisi termasuk Kiai Haji Wachid Hasyim, kemudian Ki Haji Sanusi, (termasuk) Ki Bagus Hadikusumo,” tegasnya.
Sikap Kritis Umat Islam
Tokoh-tokoh perwakilan Islam selain mengkritisi juga melakukan sebuah penilaian terhadap hasil Piagam Djakarta. Mereka menilai hal itu sebagai sesuatu yang tidak ideal.
“(Tokoh-tokoh Islam) mengkritisi karena nggak ideal negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” tutur Ustadz Adian.
Ia mengatakan bahwa Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan Kiai Haji Sanusi dari Persatuan Umat Islam (PUI) mengusulkan agar Piagam Djakarta tersebut diganti dengan yang baru. Susunan redaksional ini dengan menghapus kata pemeluk-pemeluknya dari Piagam Djakarta.
“Ki Bagus Hadikusumo atau Kiai Sanusi yang mengusulkan agar bagi pemeluk-pemeluknya itu dihapus, jadi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’,” jelasnya.
Sehingga pelaksanaan syariat Islam itu tidak hanya berhenti pada tataran individual. Umat Islam dan negara harus bersama-sama dalam mempraktikkan syariat Islam
“Yang harus menjalankan ya pemeluknya ya negara. Artinya negara Indonesia menjamin, menerapkan syariat Islam,” tuturnya.
Sikap kritis umat Islam yang kedua ialah mengingatkan potensi munculnya penafsiran baru. Sebuah penafsiran yang justru membuatnya menjadi rancu di masyarakat.
“Begitu ditambahi kata bagi pemeluk-pemeluknya itu membuka peluang tafsir bahwa syariat Islam itu diterapkan di level individu dan komunal, masyarakat. Bagaimana dengan level negara, meskipun Prof. Yusril Ihza Mahendra menegaskan karena ini konstitusi itu lebih ditujukan kepada negara, negara yang menjalankan syariat Islam,”
Presiden Harus Orang Indonesia Asli dan Beragama Islam
Ustadz Adian yang juga Peneliti di Institute for the Study of Islamic Thought & Civilizations (INSISTS) mengungkapkan polemik lainnya yang muncul jelang kemerdekaan.
Selain Piagam Jakarta keberadaan pasal 6 dalam draft Undang-undang Dasar 1945 tentang Presiden Indonesia yang harus orang Indonesia asli dan beragama Islam juga menuai protes.
Kalangan Kristen Kembali mengajukan protes yang bahkan disertai dengan ancaman untuk tidak bersedia gabung ke Indonesia jika hal itu dipaksakan. Tentu hal ini membuat Mohammad Hatta selaku pihak yang diminta Soekarno melobi wakil-wakil Islam cemas.
Bung Hatta khawatir jika keinginan kalangan Kristen untuk melepaskan diri dari Indonesia didengar dan dimanfaatkan oleh penjajah kolonial.
“Ada kekhawatiran (dari) Bung Hatta kalau sampai penjajah mendukung mereka itu kita akan pecah. Kita harus sepakatlah, waktu kita harus merdeka ini paling penting kita merdeka dulu nanti hal-hal itu dibicarakan kembali,” ungkap Ustadz Adian.
Akhirnya, Para tokoh Islam saat itu menyadari bahwa dalam situasi krisis yang terpenting adalah Indonesia harus menjadi negara merdeka. Sikap lapang dada itu misalnya ditunjukan oleh Ki Bagus Hadikusumo setelah dilobi terus-menerus.
“Sampai akhirnya Ki Bagus Hadikusumo, ya sudah ini memang darurat situasinya yang penting kita merdeka, kita bersatu jangan pecah,” tutur Ustadz Adian ketika mengisahkan tentang aksi lobi Bung Hatta kepada Ki Bagus Hadikusumo atas bantuan Teungku Muhammad Hasan.
Momentum umat Islam merelakan jaminan berlakunya hukum islam dicoret dari dasar negara ini adalah peristiwa pengorbanan besar dari kalangan Islam. Menjelang tanggal pengesahan 18 Agustus itu umat Islam harus rela hati kehilangan dua aspirasinya baik di dasar negara maupun di konstitusi negara.
“Pengorbanan umat Islam begitu besar, rela untuk melepas aspirasi mencoret tujuh kata tadi dan pasal 6 (syarat Presiden RI) beragama Islam demi keutuhan NKRI,” pungkas Ustadz Adian.
Penulis: Kukuh Subekti